Airi || 3

2.5K 352 19
                                    


Aku tak tahu apa ini pengaruh dari pertemuan di resto hari itu atau bukan. Hampir seminggu ini aku merasa sangat bersemangat untuk menyelesaikan pekerjaanku yang tertunda. Sepulang dari resto -tanpa singgah ke manapun, hal yang membuat Al mengernyitkan kening- aku langsung melanjutkan kembali menyusun data karyawan perusahaan dan menyelesaikan dua bab naskahku.

Selama hampir seminggu pula pikiranku tertuju padanya. Aku senang dia baik-baik saja, aku senang dia berhasil menjadi pemimpin yang baik -seperti ucapan Mbak Vega, aku senang ... dia ada di sini.

"Kok belum siap, Ri?"

Aku mendongak pada Mbak Vega yang terlihat cantik malam ini dengan gaun satin berwarna merah berpadu brukat hitam. Wajahnya berhias mekap flawless dengan heels hitam setinggi empat belas sentimeter. Benar-benar cantik.

"Ck, malah melongok. Buruan siap-siap!"

"Emang mau ke mana, Mbak?"

Dua detik Mbak Vega terpaku dengan mata melotot ke arahku sebelum mendekati lemari untuk mulai menyortir persediaan gaunku.

"Mbak?"

"Lu nggak lupa kan hari ini ulang tahun perusahaan gue?!" tanyanya sambil berkacak pinggang.

Ups, sepertinya dia marah.

Tanpa menunggu penjelasan lanjut aku bergegas ke kamar mandi untuk menyegarkan diri. Tak perlu mandi lagi karena itu sudah kulakukan satu jam yang lalu -terlebih aku tak ingin membuat Mbak Vega lebih marah karena terlalu lama menunggu.

Saat kembali ternyata Mbak Vega sudah tak ada di kamar. Sebuah gaun berwarn pink dusty tergeletak di atas ranjang, gaun pemberian Mbak Vega saat ulang tahunku dua bulan lalu. Sepersekian detik aku gunakan untuk menimbang akan mengenakannya atau tidak. Gaun berlengan panjang ini memang bisa menutupi bekas luka di lenganku, namun panjangnya hanya sebatas selutut. Belum lagi bentuk krah sabrinanya yang akan mengekspos bahuku. Melihat bayanganku di cermin saja aku tak percaya diri, bagaimana aku bisa memakainya di depan banyak orang.

Suara Mbak Vega kembali terdengar. Baiklah, sepertinya aku tak punya pilihan lain. Sebelum mengenakan gaun, aku lebih dulu memulas wajah. Cukup dengan mekap natural. Setelah semua persiapan selesai, aku memasukkan ponsel dan dompet ke dalam tas kecil, meraih heels yang sewarna dengan gaun -hadiah dari Mbak Vega juga, tapi tak setinggi miliknya, lalu meninggalkan kamar.

"I'm coming, Mbak."

"Lamban!"

Aku terkekeh. Sekalipun marah, wajah cantiknya tetap tersenyum. Mungkin karena aku mengenakan barang pemberiannya, entahlah. Yang pasti aku ikut bahagia karena tak perlu mendengar omelannya sepanjang jalan.

Ini memang kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh Suseno Tbk., perusahaan tempat Mbak Vega bekerja selama tujuh tahun ini. Sejak tinggal bersama, Mbak Vega tak pernah absen mengajakku turut serta, katanya agar pergaulanku tak hanya sebatas laptop dan ponsel. Sejak hari itu pula orang mengenalku sebagai adik dari Vega Callia.

"Pak Rival puas lho sama hasil kerja kamu."

Kedua alisku terangkat, mencoba memahami ucapan Mbak Vega yang fokus di balik kemudi.

"Mbak ngomong apa sama dia?" tanyaku akhirnya karena ia tak lagi bersuara.

"Dia tanya, ya Mbak jawab."

"Tanya apa? Jawab apa?"

Lima kata Mbak Vega jelas membuatku semakin penasaran. Apa yang mereka bicarakan? Apa dia tahu keberadaanku sekarang? Apa kami akan bertatap muka malam ini? Ya Tuhan, aku harus bagaimana sekarang?

AIRI (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang