Airi || 10

2.4K 337 58
                                    

  
"Makanlah. Pura-pura bahagia butuh banyak tenaga."

"Eh?"

Apa dia sedang mengejekku??

Agak ragu aku mendekati meja makan. Sepiring nasi diletakkan di bagian seberang meja, seolah menyuruhku untuk duduk di sana.  Sementara dia melanjutkan mengisi piringnya.

Sesekali senyumku tersirat saat melirik padanya yang makan dengan amat lahap. Sepertinya dia benar-benar kelaparan saat ini. Meski tak melihat langsung ekspresinya, aku tahu dia sangat menikmati makan siangnya.

"Tertabrak mobil, apa jadi cara terbaru untuk menenangkan diri?"

Kunyahanku terhenti sejenak. Sup jamur di piringku mendadak terlihat tak menarik. Pertanyaan yang diajukan dengan nada datar itu sukses membuat napsu makanku terjun ke dasar bumi. Sekali lagi aku meliriknya, masih menunduk menghabiskan isi piring. Pergerakannya yang mengakhiri sesi makan membuatku menunduk. Menjulurkan tangan meraih gelas saat dia bangkit dari duduk dan melewa...

Eh?

Hampir saja gelas dalam genggamanku terlepas saat tiba-tiba dia jongkok di pinggir kursiku. Menggeser dudukku hingga menghadap padanya lalu membungkus kedua tanganku dalam genggaman setelah meletakkan gelasku.

Napasku tercekat saat tatapannya mengarah tepat padaku. Dapat aku lihat lingkaran hitam di bawah matanya yang bersinar sendu.

"Maaf."

Hah?

"Karena aku nggak pulang lebih cepat. Maaf, karena aku nggak penuhin janji untuk lindungi kamu. Maaf, karena aku pernah menyerah."

Apa yang....

"Aku benar-benar minta maaf, Rel. Tolong maafin aku. Aku bakal terima semua hukuman dari kamu, tapi kamu harus maafin aku. Maafin aku, Rel. "

Lidahku kelu saat genggamannya semakin kuat. Dagu yang menempel di tangannya seolah menjadi penahan agar kepalanya tetap tegak walau sesekali netranya teralihkan oleh cairan bening yang mulai menumpuk. Suaranya semakin bergetar saat berulang kali mengucapkan satu kata yang sama, maaf.

Ini salah.

Harusnya aku yang berlutut di hadapannya untuk memohon maaf. Meninggalkannya, membuatnya terluka. Harusnya aku yang berada di posisinya sekarang.

"Maafin aku, Sayang. Tolong maafin aku."

Adakah alasan yang tepat untukku menolak permintaan lelaki ini?

 
° AIRI °

 

"Mau sampai kapan kita kayak gini?"

"Selamanya."

"Rival!"

"Iya, Airel."

Ya Allah, ingin sekali aku melempar wajah tampan itu dengan remote tv.

Sejak aku mengangguk kecil menjawab permintaan maafnya, Rival terus saja menempel. Mengikuti ke manapun kakiku melangkah. Menatapku tajam sambil tersenyum simpul. Memelukku dari belakang saat mencuci piring atau duduk di sofa sambil menonton tv, seperti sekarang. 

Sesekali Rival juga mengecup tengkuk atau bahuku, lalu terkekeh pelan atas reaksi terkejutku. Mengusap kepalaku, memainkan rambutku atau mencium cincin di jariku.

Di hari pelarian kemarin aku memang mengenakan kembali cincin pemberiannya yang selama ini kusimpan diam-diam. Aku sempat berpikir untuk menjualnya jika dalam keadaan terdesak. Toh aku sudah mengantongi izinnya dari pertama kali mendapatkan benda berharga itu. Lagipun dia pernah bilang akan menggantinya saat kami bertunang....

AIRI (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang