Sim Houw mengamati suling di tangannya dan alisnya berkerut. "Benar, akan tetapi tidak kusanga bahwa Pek-bin Lo-sian telah meninggal dunia."
"Siapa namamu?" Tiba-tiba Bi-kwi bertanya sambil menatap wajah yang tampan itu.
"Aku she Sim bernama Houw, dan secara kebetulan saja Pek-bin Lo-sian memberikan suling ini kepadaku dengan suka rela. Mengapa engkau mencari-cari aku?"
"Orang she Sim, dengarlah baik-baik. Liong-siauw-kiam itu adalah milik nenek moyang tiga orang guruku yang dikenal dengan julukan Sam Kwi. Pek-bin Lo-sian adalah susiok-kongku sendiri. Orang tua yang tidak tahu diri itu secara lancang telah memberikan pusaka keluarga perguruan guru-guruku kepada engkau, seorang asing. Karena itu, dia layak mati di tanganku. Sekarang, serahkan pusaka itu kembali kepadaku yang berhak memilikinya, dan barulah aku akan mempertimbangkan apakah engkau harus dibunuh ataukah tidak."
Diam-diam Sim Houw terkejut dan marah. Kiranya kakek itu telah dibunuh oleh wanita kejam itu dan tentu saja dia sudah mendengar tentang Sam Kwi. Justeru karena tidak ingin pusaka itu terjatuh ke tangan Sam Kwi, murid-murid keponakan Pek-bin Lo-sian itu, maka kakek itu memberikan pusaka itu kepadanya dan berpesan agar dia berhati-hati menghadapi Sam Kwi. Sekarang murid dari Tiga Iblis itu telah muncul dan memang benar gadis ini mempunyai kepandaian yang tinggi, belum lagi dua puluh empat orang pembantunya itu.
"Bi-kwi, julukanmu itu tepat sekali. Memang engkau cantik, akan tetapi watakmu seperti iblis yang kejam. Engkau Iblis Cantik bahkan telah membunuh susiok-couw sendiri. Pusaka ini diberikan kepadaku oleh mendiang Pek-bin Lo-sian memang dengan maksud agar jangan sampai terjatuh ke tangan Sam Kwi. Aku menerimanya dari Pek-bin Lo-sian dan hanya kakek itu seorang yang berhak memintanya dari tanganku. Baik engkau mau pun Sam Kwi, tidak berhak."
"Keparat, berani engkau menentang Bi-kwi?" bentak Bi-kwi dan pedang di tangannya tergetar sampai mengeluarkan suara berdengung.
"Ciong Siocia, biar kurebutkan pusaka itu untukmu!" teriak Tee Kok.
Pria tinggi kurus bermuka pucat ini telah menerjang maju, sepasang goloknya membuat gerakan bersilang, yang satu membacok ke arah pergelangan tangan Sim Houw yang memegang suling sedangkan yang ke dua menyambar ke arah pundak kiri pemuda itu. Sungguh merupakan serangan maut yang berbahaya, sekaligus hendak merampas suling dengan membacok tangan kanan lawan sambil berusaha membunuhnya!
Akan tetapi, Sim Houw kelihatan tenang saja menghadapi serangan maut ini. Dengan sedikit gerakan tubuh dan geseran kaki, dua serangan itu sudah meluncur lewat dan mengenai tempat kosong, dan pada detik berikutnya, ujung suling itu telah membalik di tangannya. Sekarang yang dipegangnya ialah bagian kepala suling naga yang menjadi gagangnya dan kini ekor naga itu yang merupakan ujung mata pedang telah menusuk ke arah paha Tee Kok dengan kecepatan kilat.
Tee Kok terkejut dan cepat ia menarik kakinya. Akan tetapi pada saat itu, angin keras menyambar dan ternyata angin itu keluar dari lengan baju kiri Sim Houw yang sudah menyusulkan tamparan ke arah kepala lawan. Tee Kok mengelebatkan goloknya yang kanan untuk membacok tangan kiri lawan, akan tetapi kembali tangan itu mengelak dan melanjutkan serangan dengan totokan jari ke arah dada.
"Ehhh...!" Tee Kok terkejut sekali.
Demikian cepat gerakan lawan sehingga dalam satu gebrakan saja dia sudah dihujani serangan. Sebagai bekas murid mendiang Hek-I Mo-ong yang lihai tentu saja dia masih bisa menghindarkan diri dari totokan itu dengan cara meloncat ke belakang. Kemarahan membuat dia lupa diri, lupa bahwa yang dihadapinya adalah seorang lawan yang amat tangguh.
Dia mengeluarkan suara menggereng. Kedua goloknya diputar-putar membentuk dua lingkaran sinar bergulung-gulung yang menyerang ke arah Sim Houw. Karena agaknya kini mulai sadar akan kelihaian lawan, Tee Kok lantas mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus ilmu sepasang goloknya yang paling ampuh. Untuk dapat merebut suling pusaka itu seperti yang dijanjikannya kepada Bi-kwi, dia harus terlebih dahulu dapat membunuh pemuda ini.
"Hemm," Sim Houw mengeluarkan seruan dari hidungnya.
Tiba-tiba sulingnya itu mengeluarkan suara melengking-lengking seperti ditiup ketika dia memutarnya. Mendengar suara melengking tajam ini, entah bagaimana tahu-tahu dua gulungan sinar golok itu terhenti sebentar seperti tertahan sesuatu dan saat itu, ujung ekor suling naga telah meluncur dan menusuk ke arah Tee Kok, tepat di antara kedua matanya.
Tee Kok mengeluh kaget dan sepasang goloknya bergerak ke depan untuk menangkis dan menggunting suling lawan. Akan tetapi suling itu telah bergerak ke belakang dan pada saat yang sama, sebuah tendangan mengenai dada Tee Kok.
"Bukkk!"
Tee Kok tidak melihat datangnya tendangan ini karena tadi matanya terancam tusukan pedang suling sehingga seluruh perhatiannya telah tercurah untuk menyelamatkan dua matanya. Sekarang tendangan itu mengenai dadanya yang sudah dilindungi dengan kekebalan, akan tetapi tetap saja tubuhnya terjengkang dan terbanting keras. Tee Kok merasa betapa tulang pinggulnya bagaikan remuk, akan tetapi dia sudah dapat terus bergulingan seperti seekor trenggiling dan sudah meloncat bangun lagi dengan muka semakin pucat dan mata berapi-api.
Tentu saja Hui Lan dan dua orang gurunya terkejut bukan main, terkejut dan penuh rasa kagum. Pemuda tukang suling yang tadinya mereka pandang rendah, mereka remehkan sebagai seorang pemuda lemah, ternyata dalam dua tiga gebrakan saja sudah mampu menendang jatuh Tee Kok yang tadi dirasakan sebagai lawan yang amat tangguh oleh Hui Lan.
Gadis ini teringat betapa tadi ia pernah mendorong Sim Houw sampai terguling-guling dan teringat akan hal itu, mukanya berubah merah sekali. Tahulah dia kini bahwa tadi Sim Houw hanya berpura-pura saja dan baru kini pemuda itu terpaksa memperkenalkan diri hanya karena melihat ia dan dua orang gurunya tadi terancam bahaya maut.
Sementara itu, melihat mereka berkelahi dalam dua tiga gebrakan saja dan melihat pembantunya tertendang roboh, Bi-kwi juga terkejut. Baru terbuka matanya bahwa pemuda yang menerima benda pusaka itu, yang dijuluki orang Pendekar Suling Naga, ternyata adalah seorang yang amat lihai. Ia mengenal tingkat kepandaian Tee Kok yang pernah dikalahkannya itu. Cukup tangguh. Ia sendiri baru akan mampu mengalahkan Tee Kok setelah bertanding sedikitnya lima puluh jurus. Akan tetapi pemuda ini dalam tiga gebrakan saja sudah mampu membuat pembantunya itu terjatuh.
"Kembalikan Liong-siauw-kiam kepadaku!" bentak Bi-kwi.
Bwi-kwi juga menerjang ke depan, ikut menyerang Sim Houw untuk membantu Tee Kok yang telah siap pula dengan sepasang goloknya. Melihat betapa Bi-kwi yang diandalkan itu maju, besarlah hati Tee Kok. Dia pun sudah maju lagi, memutar sepasang goloknya mengeroyok Sim Houw.
Akan tetapi tiba-tiba badan pemuda itu lenyap dan yang nampak hanya bayangannya saja yang terbungkus gulungan sinar hitam dari sulingnya. Dan dari dalam gulungan sinar itu muncul suara berdengung-dengung dan melengking-lengking yang membuat dua orang pengeroyoknya terpaksa harus mengerahkan sinkang, kalau tidak mau roboh oleh serangan suara mujijat itu. Terjadilah perkelahian yang amat menarik.
Hui Lan dan dua orang gurunya terbelalak penuh kagum dan ketegangan. Tak mereka sangka bahwa pemuda itu sedemikian lihainya sehingga akan mampu menghadapi pengeroyokan dua orang tangguh itu. Padahal tadi, dikeroyok oleh Beng-san Siang-eng saja, Bi-kwi dapat menandinginya tanpa merasa kewalahan. Dan kini, wanita sakti itu bersama pembantunya yang lihai pula, dipaksa harus mengeroyok Sim Houw!
Begitu Bi-kwi memasuki gelanggang perkelahian, Sim Houw terpaksa mengeluarkan kepandaiannya. Suara sulingnya semakin dahsyat, gerakannya semakin cepat dan tiba-tiba terdengar suara nyaring ketika suling itu menghantam pedang Bi-kwi, dilanjutkan dengan menangkis sepasang golok Tee Kok.
Suara nyaring itu disusul teriakan kaget dua orang pengeroyok itu, dan semua orang yang melihat perkelahian itu menjadi terheran-heran melihat betapa Bi-kwi terhuyung ke belakang sampai lima langkah sedangkan Tee Kok untuk kedua kalinya terjengkang dan terbanting keras! Padahal, perkelahian itu baru berlangsung paling banyak lima belas jurus saja.
Hampir berbarengan, Bi-kwi dan Tee Kok mengeluarkan seruan rahasia dan dua puluh tiga orang anak buah Tee Kok itu serentak maju mengeroyok, dipimpin oleh Bi-kwi dan Tee Kok yang sudah menyerang lagi.
Sepasang saudara kembar Gak saling pandang dengan penuh keheranan. Baru kini mereka menyaksikan kepandaian yang demikian hebatnya seperti yang dimiliki pemuda itu. Akan tetapi melihat betapa kini semua anak buah pasukan baju merah itu maju mengeroyok, mereka menjadi marah.
"Manusia-manusia curang!" bentak Gak Jit Kong.
Bersama adik kembarnya dia pun menerjang ke depan, diikuti pula oleh Souw Hui Lan. Mereka bertiga mengamuk di antara dua puluh tiga orang anak buah Ang-i Mo-pang sehingga mereka tidak memperoleh kesempatan mengeroyok Sim Houw yang sudah dikeroyok lagi oleh Bi-kwi dan Tee Kok.
Belasan di antara dua puluh tiga anggota Ang-i Mo-pang itu adalah bekas anak buah Hek-i Mo-pang yang sudah biasa berkelahi, banyak pengalaman, lihai dan kejam. Akan tetapi kini mereka diamuk oleh tiga orang ahli silat keturunan keluarga Pulau Es, maka rusaklah pertahanan mereka dan mereka dibikin kocar-kacir oleh tiga batang pedang yang bergerak cepat dan amat kuat itu. Dalam waktu tidak terlalu lama, sudah ada beberapa orang di antara mereka roboh dan terluka, bahkan ada pula yang tewas.
Sementara itu, karena tidak memperoleh bantuan anak buahnya yang diamuk Hui Lan dan dua orang gurunya, Bi-kwi dan Tee Kok kembali terdesak hebat oleh pedang suling di tangan Sim Houw. Untung bagi mereka bahwa pemuda ini adalah seorang pendekar yang berhati lembut sehingga tidak tega untuk membunuh dua orang yang sebetulnya bukan musuhnya itu.
Sim Houw hanya mempermainkan mereka dengan pukulan-pukulan suling yang tidak sampai membuat mereka terluka parah atau sampai tewas. Kini Bi-kwi melihat jelas bahwa kalau perkelahian itu dilanjutkan, dia akan menderita kekalahan, terluka parah atau mungkin juga akan tewas. Dia tidak peduli apa yang akan terjadi dengan para pembantunya. Orang seperti Bi-kwi ini tidak pernah memusingkan keadaan orang lain. Yang terpenting adalah dirinya sendiri. Kalau ia selamat, masa bodoh dengan orang lain. Maka, gadis yang cerdik ini segera mengambil keputusan sebelum terlambat.
Pedang suling di tangan Sim Houw sungguh hebat bukan main. Gerakannya aneh dan dahsyat, mengandung tenaga mujijat dan terutama sekali suara melengking-lengking dan mengaum-ngaum itu membingungkan hatinya.
"Aku pergi dulu! Lain waktu masih banyak kesempatan untuk membunuh Pendekar Suling Naga dan merampas kembali pusaka itu!" Setelah berkata demikian, wanita itu meloncat jauh ke kiri dan melarikan diri lenyap di antara pohon-pohon.
Melihat ini, Tee Kok terkejut bukan main. Kekagetannya membuat ia lengah dan sebuah tendangan mengenai pahanya serta sinar hitam menyentuh pundaknya. Tubuhnya lalu terpental dan dia roboh terbanting, kemudian bangkit lagi dan memberi aba-aba kepada anak buahnya.
"Kita pergi...!"
Dia sendiri lalu terpincang-pincang melarikan diri. Golok kirinya lenyap, sedang lengan kirinya sengkleh (lumpuh terkulai) karena tulang pundaknya retak-retak terkena pukulan suling. Anak buahnya yang semenjak tadi memang sudah merasa gentar menghadapi amukan gadis dan dua orang gurunya itu, begitu mendapat aba-aba, cepat menyambar tubuh teman yang luka atau tewas, berbondong-bondong melarikan diri dari tempat itu.
Sim Houw, Hui Lan, dan Beng-san Siang-eng hanya memandang saja, tidak melakukan pengejaran. Sedikitnya ada enam orang pengeroyok yang tewas dan banyak yang luka-luka.
Setelah semua penyerbu itu lenyap dari pandangan dan tidak terdengar suara mereka lagi, barulah dua orang saudara kembar itu menghadapi Sim Houw dan menjura dengan sikap hormat. "Ah, kiranya engkau adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi. Terima kasih atas pertolongan Sim-taihiap kepada kami bertiga..."
Sim Houw cepat-cepat memberi hormat. "Ahhh, ji-wi locianpwe harap jangan bersikap sungkan. Mereka itu memang mengejar dan mencari saya. Ketika tadi aku dikeroyok, bahkan sam-wi yang telah membantu saya. Maaf kalau saya bersikap kurang hormat kepada ji-wi locianpwe yang ternyata adalah keluarga para pendekar Pulau Es yang saya kagumi dan hormati."
"Sim-taihiap terlalu merendahkan diri. Ilmu silatmu sungguh membuat kami merasa kagum sekali. Gerakan pedang suling yang seperti amukan naga itu sungguh dahsyat dan juga lengkingan suara suling itu benar-benar merupakan kekuatan khikang yang sudah mencapai puncaknya. Kemahiranmu bermain suling mengingatkan kami akan seorang pendekar sakti, yaitu Pendekar Suling Emas Kam Hong. Hanya dialah yang kabarnya memiliki khikang seperti yang telah kau perlihatkan tadi."
"Dia adalah guru saya."
"Ahhh, pantas saja! Dan gerakan ilmu pedangmu yang bagaikan naga mengamuk itu mengingatkan kami akan cerita orang tentang Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang hanya dimiliki oleh pendekar Sim Hong Bu dari Lembah Gunung Naga Siluman..."
"Dia adalah mendiang ayah saya."
Dua orang saudara kembar itu menjadi girang sekali. "Kiranya begitu? Ah, kalau begitu di antara kita terdapat hubungan yang cukup erat. Bukankah engkau mengenal baik anak paman-paman kami, Suma Ciang Bun dan Suma Ceng Liong?"
Sim Houw tersenyum dan mengangguk. Tentu saja! Bahkan wanita yang kini menjadi isteri pendekar Suma Ceng Liong, yaitu Kam Bi Eng, pernah ditunangkan dengan dia, menjadi calon isterinya. Akan tetapi Bi Eng mencinta Ceng Liong dan melihat kenyataan ini, dengan hati rela dia mengundurkan diri, sesuai dengan anjuran mendiang ayahnya yang bijaksana.
"Locianpwe, kalau boleh saya bertanya, urusan apakah yang membuat orang-orang dari Bu-tong-pai tadi datang memusuhi sam-wi? Menurut pendengaran saya, orang-orang Bu-tong-pai biasanya adalah orang-orang yang berjiwa pendekar, maka mengherankan sekali kalau di antara sam-wi dan mereka terjadi bentrokan dan permusuhan."
Dua orang pria kembar itu saling pandang dengan Hui Lan. Wajah gadis ini berubah merah sekali dan ia menundukkan mukanya. Gak Jit Kong lalu berkata dengan suara lirih setelah menarik napas panjang. "Semua itu timbul karena pibu dalam pinangan." Dan dia pun berhenti, agaknya ragu-ragu untuk melanjutkan.
Sim Houw tadi sudah mendengarkan percakapan antara Bu-tong Ngo-lo dan tiga orang ini dan dia sudah menduga-duga, akan tetapi belum yakin benar dan hatinya merasa amat tertarik. "Pibu dalam pinangan? Apa artinya itu, locianpwe?"
Kembali Gak Jit Kong menarik napas panjang sebelum menjawab. "Sudah kurang lebih tiga tahun, semenjak datangnya lamaran-lamaran terhadap diri murid kami yang sudah mulai dewasa, kami mengadakan semacam sayembara, yaitu, calon suami murid kami haruslah seorang pendekar yang mampu mengalahkannya dan juga dari keluarga yang mampu mengalahkan kami. Kami berpendapat bahwa hanya seorang pemuda yang benar-benar lihai sajalah yang akan dapat menjadi jodoh yang cocok dan kelak dapat membahagiakan murid kami. Dan dalam pibu itu, tentu saja tak dapat dicegah jatuhnya korban di antara mereka, dan salah satu di antara korban itu adalah seorang pemuda Bu-tong-pai dan susiok-nya."
Sim Houw tadi sudah melihat sikap Hui Lan yang manja dan angkuh, juga bertangan kejam, maka kini dia mengerutkan alisnya. Dua orang saudara kembar ini walau pun telah berhasil menggembleng muridnya dengan ilmu silat tinggi, namun agaknya gagal dalam mendidiknya. Dia pun menarik napas panjang, teringat kembali akan keadaan dirinya sendiri, akan tali perjodohannya yang putus.
"Maaf, ji-wi locianpwe. Akan tetapi, saya kira perjodohan hanya akan mendatangkan kebahagiaan kalau didasari cinta kedua pihak saja. Tanpa cinta, perjodohan itu tentu akan gagal. Kepandaian atau kedudukan tinggi, harta yang besar, tidak bisa menjamin terciptanya kerukunan dalam perjodohan. Kenapa ji-wi hendak memaksakan hal itu? Bukankah perjodohan itu baru dapat berlangsung dengan baik jika dilandasi cinta kasih dan niat dari kedua pihak saja? Maafkan kelancangan kata-kata saya, locianpwe, saya tidak bermaksud mencampuri urusan pribadi ji-wi dan nona. Selamat tinggal, saya harus melanjutkan perjalanan saya." Setelah berkata demikian, Sim Houw memberi hormat kepada mereka bertiga, kemudian menggunakan ilmunya untuk meloncat jauh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Gak Jit Kong, Gak Goat Kong, dan Souw Hui Lan berdiri termangu-mangu sambil memandang ke arah perginya pemuda perkasa itu. Ucapan pemuda itu seperti masih terngiang dalam telinga mereka. Mereka lalu saling pandang dan menundukkan muka.
"Pemuda itu berkata benar." Akhirnya Hui Lan berkata halus. "Perjodohan hanya dapat mendatangkan kebahagiaan kalau berlandaskan cinta kedua pihak. Ji-wi suhu dan aku telah menipu dan menyiksa diri sendiri. Untung belum muncul seorang peminang yang memiliki kepandaian seperti Sim Houw itu. Kalau sampai kita dikalahkan kemudian aku terpaksa menjadi jodoh orang lain, bukankah kita bertiga akan menderita batin semua? Suhu, kita tidak perlu menipu diri lagi, tidak perlu berpura-pura lagi..."
Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong saling pandang dan muka mereka berubah menjadi merah sekali, sinar mata mereka pun membayangkan kegugupan.
"Hui Lan, apa maksudmu...?" Gak Jit Kong bertanya lirih.
"Suhu berdua secara mati-matian mempertahankan diriku, dengan dalih mencarikan jodoh yang berilmu tinggi, sebenarnya menentang agar tidak ada orang yang lulus ujian atau menang sayembara. Suhu berdua tidak ingin melihat aku menjadi jodoh orang lain. Hal itu hanya berarti bahwa suhu berdua cinta kepadaku."
"Hui Lan...!" Gak Goat Kong berseru.
"Hui Lan, tentu saja kami cinta padamu, sayang kepadamu karena engkau adalah murid tunggal kami yang kami sayang seperti anak kami sendiri," Gak Jit Kong berseru pula.
"Tadinya memang begitu, tetapi cinta itu lambat laun berubah, mengalami bentuknya yang asli. Tidak perlu suhu berdua menyangkal lagi. Aku adalah seorang wanita dan naluriku membisikkan cinta kasih suhu berdua itu. Mulanya aku memang tidak berani menyangka demikian, hanya sering kali termenung dan menduga-duga. Akan tetapi sekarang, setelah muncul Sim Houw tadi, aku tahu dan aku yakin."
"Hui Lan, janganlah mengira orang yang tidak-tidak! Kami adalah guru-gurumu, mana mungkin...," kata pula Gak Goat Kong, seperti juga kakak kembarnya, mukanya tiba-tiba menjadi pucat dan matanya terbelalak.
"Mengapa tak mungkin? Suhu berdua adalah pria sejati, dan aku hanya seorang wanita. Dan sekarang aku makin yakin lagi bahwa aku... sebenarnya aku pun tak menghendaki menjadi isteri siapa pun juga karena aku... aku pun semenjak dahulu cinta kepada ji-wi suhu..."
"Hui Lan...!" Kini dua orang kembar itu berteriak secara berbareng.
Namun Hui Lan tidak peduli lagi. "Ya-ya-ya, aku cinta kepada ji-wi suhu. Sejak masih kecil, aku cinta kepada ji-wi suhu. Mungkin tadinya seperti cinta seorang anak terhadap orang tuanya, seperti adik terhadap kakak, seperti murid terhadap guru. Akan tetapi setelah aku dewasa... aku yakin tidak ada manusia lain di dunia ini yang akan dapat kucinta seperti aku mencinta ji-wi. Aku hanya mempunyai ji-wi di dunia ini, sebagai guru, sebagai saudara, sebagai ayah ibu, sebagai teman dan... sebagai orang yang akan kutemani selama hidupku. Aku tidak akan dapat meninggalkan ji-wi, tidak mungkin menjadi isteri orang lain, dan demikian juga perasaan ji-wi terhadap diriku. Ji-wi suhu, kenapa kita harus berpura-pura lagi, menipu dan mempermainkan diri sendiri?" Dan gadis itu kini menjatuhkan diri berlutut, menutupi mukanya dengan kedua tangan lalu menangis!
Dua orang kembar itu saling pandang dengan muka pucat, lalu mereka memandang ke arah Hui Lan yang berlutut dan tunduk menangis, pundaknya terguncang, isak tangis keluar dari muka yang ditutupi.
Dan dua orang kembar itu pun mengusap beberapa butir air mata dari pelupuk mata mereka. Hati mereka seperti dikupas dan ditelanjangi oleh murid mereka. Mereka saling pandang dan tahu bahwa semua yang dikatakan Hui Lan itu benar adanya. Dan mengertilah sekarang mereka mengapa selama ini mereka tidak mau melihat gadis lain, tidak mau memikirkan tentang perjodohan mereka.
Cinta mereka terhadap Hui Lan tumbuh bersama dengan tumbuhnya anak perempuan berusia empat tahun itu sampai kini Hui Lan menjadi seorang gadis dewasa berusia dua puluh tahun. Cinta mereka tumbuh dan menjadi pohon yang kokoh kuat, berakar dalam-dalam di hati mereka. Karena itu mereka takut kehilangan Hui Lan. Untuk menyatakan terus terang, mereka tentu saja merasa tidak enak hati, malu dan tidak berani.
Akan tetapi tanpa terlebih dahulu berunding mereka telah mengambil keputusan untuk menentang siapa saja yang mau menjadi suami Hui Lan, dengan jalan mengadakan syarat dan sayembara yang berat itu. Dan terhadap setiap orang pria yang mencoba untuk memasuki sayembara, meminang Hui Lan, timbul rasa cemburu, benci yang mendorong mereka bersikap keras mengalahkan orang-orang itu!
"Tapi... tapi, Hui Lan...," Gak Jit Kong mencoba untuk membantah dengan muka pucat dan suara gemetar. "Bagaimana mungkin ini? Kata-katamu membuka rahasia yang terpendam paling dalam di lubuk hati kami... dan kami mengaku... memang kami amat mencintamu... kami tidak menghendaki kehilangan engkau kalau engkau menjadi isteri orang lain. Tapi di samping itu, kami juga melihat betapa tidak mungkinnya... bukan hanya karena engkau adalah murid kami, akan tetapi... kami adalah dua orang dan engkau..."
Gak Jit Kong tidak berani melanjutkan dan agaknya untuk mencari kekuatan, tanpa dia sadari, tangan kanannya mencari dan menggenggam tangan kanan adik kembarnya. Dan tangan yang saling genggam itu seolah-olah saling mencari bantuan dan mereka pun menggigil.
Sejenak Hui Lan masih sesenggukan, kemudian ia mengeraskan hatinya dan mengusap air matanya. Ketika ia melepaskan kedua tangan dan mengangkat muka memandang kepada suhu-suhu-nya, wajahnya juga nampak pucat dan kedua matanya merah basah.
"Ji-wi suhu, aku kini berpegang pada ucapan Sim Houw tadi. Bahwa perjodohan harus berlandaskan cinta kasih antara kedua pihak. Kalau ada cinta kasih antara kedua pihak, apa lagi yang tidak mungkin? Kita saling mencinta, hal ini kita sudah sama merasa yakin akan kebenarannya. Dan tentang ji-wi berdua, bagiku hanya merupakan dua tubuh akan tetapi dengan hati, pikiran dan perasaan yang satu. Bagiku, ji-wi bukanlah berdua, melainkan satu. Tidak ada bedanya antara satu dengan yang lain. Dan aku... aku hanya akan dapat hidup berbahagia kalau berada di antara ji-wi, kalau selalu berdekatan dengan ji-wi."
Dua orang kembar itu saling pandang dengan dua tangan kanan masih saling genggam.
"Akan tetapi... kita... akan menjadi... bahan tertawaan dan pergunjingan orang..."
Melihat betapa dua orang suhu-nya itu kini hanya mencari alasan yang lemah saja, Hui Lan tersenyum melalui air matanya. Ia lalu bangkit berdiri, dengan lembut memegang dua tangan yang saling genggam itu, melepaskan genggaman mereka, dan kemudian ia menggandeng tangan kedua orang suhu-nya, Gak Jit Kong di sebelah kanannya dan Gak Goat Kong di sebelah kirinya, lalu ia mengajak dua orang itu berjalan perlahan.
"Marilah kita pulang, suhu. Omongan orang lain... ada sangkut-paut apakah dengan kehidupan kita? Kita sendirilah yang tahu bagaimana seharusnya dan sebaiknya bagi kehidupan kita sendiri, bukan? Marilah kita bicarakan hal penting ini di rumah. Mulai sekarang kita tidak boleh menerima pinangan orang lain lagi. Aku akan mengatakan bahwa sekarang aku telah memperoleh jodoh, dan bahwa aku adalah calon isteri suhu berdua."
Dua orang pria kembar itu masih termangu-mangu, akan tetapi senyum kebahagiaan mulai mekar di mulut mereka. Kini mereka tahu bahwa inilah yang selama ini mereka cari dan harapkan, yaitu hidup bersama Hui Lan, bertiga, tak pernah berpisah lagi. Inilah yang membuat mereka kadang-kadang gelisah di tengah malam, membuat mereka menjadi pemarah dan pembenci orang yang datang melamar, membuat mereka bahkan kejam melukai dan membunuh orang. Kini seolah-olah ganjalan yang selama bertahun-tahun menindih batin mereka telah dilepaskan dan mereka merasa dada mereka begitu lapang, begitu ringan, begitu bahagia!
"Engkau benar, Hui Lan. Dengan bertiga, kita sanggup menghadapi apa pun juga," kata Jit Kong.
"Kita akan pergi menghadap ayah ibu, kita harus berterus terang," kata pula Goat Kong.
Sejenak kemudian, dengan hati-hati Jit Kong berkata lagi, "Hui Lan, benarkah hatimu sudah yakin?
Hui Lan menoleh ke kanan, pandang matanya memancarkan ketulusan hati. "Aku yakin benar, apakah suhu masih belum yakin seperti aku?"
"Aku... kami sudah yakin sekali tentang cinta kasih antara kita, dan ketulusan hatimu, kebulatan tekadmu, membuat kami berani dan bersemangat. Hanya ada satu hal yang masih meragukan kami..."
Hui Lan membelalakkan matanya dan menoleh ke kiri, melihat betapa Gak Goat Kong juga mengangguk-angguk membenarkan kata-kata kakak kembarnya. "Ji-wi masih ragu lagi? Apa lagi yang diragukan?"
"Hui Lan, kami berdua adalah laki-laki yang tidak muda lagi. Kami berusia empat puluh tahun sedangkan engkau... engkau baru dua puluh tahun, pantas menjadi anak kami..."
"Suhu!" Hui Lan berseru penuh rasa penasaran. "Cinta kasih tidak memandang umur, tidak memandang kepandaian, kedudukan atau harta. Cinta kasih adalah urusan hati kedua pihak. Umur tidak masuk hitungan."
Jawaban ini agaknya melegakan hati dua orang pria kembar itu. Mereka bergandeng tangan dengan wajah berseri-seri, menuju ke pondok mereka untuk membicarakan urusan mereka itu dengan lebih mendalam lagi.
Cinta kasih adalah sesuatu yang ajaib, penuh rahasia. Tidak mungkin menggambarkan bahwa cinta kasih itu begini, atau begitu. Tidak dapat dirumuskan. Tidak dapat menilai cinta kasih seseorang. Hanya orang itu sendiri yang dapat merasakannya. Cinta kasih yang hinggap di hati manusia adalah cinta kasih yang tak terpisahkan dari nafsu birahi.
Tidak dapat disangkal pula bahwa cinta kasih antara pria dan wanita mengandung kemesraan sexuil, suatu hal yang wajar karena daya tarik alami antara keduanya ini amat dibutuhkan sebagai sarana pembiakan. Karena tidak terpisahkan dari nafsu birahi yang membutuhkan kemesraan, maka di dalam cinta kasih yang biasa disebut asmara ini terdapat pula cemburu, terdapat pula perasaan ingin memberi, ingin diberi, mencinta dan dicinta, ingin menguasai dan dikuasai, memonopoli dan dimonopoli, serta ada pula perasaan iba, dan kesemuanya ini tentu saja menimbulkan tawa dan tangis, puas dan kecewa, juga penderitaan batin.
Anehnya, penderitaan cinta kasih kadang-kadang terasa seperti indah, kadang-kadang malah yang paling buruk, dan agaknya hidup menjadi hampa tanpa adanya cinta, yang sesungguhnya adalah cinta birahi, yang sesungguhnya hanya pelarian manusia karena takut akan kekosongan hati, takut akan kesepian, takut akan kehilangan pegangan, takut karena merasa hidup tidak ada artinya, maka ingin mengisinya dengan cinta birahi. Juga karena dorongan naluri badaniah.
Perasaan dua saudara kembar Gak itu tumbuh dari rasa iba terhadap seorang anak perempuan cilik, berusia empat tahun yang hidup sebatang kara. Rasa iba ini menjadi rasa sayang karena anak itu amat menyenangkan hati, berbakat baik dalam ilmu silat dan menjadi penawar rasa kesepian mereka, mengikatkan mereka karena mereka merasa mempunyai seseorang yang patut disayang. Rasa sayang terhadap seorang anak kecil!
Akan tetapi karena anak kecil itu adalah anak perempuan, pada saat anak itu tumbuh menjadi semakin besar, rasa sayang itu pun bertumbuh dan berubah, terdorong oleh naluri badani, oleh nafsu birahi yang ditekan-tekan. Ikatan di batin menjadi semakin kuat dan dua orang itu tidak berani lagi menghadapi kenyataan bahwa mereka akan saling berpisah kalau anak itu menjadi dewasa dan menjadi isteri orang lain. Rasa sayang menjadi bertambah besar dan berubah menjadi cinta seorang pria terhadap seorang wanita.
Cinta asmara tak dapat disangkal lagi mengandung nafsu birahi, namun cinta bukanlah nafsu birahi semata! Karena cinta asmara sarat dengan Im dan Yang, penuh dengan hawa-hawa yang saling bertentangan, maka dapat melahirkan tawa, atau suka dan duka, puas dan kecewa. Dapat menimbulkan cemburu, iri, dengki, dendam dan benci. Dapat pula menimbulkan iba, mesra, sabar, toleransi dan kesetiaan!
Betapapun juga, dapat kita lihat bahwa cinta asmara memegang peran terpenting, bahkan menguasai kehidupan seluruh manusia di permukaan bumi ini! Bayangkan saja apa akan jadinya kalau hidup ini tanpa cinta asmara! Dunia akan terasa lengang, dan hubungan antara pria dan wanita, hubungan yang menjadi jaminan perkembang biakan manusia, akan tidak ada artinya sama sekali, seperti hubungan antara binatang. Karena itu, hubungan sexuil baru dapat dianggap sebagai suatu hal yang suci kalau di situ disertai dua buah hati yang saling mencinta! Bukan sekedar dua hati yang dibuai oleh nafsu birahi semata.
Cinta asmara yang tumbuh dalam hati Hui Lan juga merupakan hal yang tidak terlalu aneh. Semenjak berusia empat tahun, anak ini hidup bersama Beng-san Siang-eng. Dia terhindar dari mala petaka, melihat bagaimana keluarganya terbasmi dan betapa dirinya diselamatkan oleh dua orang pria itu. Ia hidup dan tumbuh bersama dua orang pria yang amat menyayangnya.
Kedua orang pria itu merupakan guru-gurunya, juga pengganti orang tuanya, sahabat-sahabatnya, dan hal ini menggugah perasaan kewanitaannya yang halus, yang selalu haus akan kasih sayang, yang ingin dimanja, yang ingin dikuasai. Semua ini didapatinya dalam diri dua orang pria itu, maka tidaklah aneh kalau lambat laun ia jatuh cinta kepada dua orang gurunya yang dianggap sebagai satu orang dengan dua tubuh itu. Mungkin juga keadaan yang sangat istimewa, menjadi isteri dari dua orang yang serupa badan dan batinnya, keanehan dan hal yang tak akan dirasakan wanita lain, menggugah pula rasa ingin tahunya, menggugah gairahnya dan yang seumur hidupnya akan dijadikan sumber kebanggaannya.....
KAMU SEDANG MEMBACA
SULING NAGA (seri ke 12 Bu Kek Siansu)
Acción(seri ke 12 Bu Kek Siansu) Tamat Jilid 1-55