Setelah urusan di kantor Polisi selesai kamipun mengantar Rina pulang. Rina duduk di belakang dengan diampit Mama dan Winda. Ketiga wanita itu tertawa bersama, bersendau gurau, mengacuhkan aku yang sedang fokus menyetir. Sering bila ada kesempatan kupandang Rina lewat spion tengan di mobil. Dan perbuatanku ini sukses membuat wajahnya menampilkan semburat merah. Dia malu ataukah dia punya perasaan sama denganku? Ah, aku menikmati moment ini.
Mobil berhenti mengikuti perintah Rina, kucari tempat yang agak luas, mengingat mobil parkir di depan gang masuk rumah Rina. Kulirik Winda berubah air mukanya ketika tau kami berada di lingkungan kumuh. "Anak ini, tetap saja sok kaya!" Keluhku.
"Ma, turun dulu sama Rina. Aku sama Winda nanti menyusul." Kulirik tajam kearah Winda, agar dia tidak protes.
"Baiklah, ayo Rin, kita duluan." Mama turun disusul dengan Rina yang mengekor di belakang.
"Kenapa sih, Kak? Aneh!" Gerutu Winda setelah tak ada siapapun di dalam mobil.
"Kenapa kamu cemberut? Nggak usah bohong, kamu jijik khan? Dasar manja!" Cecarku pada adikku ini.
"Ingat Win, berkat Rina kamu bisa selamat hari ini!"
"Coba dech, sembunyiin perasan jijikmu itu, Kakak nggak akan ngijinin kamu turun kalau kamu masih seperti itu."
Anak ini memang harus sesekali dikerasi, sejak kecil dia selalu begitu. Pernah dia menangis histerius saat kami sekeluarga takziah ke Saudara yang tinggal di bantaran sungai. Bau sungai yang menyengat, ditambah jalan becek menjadi alasan dia tak mau turun dari mobil.
Papa membentak menyuruhnya segera turun, dan diapun menangis histerius. Drama berakhir, aku yang pergi bersama Papa dan bisa ditebak Mamalah yang setia menemaninya di dalam mobil.
"Gimana Tuan Puteri?"
"Ya, baiklah. He ... he gimana? Sudah cantik? Senyum sinis dipamerkan kepadaku. Kujewer telinganya, dan segera keluar dari dalam mobil. Kudengar umpatan lirih, aku segera bergegas menyusul Mama sambil tertawa berderai.
Gang sempit, dengan rumah-rumah kecil yang berjejer rapat. Tak kusangka Rina berasal dari tempat seperti ini. Mengingat penampilannya yang bersih, anggun tak kalah bila dibandingkan anak gedongan.
Winda berhasil menyusulku, berjalan menjajari langkah sambil tangannya bergelendot manja. "Kak, maaf ya Winda tadi keterlaluan."
"Hmm." Jawabku tanpa menoleh.
"Mari masuk, Nak. Maaf rumahnya kotor." Seorang Ibu seumuran mamaku mempersilahkan kami duduk. Ini mamanya Rina.
"Iya, makasih Bu." Tanganku menggandeng adikku untuk segera duduk didekat mama. Kami semua duduk lesehan karena dirumah kecil ini tidak ada kursi tamu.
Rina muncul dari arah belakang sambil membawa suguhan teh. Asap tipis membumbung. Setelah menyuguhkan minuman segera dia mengambil tempat duduk disamping mamaku.
Mamaku dengan ramah berbicara dengan keluarga Rina. Ada kesedihan yang kurasakan. Papanya sedang sakit, tergolek lemah di dalam kamar yang pintunya berhadapan langsung dengan ruang tamu.
Beringsut maju, aku ijin menemui papa Rina. Pria yang tampan meski banyak tumbuh uban dikepalanya. Kulempar senyum hormat, sambil mencium punggung tangannya.
"Tolong kami, Nak. Jangan sampai Rina masuk penjara. Dia anak kami satu-satunya." Diusapkan jarinya menghapus bulir bening yang mengalir disudut matanya.
Tentu beliau mendengar pembicaraan kami, karena rumah ini kecil dan sempit.
"Iya, Pak. Saya akan berusaha sekuat tenaga. Bapak tenang saja."
YOU ARE READING
Pelakor
RomanceCerita perjuangan seorang istri untuk mempertahankan rumah tangganya yang sedang di uji dengan perselingkuhan yang di lakukan suaminya. Dilema antara bertahan dan menyerah ketika ternyata hantaman ujian mengiringi perjuangan mempertahankan rumah tan...