"Menurut gue, launching kali ini bakal lebih mantap kalau lu muncul, Ri."
Aku tak bereaksi. Sudah hampir satu bulan ini pembicaraan Al tak jauh-jauh dari go publik, meet and greet atau promosi besar-besaran, yang intinya aku harus bertatap muka langsung dengan pembaca.
"Kalau lu go publik, lu bisa ikut promosi ke luar kota juga."
"Udah gue bilang, gue pengennya ke luar negeri," liburan atau pindah sekalian, tambahku dalam hati.
"Makanya lu nongol dulu. Paling nggak orang harus tau dulu lah tampang lu."
Aku berdecak malas. Apapun yang terjadi, memperkenalkan diri pada publik tidak akan pernah tercatat dalam kamus pelarianku.
"Gue cewek, punya satu hidung, dua mata, dua---"
"Bodo amat, Ri. Bodo amat!"
Lho, kenapa dia marah? Jawabanku benar kan?
Aku melayangkan pandang ke segala penjuru kedai Vaya's Creamy yang kami singgahi sekarang. Ini adalah tempat favorit keduaku semenjak dibuka dua tahun lalu. Di sini aku bisa makan es krim sepuasnya bahkan tak jarang hingga perutku kram saking banyaknya. Hidupku sudah sangat pahit, jadi sebisa mungkin aku harus mengisinya dengan berbagai hal yang manis.
Seperti saat ini, aku sedang menghabiskan mangkok ke-tiga durian split, setelah sebelumnya dua cone choco lava lebih dulu mengisi perutku sebagai sajian pembuka.
Ada banyak hal yang sedang kupikirkan saat ini. Sesuai rencana, aku telah memesan tiket penerbangan ke London begitu revisi naskahku selesai. Namun sampai hari ini aku masih menyimpan semuanya sendiri padahal hanya tersisa tiga hari sebelum waktu keberangkatannya. Aku bingung harus mengatakan apa pada Mbak Vega. Baik untuk liburan atau pindah aku tak mungkin meninggalkannya tanpa kata perpisahan. Dia adalah penolongku.
Aku juga tak pernah sedikit pun bertanya tentang dia sejak malam itu, walau belakangan ini terlalu banyak tanya yang berseliweran di otakku. Mbak Vega pun seperti mengerti untuk tidak membahasnya.
"Lu bisa berbagi sama gue, Ri. Meski berapa kali sih gue ngomong?"
Alisku terangkat mendengar ucapan Al. "Apa?"
"Muka lu," ujarnya seraya menunjuk wajahku, "nggak bisa bohongin gue."
Sebegitu jelaskah?
"Elu," aku balik menunjuk wajahnya. "Sok tau!"
Aku melotot saat tawanya terdengar menggelegar. Beberapa kali kumenundukkan kepala demi permintaan maaf pada pengunjung lain yang kemungkinan besar akan terganggu atas kelakuannya. Memalukan!
"Lu---"
"Airel?"
Aku memang sering memasukkan faktor 'kebetulan' untuk membantu para tokoh ceritaku, tapi aku tak menyangka itu terjadi dalam kehidupan nyataku.
Kebetulan yang pertama adalah ternyata dia atasan baru di perusahaan Mbak Vega. Kedua, aku bertemu dengan Aisyah saat sedang berbelanja untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Bahkan aku ikut mengantarnya ke rumah sakit untuk melahirkan anaknya dan ... dia. Ketiga, saat ini di depanku berdiri seorang wanita dari masa laluku. Seseorang yang cukup berpengaruh dalam hubunganku dengannya, dulu.
Seolah semesta sedang mempermainkanku.
"Nay," bisikku lirih.
"Hah, sombong banget lu ya. Ditelepon sibuk mulu!" ujarnya seraya memelukku sesaat.
Aku tersenyum bajing. Sebenarnya aku tak ingat ada panggilan masuk dari nomor Naya yang kusimpan. Atau mungkin dia termasuk dalam nomor asing yang sering menelepon. Bisa jadi kan dia ganti nomor?
KAMU SEDANG MEMBACA
AIRI (Completed)
Romance>>> Sila baca AIREL dulu ya, biar lebih jelas. Terima kasih... Untuk kamu, kesalahan termanisku. Aku tak pernah menyesal menyembunyikan diri darimu. Karena tanpa sadar aku justru membuatmu terus berada di dekatku. Menjagaku, memberiku kenyamanan h...