Airi || 4

2.5K 302 18
                                    

Masih ada yang melek???

Jujur aja tadinya aku beneran mau unpubh cerita ini. Tapi dukungan kalian bikin aku semangat.

Berhubung ini draft terakhir cerita ini yang aku simpan, mungkin aku butuh waktu lebih banyak untuk balikin feel cerita ini. Semoga kalian masih dukung aku sampai cerita ini tamat ya..

Sayang kalian... 😙😙

°AIRI °


Setelah kepergiannya ke Inggris, aku selalu memanjatkan doa agar diberi kesempatan untuk kembali bertemu dengannya dalam sujudku. Sayangnya, aku lupa meminta untuk dipertemukan dalam situasi bahagia. Sejak hari besar yang mengubah hiduku, doaku untuknya mulai berubah. Aku meminta agar dia selalu bahagia dan tercapai segala inginnya. Lagi-lagi doaku terkabulkan. Namun aku tak menyangka Tuhan tak menghapus permintaan pertamaku.

Manik hitam itu membesar sedetik sebelum kembali normal. Tatapan intimidasinya sanggup membekukan pandangku.

"Rival."

Suara dinginnya membuatku meneguk saliva. Delikan mata plus cubitan kecil Mbak Vega di lengan membuatku terpaksa menggapai jemari itu.

"Ai ... Ri," cicitku tertahan saat rasa hangat itu menyapa.

Tak lebih dari satu menit, aku melepaskan pautan itu. Entah bagaimana dengan dirinya, saat ini aku ingin membuat diriku terlihat biasa saja.

"Kerjaan kamu bagus, tepat deadline. Tertarik untuk bergabung dengan kami?"

Aku tak tahu itu sebuah pujian atau bukan, tapi pertanyaannya bisa saja menjebak.

"Saya udah ngajakin ratusan kali, Pak. Tapi katanya lebih enak ngantor di rumah; kerjaan beres, rumah beres dapet duit pula."

Ingin rasanya menyumpal mulut bocor Mbak Vega dengan kue-kue manis ini. Tapi aku hanya bisa berdiam.

"Tipe istri solehah, heh?"

Mataku membesar, beradu dengan mata tajamnya. Apa dia sedang menyindirku?

"Pasti suami kamu bahagia sekali ya punya istri solehah. Atau dia terlalu takut kamu direbut pria lain yang lebih kaya kalau di luar rumah?"

What the---

"Atau..."

Aku terpaku saat dia mencondongkan tubuh hingga wajah kami berjarak tak lebih dari satu jengkal. Tatapan tajam penuh kebenciannya jelas menusuk netraku.

"... dia takut kamu yang lari ke pelukan laki-laki lain?"

Harusnya aku melayangkan tamparan di wajah tampan itu atas ucapan tak sopannya. Tapi aku justru menghela napas lega dan menyunggingkan senyum yang diusahakan terlihat semanis mungkin.

"Kalau ucapan Anda adalah pilihan, saya lebih menyukai opsi ke-tiga. Itu artinya dia cinta mati sama saya, kan?"

Dia menegakkan tubuh tanpa melepaskan tatapan tajamnya. Aku tetap memasang senyum, antisipasi jika dia akan menyerang lagi.

"Sampaikan salam saya untuk suami kamu."

"Sure!" jawabku cepat

"Sampai jumpa di kantor, Vega."

"Oh? Oke, Pak."

Tubuhku pasti ambruk jika saja Mbak Vega tak menahannya. Mataku masih terarah padanya yang menghilang di tengah tamu lain.

Dia begitu dingin. Lebih dingin dari saat pertemuan kami dulu. Ucapannya lebih tajam dan sinis. Tak apalah jika dia membenciku, berkata kasar atau bahkan mencaci maki dengan segala sumpah serapahnya padaku, asalkan dia hidup bahagia. Anggap saja semua itu bayaran yang harus aku terima atas luka yang kutorehkan di hatinya.

AIRI (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang