Prolog

6.7K 343 7
                                    

 
Malang, 2014

 

Tahun terakhir penantianku akhirnya tiba. Bila orang bilang menunggu adalah hal yang paling menyebalkan, tidak begitu bagiku. Aku menikmati masa-masa itu. Aku menikmati setiap waktu yang aku habiskan untuk menunggunya; menunggu balasan chattingnya, menunggu dia menghubungiku di tengah kesibukannya, menunggu dia terlelap saat video call berlangsung karena matanya yang tak sanggup lagi menahan kantuk.

Aku bahagia menunggunya.

Setidaknya itulah yang aku rasakan sebelum sebuah pengakuan memaksaku berhenti untuk menunggunya.

"Mama minta maaf, Sayang. Harusnya Mama mendiskusikan semuanya sama kamu. Tapi Mama nggak mau konsentrasi belajar kamu pecah karena masalah ini. Tadinya Mama yakin bisa selesaikan semuanya sendiri. Tapi ternyata Mama malah bikin kesalahan besar. Mama benar-benar minta maaf, Sayang. Maafkan Mama."

Karena sebuah kesalahan aku bersamanya. Karena sebuah kesalahan pula aku harus melepaskannya.

 
° AIRI °

 
Mataku tak teralihkan dari sesosok wajah cantik di depanku. Wajah penuh make-up itu sama sekali tak menyunggingkan senyum sedikit pun. Pandangannya terlihat kosong, bagai raga tanpa jiwa. Rangkaian  bunga melati dibentuk sedemikian rupa demi mempercantik tatanan rambut panjangnya yang terjalin indah, juga terselip tiara mungil di sana. Mataku turun pada kebaya putih gading yang membungkus tubuhnya, memperlihatkan lekuk tubuh yang selama ini jarang ditonjolkan.

Aku mencoba tersenyum padanya, dia membalas. Tipis, amat sangat tipis. Bahkan aku harus meneliti dengan cermat bagian bibirnya, memastikan ada tarikan di setiap sudutnya. Dia tersenyum, tapi tatapannya masih kosong.

Ingin rasanya aku mengajukan banyak pertanyaan; yakinkah ia dengan keputusannya? Bahagiakah dirinya? Namun tak satupun dapat terucap dari bibirku. Senyum tipisnya pun sudah lenyap dari wajah itu.

Samar, lantunan ayat suci Al-Quran memasuki pendengaranku. Aku yakin dia juga mendengarnya. Ingin aku berteriak, menyuruhnya untuk pergi. Lari ke manapun, meninggalkan tempat ini. Namun lagi-lagi bibirku terkunci.

Apa yang harus aku lakukan sekarang?

Aku tak ingin dia berada di sini. Aku tak ingin dia menyesali keputusannya. Aku tak ingin...

"Airel?"

Aku membuka mata yang entah sejak kapan terpejam, menatap lurus pada wanita yang berjalan di belakangku lewat bayangan cermin. Sudut bibirku terangkat, membentuk senyum —yang kuharap— paling manis.

Sengaja aku mendongakkan kepala, menatap wajahnya yang ditutupi mendung. Aku yakin sebentar lagi pasti turun hujan di sana.

"Rel---"

"Lu dateng sendiri?"

"Mereka di luar."

Aku mengangguk pelan. Mengalihkan mata pada perutnya yang membuncit, mengeluskan telapak tanganku lembut.

"Hai, little boy. Apa kabar? Sehat-sehat ya di dalam sana. Auntie udah nggak sabar mau gendong kamu."

Aku tersenyum.

"Dia di sini."

Gerakan tanganku terhenti bersamaan dengan hilangnya senyum di wajahku. Mataku menatapnya dalam, mencari kebohongan di netranya yang tak kutemukan. Pelan, aku menelan saliva untuk membasahi tenggorokanku yang mendadak kering.

"Gue nggak bisa nggak kasih tau dia, Rel. Lu mendadak hilang, bikin kita semua kelimpungan. Sekalinya ada kabar langsung lewat undangan. Dia bakal lebih  hancur kalau nggak ada yang kasih tau."

Pelan, aku menghela napas. Mencoba menutupi gejolak dalam dada.

"Dia harus tau, Rel. Paling nggak dia bisa lebih cepat ngobatin hatinya. Walau gue yakin, itu butuh waktu yang lama banget buat dia."

Buncahan dalam dadaku semakin keras. Rasanya amat sangat menyesakkan. Aku menundukkan kepala dan memejamkan mata, menahan agar bendungan dalam mata tak pecah.

"Rel---"

"Saya terima nikah dan kawinnya Airel Anastasya Bagaskara binti Rafiko Bagaskara dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

Pertahananku pecah mendengar keramaian di luar sana.

"Mbak Airel, waktunya keluar."

Mataku teralihkan pada wanita yang tadi merias wajahku. Di belakangnya ada dua gadis muda menunggu kedatanganku. Aku berdiri dari bangku rias yang sejak tadi menumpu tubuhku. Ku peluk ibu hamil di depanku sesaat.

"Tolong pastiin, setelah ini dia bahagia, Nay. Karena gue sekarang udah bahagia."

"Gue nggak janji, Rel. Karena setau gue, dia bahagianya sama lu."

Aku tahu. Aku tahu itu.

Aku melepaskan pelukan. Berjalan meninggalkannya tanpa menoleh lagi, seperti hampir tiga tahun lalu, saat dia pergi.

 
° AIRI °

 
Dia berdiri di sana. Sesekali mata kami bertemu dalam satu garis lurus untuk beberapa detik, sebelum —selalu— aku mengalihkan pandang.

Tak ada yang berubah darinya. Tiga bulan setelah aku memutuskan untuk pergi dan menghilang, rupanya masih  seperti terakhir kali aku lihat di layar ponselku. Hanya rambutnya yang terlihat sedikit lebih panjang.

Masih pantaskah jika aku katakan aku mencintainya, sementara di sampingku berdiri pria yang sudah sah menjadi suamiku?

Bila masih pantas, aku akan mengatakannya tanpa ragu. Tidak. Aku akan meneriakannya.

Aku mencintaimu.

Masih mencintaimu.

Selamanya akan mencintaimu, Rival.

° AIRI °

 

H

ello helloooo......

Apa kabar semuanya???

Merayakan satu tahun publish, kini Airel kembali lagi!!!!

Ada yang rindu???
Kalau nggak ada gue update cuma prolognya aja deh. Kelanjutannya kapan-kapan aja hahaha

Jangan lupa untuk selalu meninggalkan jejak ya..

 

Bangka, 07.01.19
Dwi Marliza

 

AIRI (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang