Jilid 16/55

1.2K 16 0
                                    

"Wuuuttttt...!" Nampaknya kakek gundul itu hanya bergerak sedikit saja, akan tetapi, nyatanya pukulan Bi Lan itu hanya mengenai tempat kosong.

"Bi Lan, tahan dulu...!" Hong Beng yang sudah tiba di situ cepat memegang lengan gadis itu. "Lihat, dia bukanlah pendeta tadi!"

Bi Lan juga sudah tahu bahwa orang itu bukanlah Sai-cu Lama. Dia seorang kakek berkepala gundul, bertubuh sedang dan masih tegap meski usianya tentu sekitar tujuh puluh tahun. Jubahnya warna kuning, melibat-libat tubuh yang memakai pakaian serba putih dari kain kasar. Seorang pendeta yang sederhana, matanya tajam dan mulutnya seperti tersenyum mengejek. Dia berdiri dan memandang dua orang muda di depannya itu dengan sinar mata penuh selidik.

"Dia juga seorang yang berjubah pendeta, tentu lihai seperti tadi. Mungkin sekutunya! Para pendeta itu memang bersekutu dan saling bantu dalam melakukan kejahatan. Orang tua jahat, kembalikan pedangku!"

Bi Lan kembali menyerang dan melihat sepasang mata pendeta itu demikian tajam dan mulutnya tersenyum mengejek, timbul juga kesan buruk dalam hati Hong Beng dan dia pun membantu Bi Lan menyerang. Kalau Bi Lan kini menggunakan pukulan dari Ilmu Sin-liong Ciang-hoat, Hong Beng yang dapat menduga akan kelihaian pendeta ini, juga sudah menggunakan tenaganya dan menyerang dengan ilmu ampuh dari Pulau Es, yaitu Hong-in Bun-hoat!

Ilmu ini adalah ilmu silat yang sangat halus dan indah gerakannya, sesuai dengan namanya, Silat Sastera Awan dan Angin! Tubuhnya bergerak perlahan, dua tangannya membuat coretan-coretan di udara seperti menulis huruf, akan tetapi jari-jari tangan itu merupakan alat menyerang yang amat ampuh. Kakek pendeta itu nampak kaget juga menghadapi serangan gadis dan pemuda itu.

"Dari mana bocah-bocah tolol ini menguasai ilmu-ilmu ini!" bentaknya.

Dia pun cepat bergerak ke belakang untuk mengelak, lalu mendadak dia mengeluarkan suara melengking panjang. Jari-jari tangannya bergerak bagaikan ujung-ujung pedang membalas serangan dua orang muda itu sehingga Bi Lan dan Hong Beng terkejut dan cepat berloncatan ke belakang karena serangan balasan pendeta itu benar-benar hebat. Akan tetapi yang lebih mengejutkan hati mereka adalah suara melengking tadi karena mereka teringat bahwa Sai-cu Lama tadi pun seperti orang yang lari terbirit-birit karena terkejut dan takut mendengar suara melengking ini.

Melihat dua orang muda itu tertegun, kakek itu lalu mengangkat tangan kanan ke atas. "Omitohud, kalian ini bocah-bocah sungguh lancang, mempergunakan ilmu-ilmu yang demikian tinggi dan pilihan hanya untuk menyerang seorang tua tanpa sebab. Sungguh keji!"

Wajah Hong Beng sudah menjadi merah sekali karena malu dan menyesal. Memang sungguh tak patut menyerang seorang kakek tua renta, berpakaian pendeta pula, tanpa sebab yang jelas. Akan tetapi Bi Lan memandang kakek itu dengan mata melotot, dia marah sekali.

"Engkau ini kakek berpakaian pendeta, tentu jahat seperti yang lain! Kepala gundul dan jubahmu itu hanya sebagai kedok untuk menutupi kejahatanmu!" Bi Lan berkata dengan suara lantang.

"Omitohud...!" Kakek pendeta itu berkata lirih sambil tersenyum geli. "Betapa cocok pendapatmu itu dengan pendapatku ketika aku masih muda dahulu. Akan tetapi engkau keliru, nona, seperti kelirunya kebanyakan orang. Ada yang beranggapan bahwa semua pendeta adalah manusia-manusia baik karena mereka itu beribadat dan mentaati agama, sebagian pula menyatakan bahwa mereka hanyalah munafik-munafik. Ada yang beranggapan bahwa golongan ini baik dan golongan itu tidak baik. Semua anggapan itu tidak benar sama sekali. Baik tidaknya seorang manusia tergantung dari diri manusia itu sendiri, tidak dari agamanya, golongannya, bangsanya, kedudukannya dan sebagainya. Jika ada seorang beragama yang menyeleweng, bukan agamanya tetapi manusianya itulah yang menyeleweng. Agama, kepandaian, kedudukan, golongan, bangsa, semua itu hanya merupakan pelengkap saja, pelengkap kebutuhan hidup bermasyarakat. Baik buruknya segalanya itu adalah si manusia itu sendiri yang menentukan. Jadi, mungkin saja ada seorang pendeta yang menyeleweng, akan tetapi juga tidak kurang yang benar-benar hidup saleh. Jangan menyama ratakan saja karena setiap orang manusia itu memiliki tingkat kesadarannya masing-masing meski kedudukannya mungkin sama."

Hong Beng sudah dapat menduga bahwa pendeta ini tidak sama dengan yang tadi, bahkan melihat sikap Sai-cu Lama tadi, yang kelihatan ketakutan mendengar suara melengking yang jelas dikeluarkan oleh hwesio ini, mungkin di antara mereka terdapat suatu pertentangan. Maka dia pun cepat menyentuh lengan Bi Lan dan dia memberi hormat kepada kakek itu.

"Harap locianpwe sudi memaafkan kami orang-orang muda yang kurang pengalaman dan bertindak lancang terhadap locianpwe. Hendaknya locianpwe ketahui bahwa sikap kami itu timbul oleh karena baru saja kami bertemu dengan seorang pendeta seperti locianpwe yang telah merampas pedang pusaka milik sahabat saya ini. Karena itu tadi kami mengira bahwa locianpwe adalah sahabat pendeta itu."

Kakek itu mengangguk-angguk sambil tersenyum mengejek. Ternyata senyum khas ini adalah kebiasaannya, bukan karena dia memang hendak mengejek. "Seorang pendeta Lama yang mukanya seperti singa?"

"Benar dia!" Bi Lan berseru. "Dia mengaku bernama Sai-cu Lama!"

"Omitohud...! Sungguh masih beruntung bagi kalian yang telah bertemu dengan dia akan tetapi hanya kehilangan pedang saja. Biasanya dia tidak mau bekerja kepalang tanggung, dan jarang ada orang dapat lolos dari tangan mautnya."

"Tadi pun kami didesaknya dengan pukulan-pukulan maut dan entah apa yang akan terjadi dengan kami kalau dia tidak tiba-tiba melarikan diri setelah mendengar suara melengking yang agaknya dikeluarkan oleh locianpwe," kata Hong Beng dengan jujur.

"Locianpwe, di mana kami dapat mencari si muka singa itu? Aku harus bisa menemukan dia dan merampas kembali pedangku yang diambilnya tadi," kata Bi Lan, kini tidak lagi memaki-maki kakek itu karena dia pun sadar bahwa kakek ini bukan sahabat Sai-cu Lama tadi.

"Omitohud... ! Tidak mudah mengejarnya. Pinceng sendiri sudah mengejarnya sejak dari Tibet sampai di sini dan belum juga berhasil menangkapnya. Kalau kalian memang ingin menemukannya, kalian harus pergi ke kota raja karena ke sanalah dia pergi."

"Kota raja? Wah, perjalanan yang jauh sekali dan kebetulan aku pun hendak ke sana, Bi Lan. Mari kita kejar dia dan kita bersama pergi ke kota raja."

"Biar pun dia lari ke neraka sekali pun akan kukejar. Aku harus dapat merebut kembali pedang pusaka itu, Hong Beng. Kalau tidak, bagaimana aku akan dapat menghadap subo?"

"Omitohud, muda-mudi yang malang, bertemu dengan manusia iblis Sai-cu Lama. Kalau kalian tidak membawa senjata pusaka yang menarik hatinya, biasanya dia pun tidak mau gatal tangan mengganggu orang tanpa sebab. Pinceng melihat pukulan-pukulan yang luar biasa ketika kalian menyerang pinceng tadi. Orang muda, apakah engkau masih ada hubungan dengan keluarga Pulau Es?"

Hong Beng terkejut dan makin yakinlah hatinya bahwa dia berhadapan dengan seorang yang berilmu tinggi, yang demikian tajam pandang matanya sehingga baru satu jurus dia tadi memainkan Hong-in Bun-hoat, kakek ini sudah dapat 'mencium' ilmu dari keluarga Pulau Es! Maka dia pun cepat memberi hormat lagi.

"Sesungguhnya, guru saya adalah seorang anggota keluarga Pulau Es, locianpwe."

"Aha! Siapakah gurumu itu, orang muda?"

"Suhu bernama Suma Ciang Bun."

"She Suma? Ha-ha, benar sekali. Dia tentu putera Suma Kian Lee atau Suma Kian Bu."
Girang sekali hati Hong Beng. Kiranya kakek ini malah mengenal keluarga Pulau Es!

"Suhu adalah putera sukong Suma Kian Lee."

"Omitohud...! Benar kiranya bahwa dunia ini tidak begitu besar kalau orang mempunyai banyak kenalan. Berpisah dari Suma Kian Lee sejak muda, sekarang tahu-tahu bertemu dengan murid dari puteranya. Dan kau sendiri, nona muda? Dua kali pukulanmu tadi mengingatkan pinceng akan ilmu mujijat dari Gurun Pasir..."

"Mereka adalah suhu dan subo!" Bi Lan berseru. "Suhu adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir!"

"Omitohud...! Engkau yang begini muda menjadi murid Kao Kok Cu dan Wan Ceng? Luar biasa sekali! Ha-ha-ha-ha, makin sempit saja dunia ini. Akan tetapi, nona muda. Kalau engkau benar murid mereka, bagaimana sampai pedang dari tanganmu dapat terampas oleh Sai-cu Lama? Walau pun dia memang lihai sekali, akan tetapi agaknya tidak akan mudah mengalahkan murid suami isteri dari Istana Gurun Pasir!"

Wajah Bi Lan berubah merah karena ucapan itu merupakan celaan kepadanya. Dan harus diakuinya bahwa ia menjadi murid suami isteri sakti itu hanya selama setengah tahun saja. Ia seorang yang jujur dan ia tidak mau menurunkan harga diri dari suami isteri yang amat baik kepadanya itu, maka ia pun cepat berkata,

"Andai kata aku belajar ilmu dari suhu dan subo sejak kecil, tentu sekali tonjok saja si muka singa itu akan mampus di tanganku!" Timbul kembali sifat kasar dan liarnya berkat ajaran Sam Kwi sehingga kakek itu memandang dengan mata lebar. "Akan tetapi sayang, hanya setengah tahun saja aku dilatih oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, dan sebelum itu aku menjadi murid Sam Kwi selama tujuh tahun."

Kembali kakek itu terbelalak. "Kau maksudkan Raja Iblis Hitam, Iblis Akhirat dan Iblis Mayat Hidup itu?"

"Eh, locianpwe, agaknya locianpwe mengenal semua orang!" Bi Lan kini bertanya kaget dan heran. "Memang benar mereka itu guru-guruku."

Kakek itu menggaruk-garuk kepalanya yang gundul bersih. "Omitohud...!" Dia cepat merangkapkan kedua tangan untuk menghentikan kebiasaannya di waktu muda yang sampai tua masih sukar dilenyapkan itu. "Bagaimana mungkin orang menjadi murid Sam Kwi dan murid pendekar lengan tunggal Kao Kok Cu? Dan kau tadi bicara tentang pedang pusaka? Jangan-jangan pedang Ban-tok-kiam milik Wan Ceng pula yang kau bicarakan itu."

Kini Bi Lan terbelalak. "Wah, Locianpwe ini orang apa sih? Bagaimana bisa tahu segala hal? Memang benar pedang yang dirampas muka singa itu adalah Ban-tok-kiam milik subo yang dipinjamkan kepadaku!"

"Siancai, siancai, siancai...! Bagaimana Wan Ceng begitu bodoh untuk meminjamkan pedang itu kepada muridnya yang masih begini hijau?"

"Locianpwe, jangan menghina orang!"

"Siapa menghina orang? Pinceng tadi bicara benar. Kau tahu, mala petaka hebat telah terjadi. Kalau tidak memiliki pusaka ampuh, Sai-cu Lama masih tidak begitu berbahaya. Akan tetapi kini Ban-tok-kiam berada di tangannya! Sama saja dengan seekor singa buas tumbuh sayap. Celaka. celaka!"

"Locianpwe, kami mohon petunjuk," Hong Beng cepat berkata untuk menengahi karena agaknya dia juga tak menghendaki Bi Lan bersikap kasar terhadap kakek yang ternyata selain sakti, juga mengenal banyak tokoh di dunia kang-ouw itu.

"Karena pedang Ban-tok-kiam milik Wan Ceng yang sudah dirampasnya, pinceng pun berkewajiban untuk merebutnya kembali. Nona muda, kalau bertemu subo-mu, katakan bahwa pinceng kelak akan mengantarkan Ban-tok-kiam ke Istana Gurun Pasir kalau telah berhasil merampasnya dari tangan Sai-cu!" Setelah berkata demikian, kakek itu berkelebat dan lenyap dari situ dengan kecepatan yang mentakjubkan!

"Locianpwe, siapa engkau? Bagaimana aku harus melapor kepada subo?" teriak Bi Lan penasaran sambil melihat ke bawah lereng di mana nampak bayangan kakek itu kecil sekali, tanda dia sudah pergi jauh.

"Katakan Tiong Khi Hwesio yang bicara. Ha-ha-ha!" Terdengar suara lapat-lapat disusul suara melengking tinggi nyaring seperti tadi.

Sejenak dua orang itu diam saja, masih terpesona oleh kehadiran kakek pendeta aneh itu. Akhirnya Hong Beng menarik napas panjang. "Sungguh hebat! Dalam sekejap mata saja kita bertemu dengan dua orang kakek yang demikian lihainya. Aku yakin bahwa kalau Sai-cu Lama seorang tokoh jahat sekali, sebaliknya Tiong Khi Hwesio itu tentu seorang tokoh tua di dunia persilatan yang agaknya tidak asing dengan keluarga Pulau Es dan dengan penghuni Istana Gurun Pasir. Bahkan agaknya dia juga mengenal baik subo-mu dan juga sukongku. Sungguh aneh."

"Kalau saja dia menepati janjinya dan dapat berhasil merebut Ban-tok-kiam. Kalau tidak, bagaimana aku berani menghadap subo?"

"Jangan khawatir, Bi Lan. Bukankah locianpwe tadi mengatakan bahwa untuk dapat menjumpai Sai-cu Lama, kita harus pergi ke kota raja? Mari kita pergi ke sana, sekalian aku harus menunaikan tugas yang diberikan suhu kepadaku di sana."

"Tugas apakah itu? Kenapa harus ke kota raja?" Bi Lan bertanya.

Karena dia tidak begitu percaya lagi akan kelihaian pendengarannya, yang terbukti dengan munculnya Sai-cu Lama yang tidak diketahuinya, maka Hong Beng menoleh ke kanan kiri sebelum menjawab. Setelah merasa yakin bahwa di situ tidak ada lain orang, dia berkata lirih, "Ini merupakan rahasia, Bi Lan, akan tetapi aku percaya kepadamu. Aku ditugaskan ke kota raja untuk melakukan penyelidikan atas diri seorang pembesar tinggi yang dikabarkan kini mempunyai pengaruh yang amat luas di istana dan bahkan mempengaruhi kekuasaan kaisar, mempengaruhi jalannya pemerintahan. Kabarnya pembesar itu mempunyai niat buruk. Aku harus berhati-hati karena pembesar itu dibantu orang-orang pandai. Bahkan suhu memesan kepadaku agar aku lebih dahulu minta keterangan dari bekas Panglima Kao Cin Liong, yaitu putera tunggal gurumu Kao Kok Cu, dan juga minta bantuan dari susiok Suma Ceng Liong, adik dari suhu. Nah, karena aku pergi ke kota raja dan engkau pun agaknya harus ke sana untuk mendapatkan kembali pedang subo-mu, maka sebaiknya kita pergi bersama. Dengan berdua, kita akan lebih kuat dalam menghadapi kesukaran di perjalanan, bukan?"

Bi Lan mengerutkan alisnya. "Aku sendiri tidak tahu akan pergi kemana setelah aku lari dari suci. Aku hanya mempunyai satu tugas, yaitu mencari pusaka yang telah kujanjikan kepada suci."

"Pusaka lagi? Pusaka apakah itu?"

"Pusaka itu pun sebuah pedang, akan tetapi pedang pusaka yang menurut Sam Kwi amat penting artinya. Namanya Liong-siauw-kiam, yang usianya sudah ribuan tahun, terbuat dari pada kayu yang diukir menjadi suling berbentuk naga yang indah, keras seperti baja karena direndam obat-obatan rahasia jaman dahulu. Pusaka itu bisa ditiup seperti suling, akan tetapi juga dapat dipergunakan sebagai pedang. Sepasang mata naga itu terbuat dari batu permata yang tak ternilai harganya. Pusaka itu dahulu pernah menjadi lambang raja-raja Bangsa Khitan, dan kemudian jatuh ke tangan Kaisar Jengis Khan dan menjadi pusaka kerajaan. Akan tetapi kemudian jatuh ke tangan susiok dari Sam Kwi yang bernama Pek-bin Lo-sian. Pusaka itu turun-temurun berada di tangan perguruan Sam Kwi, akan tetapi celakanya, Pek-bin Lo-sian tidak mau menyerahkan pusaka itu kepada Sam Kwi malah memberikannya kepada seorang pendekar!"

"Ehh, aneh sekali!" kata Hong Beng.

"Karena itu, Sam Kwi mengutus suci dan aku untuk mencari pusaka itu dan merampas kembali Liong-siauw-kiam dari tangan pendekar itu."

"Dan siapakah pendekar itu?"

"Menurut suci, julukannya adalah Suling Naga, mungkin karena dia kini memiliki senjata Liong-siauw-kiam itu, dan katanya dia lihai bukan main. Aku harus mencari Pendekar Suling Naga itu dan merampas pusaka itu seperti sudah kujanjikan kepada suci!"

"Walau pun suci-mu telah mengkhianatimu dan bahkan hampir membunuhmu dengan jarum beracun?"

"Janji tetap janji. Ia pernah menolongku dan aku sudah berjanji kepadanya, tetap harus kupenuhi!"

Diam-diam Hong Beng kagum bukan main. Jarang ada orang yang berhati teguh seperti gadis ini. "Baiklah, aku pun akan membantumu mendapatkan kembali Liong-siauw-kiam. Wah, dengan begini kita harus merampas dua batang pedang pusaka, Ban-tok-kiam dan Liong-siauw-kiam!"

"Kalau kau keberatan, jangan membantu. Aku pun tidak minta bantuanmu, Hong Beng!" kata gadis itu dengan ketus.

"Eh, ehh, mengapa marah? Tentu saja aku suka sekali membantumu, Bi Lan. Nasib kita sama. Kita sama-sama yatim piatu, tidak punya sanak saudara. Dan nasib pula yang mempertemukan kita di sini, sejak di warung nasi itu. Marilah kita bekerja sama dan saling bantu, karena perjalanan ke kota raja bukanlah perjalanan yang dekat."

Mereka berdua lalu menuruni lereng itu. Hati Bi Lan yang tadinya kecewa dan murung karena kehilangan Ban-tok-kiam, mulai terhibur sehingga dalam waktu beberapa hari saja, sudah pulih kembali sikapnya yang gembira dan jenaka.....

SULING NAGA (seri ke 12 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang