Penilaian, dalam bentuk apa pun juga, tentu dipengaruhi oleh suka dan tidak suka dari si penilai. Dan perasaan suka atau tidak suka ini timbul dari perhitungan rugi untung. Kalau si penilai merasa dirugikan, baik lahir mau pun batin, oleh yang dinilainya, maka perasaan tidak suka karena dirugikan ini yang akan menentukan penilaiannya, sehingga tentu saja hasil penilaian itu adalah buruk. Sebaliknya, kalau merasa diuntungkan lahir mau pun batin, akan timbul perasaan suka dan hasil penilaiannya tentu baik.
Penilaian menimbulkan dua sifat atau keadaan yang berlawanan, yaitu baik atau buruk. Tentu saja baik atau buruk itu bukanlah sifat asli yang dinilai, melainkan timbul karena keadaan hati si penilai sendiri.
Agaknya belum pernah ada kaisar atau orang biasa siapa pun juga yang dinilai baik oleh orang seluruh dunia. Kaisar Kian Liong, seperti dapat dilihat dalam catatan sejarah, adalah kaisar yang terkenal berhasil dalam memajukan kebesaran pemerintahannya. Akan tetapi, dia pun menjadi bahan penilaian rakyat dan karena itu, tentu saja dia pun memperoleh pendukung dan juga memperoleh penentang.
Seperti dalam pemerintahan kaisar-kaisar terdahulu, dalam pemerintahan Kian Liong ini pun tidak luput dari pemberontakan-pemberontakan, baik besar mau pun kecil. Akan tetapi, Kaisar Kian Liong selalu bertindak tegas dalam menghadapi pemberontakan-pemberontakan itu dan karena dalam pemerintahannya terdapat banyak panglima-panglima yang tangguh dan pandai, dengan bala tentara yang cukup besar, maka dia selalu berhasil memadamkan api-api pemberontakan yang terjadi di sana-sini.
Pemberontakan yang hebat terjadi pula di daerah Yunan barat daya. Bangsa Birma bersekutu dengan para pemberontak di Propinsi Yunan. Pasukan besar Bangsa Birma memasuki Propinsi Yunan bagian barat daya, menyeberangi Sungai Nu-kiang, bahkan bergerak sampai di tepi Sungai Lan-cang (Mekong).
Tentu saja Kaisar Kian Liong tidak mendiamkan saja bangsa tetangga itu mengganggu wilayah Yunan dan dia segera mengirimkan panglima-panglima perangnya, memimpin pasukan besar untuk menghalau para pengganggu dari Birma itu serta menumpas pemberontakan di Yunan. Kembali terjadi perang!
Perang adalah sebuah peristiwa yang amat jahat dan buruk dalam dunia ini. Puncak kebuasan manusia menuruti nafsu mengejar kesenangan. Perang merupakan perluasan dan pembiakan nafsu kotor dalam diri yang mengejar kesenangan dengan cara apa pun juga. Setiap orang atau benda yang dianggap menjadi penghalang usahanya mengejar kesenangan itu akan dihancurkan, dibinasakan.
Perang adalah permainan beberapa gelintir manusia yang kebetulan saja memperoleh kesempatan untuk duduk di tingkat paling atas, menjadi apa yang dinamakan pemimpin-pemimpin bangsa atau golongan atau kelompok, dalam usaha mereka untuk mencapai kedudukan paling tinggi dan kesenangan. Dan siapakah yang menjadi korban kalau bukan rakyat jelata? Para prajurit yang telah digembleng menjadi alat-alat membunuh atau dibunuh itu pun sebagian dari rakyat yang menjadi korban ulah beberapa gelintir manusia yang berambisi itu.
Perang itu amat kejam! Manusia-manusia dirubah untuk menjadi serigala-serigala dan harimau-harimau yang haus darah, menjadi orang-orang yang teramat kejam karena ketakutan, yang berdaya upaya untuk membunuh lebih dulu sebelum terbunuh, menjadi pembunuh berdarah dingin yang disanjung-sanjung serta dipuji-puji oleh mereka yang memperalatnya.
Di dalam perang berlakulah hukum rimba. Siapa kuat dia menang, siapa menang dia pasti benar dan berkuasa atas yang kalah. Bukan ini saja, tetapi di dalam perang juga timbul kejahatan-kejahatan yang diumbar karena desakan nafsu yang paling sesat. Para prajurit yang digembleng untuk melakukan kekerasan itu tentu saja berwatak keras. Bahaya-bahaya dan ancaman-ancaman di dalam perang membuat mereka berwatak keras dan kadang-kadang malah buas.
Ada pula akibat sampingan yang amat menyedihkan. Adanya perang membuat banyak daerah-daerah yang tak bertuan, hukum yang ada hanya hukum rimba. Kesempatan ini digunakan oleh gerombolan-gerombolan yang biasa melakukan perbuatan jahat untuk merajalela. Rakyat pula yang menjadi korban. Tempat atau daerah-daerah yang dilanda perang membuat rakyat jelata ketakutan dan larilah mereka pontang-panting, cerai-berai dan kacau balau meninggalkan dusun atau kota mereka yang mereka tinggali selama ini, sejak mereka kecil.
Terpaksa mereka melarikan diri demi mencari keselamatan, meninggalkan segala yang mereka sayang dan cinta, menuju ke tempat yang belum mereka ketahui atau kenal, memasuki nasib baru yang suram penuh rasa ketakutan dan tanpa adanya ketentuan. Mereka ini adalah rakyat jelata pula.
Pasukan prajurit, yang merupakan sebagian rakyat pula, dipaksa oleh para penguasa untuk menjadi bidak-bidak catur yang dimainkan oleh para penguasa kedua pihak yang saling bertentangan atau berebut kemenangan. Mereka, para prajurit itulah yang akan gugur tanpa dikenal.
Jika menang? Beberapa orang penguasa itulah yang akan menikmati hasil sepenuhnya, dan para prajurit yang mempertaruhkan nyawa dalam arti kata seluas-luasnya itu sudah cukup kalau diberi pujian dan sekedar hadiah atau kenaikan pangkat. Bagaimana kalau kalah? Prajurit-prajurit itu mempertahankan sampai titik darah terakhir, mati konyol atau tertawan, tersiksa, terbunuh, sedangkan para penguasa yang hanya beberapa gelintir orang itu kalau terbuka kesempatan akan cepat-cepat melarikan diri, menyelamatkan diri beserta keluarganya, tidak lupa membawa barang-barang berharga. Mereka akan mengungsi ke negara lain sebagai orang-orang yang kaya raya!
Hal ini bukanlah dongeng, melainkan kenyataan yang dapat kita saksikan, baik dengan menengok ke belakang melalui sejarah mau pun melihat keadaan sekarang di mana timbul perang yang keji itu.
Keluarga kecil itu terdiri dari suami-isteri dan seorang anak perempuan. Ayah itu berusia hampir empat puluh tahun, sang ibu baru berusia tiga puluhan tahun dan masih nampak cantik, sedangkan anak perempuan itu berusia kurang lebih sepuluh tahun. Mereka berhasil menyeberangi Sungai Lan-cang dengan sebuah perahu nelayan kecil. Mereka adalah penduduk di sebelah barat sungai itu. Karena pasukan-pasukan Birma sudah tiba di daerah itu, maka mereka melarikan diri mengungsi ke timur.
Namun mereka mendengar pula betapa pasukan Kerajaan Mancu tidak kalah buasnya dengan pasukan Birma atau pasukan pemberontak. Ternak peliharaan para penduduk desa habis disikat mereka, segala barang berharga dirampas dan banyak pula wanita-wanita diganggu untuk melampiaskan nafsu angkara mereka yang datang dengan dalih 'hendak melindungi rakyat dari ancaman pemberontakan dan pasukan Birma'. Rakyat dihadapkan pada dua api yang sama-sama panas membakar.
"Ibu, aku capai sekali...," anak perempuan itu mengeluh setelah perahu yang mereka pergunakan untuk menyeberangi Sungai Lan-cang itu hampir tiba di tepi bagian timur.
Anak yang usianya kurang lebih sepuluh tahun itu agak pucat dan nampak lelah sekali. Pakaiannya seperti biasa anak petani dan wajahnya yang ditutupi sebagian rambut panjang kusut itu memiliki garis-garis yang cantik manis, terutama sekali mulutnya yang kecil dengan hiasan lesung pipit di kanan kirinya.
Ibu muda ini merangkulnya, mencoba untuk tersenyum walau pun jelas ada garis-garis kegelisahan dan kelelahan di sekitar matanya. Ibu yang usianya tiga puluhan tahun ini bertubuh montok, dengan kulitnya yang putih dan rambutnya yang panjang hitam. Meski pun pakaiannya sederhana, namun nampak cantik dan manis.
"Kuatkanlah dirimu, Bi Lan, kita menderita kecapaian untuk mencari keselamatan." Ibu itu lalu mengusap air mata anaknya dan memijati kedua kaki anaknya yang nampak membengkak.
Selama sepekan mereka berjalan terus, hampir tak pernah beristirahat. Bahkan makan pun sambil berjalan dan boleh dibilang tidur sambil berjalan pula. Untung bagi mereka, ketika melarikan diri dari dusun mereka dan menyusup-nyusup keluar masuk hutan, naik turun bukit, mereka tidak pernah bertemu dengan gerombolan, hanya bertemu dengan orang-orang yang lari ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri dari ancaman perang. Akhirnya mereka pun tiba di tepi Sungai Lan-cang dan berhasil menemukan seorang nelayan tua yang mau menyeberangkan mereka.
"Tenanglah, anakku. Setibanya di seberang kita dapat mengaso untuk menghilangkan lelah. Setelah tiba di seberang, barulah kita aman dan selanjutnya dapat meneruskan perjalanan seenaknya," kata si ayah menghibur.
Ayah ini dengan hati terharu dan duka melihat keadaan mereka yang benar-benar sengsara. Bukan saja kaki isteri dan anaknya luka-luka dan bengkak-bengkak, juga persediaan makan tinggal satu dua hari lagi, sedangkan mereka hanya membawa bekal uang yang kiranya hanya cukup untuk dibelikan makanan selama paling lama sebulan. Setelah itu, bagaimana?
Ngeri dia membayangkan. Belum tahu ke mana tujuan pelarian mereka, belum tahu bagaimana harus mendapatkan penghasilan, dan tidak mempunyai rumah atau tanah, dengan pakaian hanya tiga empat setel saja. Akan tetapi semua itu soal nanti. Yang penting sekarang adalah berada di tempat yang aman! Dan di seberang sungai itulah tempat aman!
Akan tetapi, itu hanya harapan saja. Di jaman seperti itu, tempat manakah yang dapat dianggap aman? Baik di dalam kota, mau pun dusun, di atas bukit atau di tengah hutan sekali pun, selama tempat itu masih didatangi orang, maka keamanan diri pun tidak terjamin lagi. Kejahatan tak memilih tempat, karena kejahatan muncul dari dalam batin, dan selama ada manusia, maka perbuatan jahat pun terjadilah.
Dengan ucapan terima kasih, keluarga yang terdiri dari tiga orang itu meninggalkan nelayan tua yang juga cepat-cepat menengahkan lagi perahunya ke sungai karena bagi nelayan ini, tempat yang paling aman adalah di tengah sungai, di mana dia hanya bergaul dengan perahu, dengan kemudi, dengan dayung, kail, jala dan ikan-ikan. Dan Can Kiong bersama isteri dan puteri tunggalnya, Can Bi Lan, melanjutkan perjalanan memasuki hutan di tepi sungai itu.
Setelah tiba di sebuah pohon besar di mana terdapat petak rumput, tempat yang teduh dan nyaman, barulah Can Kiong mengajak anak isterinya berhenti. Isterinya yang sudah hampir merasa lumpuh kedua kakinya lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput tebal sambil menghela napas panjang karena lega. Puterinya, Bi Lan, segera menjatuhkan diri rebah di atas rumput, berbantal paha ibunya dan dalam waktu sebentar saja anak yang sudah hampir pingsan kelelahan ini pun pulaslah.
Bi Lan tidak tahu berapa lama ia tertidur. Tiba-tiba tubuhnya terguncang dan terdengar suara riuh. Ia cepat membuka matanya dan ternyata ia telah rebah di atas tanah, tidak lagi berbantal paha ibunya karena ibunya sudah bangkit berdiri sambil berteriak-teriak ketakutan. Ketika ia melihat, ternyata mereka telah dikepung oleh belasan orang yang berpakaian seragam namun compang-camping, dengan jenggot kasar dan pandang mata liar! Belasan orang itu semua memegang senjata golok yang mengkilap tajam.
Yang amat mengejutkan hati Bi Lan adalah ketika melihat ayahnya sedang mati-matian melawan dua orang di antara mereka yang menyerang ayahnya dengan golok. Ayahnya berusaha mengelak ke sana-sini, tapi diiringi suara ketawa belasan orang itu, akhirnya dua orang itu dapat mempermainkan ayahnya dengan menyarangkan golok mereka, mula-mula hanya menyerempet saja, merobek-robek pakaian dan kulit, kemudian makin dalam dan akhirnya ayahnya, yang terus melawan mati-matian, roboh terguling dalam keadaan mandi darah. Dua batang golok masih terus mengejarnya dan menghujankan bacokan sampai tubuh ayahnya hanya menjadi onggokan daging merah yang berlumur darah!
Selagi terjadi pembantaian itu, ibunya menjerit-jerit, apa lagi ketika melihat ayahnya mandi darah dan terguling. Ibu ini hendak lari menubruk suaminya, akan tetapi tiba-tiba seorang laki-laki yang bercambang bauk, paling tinggi besar di antara mereka, dengan muka hitam totol-totol dan buruk sekali, menyambar tubuh ibunya dari belakang. Kedua tangannya meremas-remas dan muka penuh brewokan itu menciumi muka ibunya.
Wanita itu berteriak-teriak, meronta-ronta dan bahkan memukul dan mencakar, akan tetapi dengan hanya satu tangan saja, dua pergelangan tangan wanita itu ditangkap dan tubuhnya lalu dipanggul. Semua orang tertawa-tawa melihat wanita yang dipanggul itu menggerak-gerakkan kedua kaki dan pinggul, meronta-ronta dan menjerit-jerit. Mereka berbicara dalam bahasa asing karena memang mereka adalah Bangsa Birma, sisa pasukan yang terpukul mundur dan tercecer berkeliaran di dalam hutan.
Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus, yang mukanya pucat seperti orang berpenyakitan, akan tetapi yang mempunyai sepasang mata tajam dan liar penuh kebengisan dan kekejaman, berkata sesuatu kepada si tinggi besar yang memanggul wanita itu. Si tinggi besar tertawa dan terkekeh ketika si tinggi kurus menuding ke arah Bi Lan yang masih tetap duduk di atas tanah dengan muka pucat dan tubuh menggigil ketakutan.
Anak ini tadi ikut menjerit-jerit dan menutupi mukanya saat ayahnya dibantai, kemudian melihat ibunya ditangkap, dia pun menangis dan berteriak-teriak. Hampir dia pingsan melihat semua itu dan kini ia hanya bisa duduk dengan mata terbelalak seperti seekor kelinci tersudut dan terkurung oleh segerombolan serigala.
Si tinggi kurus muka pucat itu dengan beberapa langkah saja sudah mendekati Bi Lan. Sebelum tahu apa yang terjadi, rambut Bi Lan yang panjang itu sekali dijambaknya dan dengan sekali sentakan saja membuat gadis cilik itu tubuhnya melayang ke atas dan kepalanya terasa sakit karena rambutnya dijambak dan disentakkan ke atas. Ia menjerit dan tubuhnya sudah dipondong oleh si tinggi kurus. Bi Lan menjerit dan meronta-ronta sekuat tenaga.
"Lepaskan anakku...! Jangan ganggu anakku, ohhh... bunuhlah aku, tapi jangan ganggu anakku...!" Ibu itu menjerit-jerit ketika melihat anaknya ditangkap pula.
Akan tetapi orang-orang kasar itu hanya tertawa bergelak dan Bi Lan dibawa pergi oleh si tingggi kurus. Bi Lan meronta-ronta, akan tetapi mana mungkin ia dapat melepaskan diri? Ia dibawa semakin jauh dan ia kini tidak melihat ibunya lagi, hanya mendengar jerit tangis ibunya yang makin lama makin jauh, kemudian tidak terdengar lagi sama sekali.
Kini baru Bi Lan teringat akan nasib dirinya sendiri setelah ia jauh dari ayah ibunya. Tadi ia lupa akan keadaan diri sendiri karena melihat mereka dan kini baru ia tahu bahwa dirinya dibawa pergi menjauh dari pada yang lain oleh si tinggi kurus bermuka pucat. Rasa takut membuat dia menangis sesenggukan dan tidak berteriak-teriak lagi, tidak meronta lagi.
Ketika tiba di tengah hutan, di dekat sebuah sumber air di mana tumbuh rumput tebal di bawah pohon-pohon rindang, si tinggi kurus itu melempar turun Bi Lan ke atas rumput. Anak itu terbanting perlahan, dan karena rumput itu tebal dan lunak, dia tidak terlalu menderita nyeri.
Akan tetapi, Bi Lan segera bangkit duduk. Tubuhnya masih lemas karena kelelahan, ditambah lagi dengan kengerian yang dilihatnya, dan rasa takut yang amat sangat, membuat dia seperti lumpuh. Kini, dengan muka pucat, dengan mata merah basah, dengan rambut kusut dan tubuh panas dingin, ia memandang kepada laki-laki yang berdiri amat tingginya di depannya itu dengan sinar mata liar ketakutan. Ia melihat wajah yang pucat kurus itu menyeringai, mata yang buas dan bengis itu ditujukan kepadanya.
"Nah, begitulah, anak manis. Diam saja dan jangan menangis. Aku paling benci kalau mendengar anak menangis. Nah, begitulah, jangan membikin aku marah."
Laki-laki itu menanggalkan bajunya, kemudian duduk di depan Bi Lan. Anak perempuan ini melihat betapa kulit dadanya yang kurus itu, kulit yang hanya membungkus tulang, cacat dengan guratan-guratan panjang bekas luka. Mengerikan sekali dan gadis itu semakin ketakutan. Apa lagi melihat laki-laki itu menjulurkan tangan dan jari-jari yang kecil panjang itu menyentuh dan mengusap pipinya, kemudian tangan itu mengusap rambutnya.
"Kembalikan... kembalikan aku... kepada ibuku..." Akhirnya Bi Lan mampu juga bicara karena melihat laki-laki itu tak bersikap kasar kepadanya.
Baru sekali ini nampak laki-laki itu tertawa dan hampir Bi Lan jatuh pingsan saking takut dan seramnya. Laki-laki kurus ini sejak tadi diam saja dan sikapnya itu penuh dengan kebengisan, akan tetapi kalau ia diam, masih baiklah. Akan tetapi kini dia tertawa dan suasana menjadi menyeramkan. Dia tertawa tanpa disertai bibir dan matanya. Mulutnya seperti diam saja akan tetapi dari kerongkongannya terdengar kekeh lirih yang amat mengerikan, pantasnya iblis yang bisa tertawa seperti itu.
Dan kini laki-laki itu, masih terkekeh, mencengkeram baju Bi Lan dan sekali renggut, terdengar kain robek dan baju itu pun terlepas dari pundak dan lengan Bi Lan! Tentu saja Bi Lan terkejut setengah mati dan ia pun menjerit dan menangis.
"Ehhh! Aku paling benci..." Laki-laki itu berteriak dan tangan kirinya menampar.
"Plakkk...!"
Rasa nyeri membuat Bi Lan yang terpelanting ke atas rumput itu seketika menghentikan tangisnya. Nyeri dan kaget bukan main. Tamparan pada pipinya itu membuat pandang matanya berkunang dan ujung bibirnya berdarah. Ketika ia membuka matanya lagi, tahu-tahu laki-laki itu telah menyambar tubuhnya, dipangkunya dan laki-laki itu mulai menciumi bibirnya yang berdarah.
Bagaikan seekor serigala, laki-laki itu menjilati bibir sendiri yang berlepotan darah yang keluar dari bibir Bi Lan yang pecah, kemudian menciumi lagi dengan buasnya, bukan mencium, melainkan lebih mirip hendak menghisap darah yang keluar itu sampai habis dari tubuh Bi Lan. Tentu saja Bi Lan semakin ketakutan dan kesakitan, meronta-ronta tanpa dapat mengeluarkan suara karena mulutnya tertutup mulut pria itu. Ia muak dan takut, matanya terbelalak dan ia masih belum mengerti mengapa orang itu melakukan hal seperti itu kepada dirinya. Keadaan orang tinggi kurus itu seperti mabok.
Memang, orang yang membiarkan dirinya dikuasai nafsu, tiada bedanya dengan orang yang mabok. Makin dibiarkan nafsu menguasai diri semakin parah pula maboknya itu sehingga ia lupa segala-galanya, yang teringat hanyalah bagaimana caranya untuk bisa melampiaskan nafsunya secepat mungkin dan sepuas mungkin.
Orang yang dikuasai oleh nafsu birahi seperti orang tinggi kurus itu, yang memang menjadi hamba dari nafsu birahinya dan membiasakan diri untuk tunduk kepada nafsu ini, tidak lagi melihat apakah perbuatannya dalam melampiaskan nafsunya itu sudah tepat dan benar. Dia lupa bahwa yang dicengkeramnya adalah seorang anak kecil yang baru berusia sepuluh tahun, bukan seorang wanita yang sudah dewasa dan sudah layak dijadikan pemuas nafsu birahinya. Dia tidak peduli lagi, yang penting baginya adalah bagaimana nafsunya dapat cepat tersalurkan.
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan diri Bi Lan itu, tiba-tiba terdengar suara orang ketawa-tawa. Suara ketawa itu terdengar aneh dan halus, tetapi menusuk anak telinga sehingga si tinggi kurus yang sedang menciuminya, atau seperti hendak memakannya dengan lahapnya itu, tiba-tiba mengangkat muka yang dibenamkannya pada leher anak perempuan itu dan menoleh.
Dia terkejut sekali melihat munculnya tiga orang yang tahu-tahu telah berada di situ. Karena tiga orang itu bukan anak buahnya, dia pun menjadi marah dan sekali dorong, dia telah membuat tubuh Bi Lan yang dipangkunya itu terlempar sampai dua meter lebih di depannya, bergulingan di atas rumput. Kemudian dengan sikap beringas karena merasa kesenangannya terganggu, dia meloncat ke atas seperti seekor harimau dan menghadapi tiga orang itu dengan dada dibusungkan. Tetapi karena memang tubuhnya kerempeng, biar pun dadanya dibusungkan, tetap saja nampak tidak gagah dan tidak menakutkan, malah lucu karena dadanya itu makin kelihatan kerempengnya.
Tiga orang itu memang aneh sekali keadaannya. Tiga orang kakek yang buruk rupa dan aneh, bahkan lucu dan agak menyeramkan. Usia mereka tentu tidak kurang dari enam puluh tahun.
Yang seorang bertubuh tinggi sekali, hampir satu setengah kali orang biasa dan seperti biasa orang yang mempunyai tubuh tinggi, dia condong untuk merendahkan tubuhnya hingga agak membungkuk dan kedua pundaknya pun terlipat ke dalam atau ke depan. Orang tinggi ini bertulang besar namun agak kurus, kulitnya penuh keriput kehitaman.
Mukanya agak meruncing ke depan seperti muka kuda. Kedua matanya yang berjauhan itu seperti menjuling jika memandang ke depan dan telah terbiasa untuk melihat dengan mata melirik hingga mukanya selalu tidak lurus menghadapi benda-benda yang sedang dipandangnya. Hidungnya juga mancung dan mulutnya meruncing. Mukanya yang lucu sekali, apa lagi di tambah dengan telinganya yang berdaun lebar dan panjang seperti telinga keledai.
Matanya yang menjuling itu seringkali disipitkan karena dia memang kurang awas. Kedua lengannya panjang sekali sampai tergantung ke tepi lutut, seperti lengan kera saja. Pakaiannya serba hitam yang menambah keburukannya, dengan sepatu hitam pula yang dilapisi dengan baja. Kedua kakinya juga panjang-panjang dan sedikit bengkok seperti punggungnya pula.
Orang buruk rupa ini sama sekali bukan orang yang biasa saja, bahkan keburukannya itu menambah ketenarannya di dunia kaum sesat karena orang ini adalah Hek-kwi-ong (Raja Iblis Hitam) yang memiliki kesaktian luar biasa, juga memiliki kekejaman yang hanya dapat disamakan dengan raja iblis sendiri. Akan tetapi, selama puluhan tahun ini dia tak pernah keluar dan baru sekarang nampak di hutan itu, suatu hal yang kebetulan saja nampaknya.
Orang yang kedua tidak kalah anehnya. Orangnya bulat seperti bal. Tingginya hanya tiga perempat orang biasa dan karena dia amat gemuk, terutama sekali perutnya yang gendut seperti bola, maka dia kelihatan bulat seperti sebuah gentong yang mempunyai kaki dan tangan. Mukanya yang bulat itu nampak cerah selalu karena dia memiliki mulut yang tidak dapat ditutup rapat, selalu terbuka sehingga nampaknya selalu tersenyum atau tertawa ramah.
Orang ini memang segala-galanya serba bulat. Matanya, hidungnya, mulutnya yang lebar bahkan telinganya juga bundar bentuknya. Lengan dan kakinya juga gemuk bulat, apa lagi pinggul dan perutnya. Pendeknya, manusia bundar ini memang kelihatan lucu sekali dari samping atau belakang. Akan tetapi jangan melihat dari depan, karena kalau melihat sinar matanya dan kalau tersenyum, baru nampak sesuatu yang mengerikan membayang dari sinar mata dan senyumnya.
Kalau dia diam saja malah mulutnya kelihatan tersenyum ramah, akan tetapi kalau dia tertawa atau tersenyum, sungguh mukanya seketika berubah seperti muka iblis! Dan matanya itu mengeluarkan sinar mencorong yang bagaikan bukan mata manusia lagi, melainkan mata serigala buas atau mata harimau di tempat gelap. Dia ini pun seorang yang luar biasa sekali, selain sakti juga pada puluhan tahun yang lalu amat terkenal dengan julukan Im-kan Kwi (Iblis Akhirat).
Orang ke tiga lebih menakutkan lagi. Tubuhnya hanya kulit pembungkus tulang saja, agaknya sama sekali tidak berdaging lagi, apa lagi bergajih. Mirip seperti tengkorak dan rangka terbungkus kulit, juga mukanya amat pucat seperti mayat. Bahkan kalau berjalan kadang-kadang mengeluarkan suara berkerotokan seakan-akan tulang-tulangnya saling beradu! Hanya kedua matanya saja yang nampak hidup, bahkan mata ini mencorong menakutkan. Orang ini sama dengan dua orang yang pertama, pada puluhan tahun yang lalu amat terkenal dengan julukan Iblis Mayat Hidup.
Karena tiga orang ini selalu saling bantu dari bekerja sama, maka mereka bertiga itu dikenal di dunia kaum sesat sebagai Sam Kwi (Tiga Iblis). Kurang lebih dua puluh tahun yang lalu, Sam Kwi ini pernah mencoba kepandaian Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Dan melalui perkelahian yang amat sengit, di mana Pandekar Super Sakti dikeroyok oleh mereka bertiga, akhirnya Sam Kwi dapat dikalahkan dan masing-masing menderita kekalahan yang cukup parah.
Oleh karena tadinya mereka menyombongkan diri, merasa bahwa dengan maju bertiga mereka dapat mengalahkan siapa pun juga, dan bersumbar di depan Pendekar Super Sakti bahwa kalau mereka bertiga kalah mereka takkan muncul lagi di dunia persilatan, maka setelah dikalahkan, mereka bertiga kemudian pergi menyembunyikan diri bertapa. Mereka merasa malu dan juga penasaran. Oleh karena itu, mereka mengasingkan diri jauh ke puncak yang terpencil dari Pegunungan Thai-san, di mana mereka bertapa dan memperdalam ilmu mereka, ditemani seorang murid yang pandai.
Setelah merasa bahwa ilmu mereka mencapai tingkat yang tertinggi, dan mendengar betapa negara kacau oleh pemberontakan-pemberontakan, tiga orang itu akhirnya turun gunung dan pergi ke timur. Pada hari itu, tanpa disengaja mereka tiba di hutan yang sunyi di sebelah timur Sungai Lan-cang. Di tempat inilah mereka melihat seorang pria tinggi kurus sedang mempermainkan dan agaknya hendak memperkosa seorang anak perempuan yang masih kecil.
Perbuatan seperti itu tentu saja tiada artinya bagi tiga orang datuk sesat yang pernah melakukan segala macam kejahatan seperti iblis itu, bahkan dianggap sebagai suatu perbuatan yang tak ada artinya dan memalukan, hanya pantas dilakukan oleh bajingan kecil saja. Maka, tadinya mereka hanya tersenyum-senyum melihat tingkah laku laki-laki tinggi kurus itu dan membiarkannya saja.
Akan tetapi ketika pada suatu ketika anak perempuan itu mengangkat mukanya yang pucat dan ketiga orang kakek itu melihat anak itu, tiba-tiba mereka bertiga melangkah maju dan ketiganya merasa amat tertarik. Pandang mata mereka yang tajam segera melihat bakat terpendam yang amat hebat dalam diri anak perempuan itu! Tentu saja Hek-kwi-ong tidak dapat melihat jelas, hanya melihat betapa anak perempuan itu sama sekali tidak berteriak minta tolong walau pun berusaha dan meronta untuk melawan dan hal ini saja dianggapnya sebagai suatu keberanian luar biasa.
"Wah, anak itu bagus sekali!" kata Im-kan-kwi.
"Benar, bahkan lebih bagus dari pada murid kita," sambung Iblis Mayat Hidup. "Dan dia pemberani dan tabah," berkata pula Raja Iblis Hitam tidak mau ketinggalan, karena hal ini sama saja mengakui bahwa matanya lamur!
"Sayang daging lunak dan lezat itu hendak dimakan anjing kotor," kata Iblis Akhirat.
Ketiganya lalu mengeluarkan suara ketawa dan tubuh mereka melesat seperti terbang saja, dalam sekejap mata tiba di dekat si tinggi kurus yang sedang menciumi anak itu. Suara ketawa inilah yang mengejutkan prajurit Birma tinggi kurus itu dan dia mendorong pergi Bi Lan, kemudian meloncat bangun dengan marah.
"Keparat busuk, sungguh kalian ini tiga orang tua bangka sudah bosan hidup, berani menggangguku!" bentak si tinggi kurus sambil mengamangkan goloknya ke arah tiga orang kakek itu.
Iblis Akhirat yang lebih suka bicara dari pada dua orang kawannya, kini tertawa bergelak dan seketika prajurit Birma tinggi kurus itu tercengang dan bergidik. Setelah tertawa, kakek yang kelihatannya ramah itu menjadi begitu menakutkan mukanya. Seperti setan!
"Ha-ha-ha-hah! Cucuku, siapakah engkau?" Iblis Akhirat bertanya, suaranya tentu saja memandang rendah sekali.
Melihat sikap ketiga orang ini, si tinggi kurus yang juga bukan seorang yang hijau atau bodoh, dapat menduga bahwa tentu tiga orang kakek ini bukanlah orang sembarangan sehingga sikap dan keadaannya demikian aneh. Akan tetapi dia tidak takut, bahkan dia ingin mendatangkan kesan dan wibawa pada tiga orang ini untuk menggertak mereka, maka jawabnya dengan angkuh, "Aku adalah perwira pasukan Birma yang jaya!"
Pada waktu itu, semua orang tahu bahwa pasukan Birma bersekutu dengan pasukan pemberontak, dan semua orang takut kepada pasukan Birma ini.
Akan tetapi, Iblis Akhirat itu agaknya sama sekali tidak takut. "Apa?! Dari bahasamu, jelas kamu ini bukan orang asing, bukan orang Birma, akan tetapi pekerjaanmu sebagai perwira pasukan Birma. Wah, kalau begitu engkau ini adalah seekor cacing busuk, seorang pengkhianat, ya? Kami paling benci deh melihat pengkhianat!"
"Anjing penjilat busuk!" kata Raja Iblis Hitam.
"Serigala masih lebih baik dari pada kamu!" bentak pula Iblis Mayat Hidup.
Tentu saja si tinggi kurus menjadi marah bukan main mendengar ucapan mereka. Dia sama sekali tidak tahu bahwa walau pun Sam Kwi merupakan iblis-iblis yang merajai dunia kaum sesat dan tidak segan melakukan kejahatan macam apa pun juga, akan tetapi mereka itu pada dasarnya merupakan orang-orang yang membenci pemerintahan Mancu dan karena itu tentu saja membenci negara Birma yang berani masuk dan mengganggu wilayah Yunan, dan lebih benci lagi terhadap orang-orang yang berkhianat membantu kekuasaan asing untuk memerangi bangsa sendiri.
"Keparat, kalian memang sudah bosan hidup!" bentak si tinggi kurus.
Dengan goloknya dia menerjang maju dan membacok ke arah kepala Iblis Akhirat yang berada paling dekat di depannya. Golok yang mengkilap itu menyambar ganas, kuat dan cepat ke arah kepala Iblis Akhirat yang botak. Akan tetapi si gendut itu sama sekali tidak mengelak dan agaknya bahkan tidak tahu bahwa kepalanya terancam senjata tajam yang akan dapat membelah kepalanya yang bundar dan botak itu menjadi dua!
"Singggg... krakkk!"
Perwira Birma yang sebenarnya berbangsa Cina itu mengeluarkan suara teriakan kaget. Tangannya terpaksa melepaskan gagang golok karena goloknya menimpa kepala yang kerasnya bagaikan baja, membuat golok itu rompal dan rusak. Dan saking kerasnya pertemuan antara golok dan kepala tadi, tangannya tergetar hebat dan menjadi seperti lumpuh sehingga terpaksa gagang golok terlepas dan dia sendiri kemudian terhuyung ke belakang! Barulah dia kaget dan takut. Kiranya kakek yang diserangnya itu adalah seorang sakti!
Sudah banyak dia mendengar mengenai orang sakti, dan kini, melawan seorang saja, dan baru sekali bacok goloknya malah rompal dan terlepas, apa lagi harus melawan tiga orang yang sedemikian saktinya. Dasar wataknya yang kejam itu terdorong oleh sifat pengecut dan penakut, begitu tahu bahwa dengan kekuatan dan kekuasaannya dia tak akan menang menghadapi tiga orang ini, tanpa banyak pikir lagi dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Iblis Akhirat. Tubuhnya menggigil dan suaranya gemetar ketika dia berkata dengan suara mengandung penuh rasa takut.
"Harap sam-wi locianpwe (tiga orang tua sakti) sudi mengampuni nyawa hamba..."
"Uhhih, memuakkan!" Iblis Akhirat berseru sambil menggerakkan hidungnya yang bulat seperti orang mendengus bau busuk. Lalu dia menoleh kepada dua orang temannya. "Kita apakan saja tikus ini?"
"Kita bantai saja!" kata Raja Iblis Hitam.
"Siksa dia!" kata pula Iblis Mayat Hidup.
"Ampun... ampun..." Si tinggi kurus itu mengeluh ketakutan.
"Desss...!"
Tiba-tiba Iblis Akhirat menggerakkan kakinya dan kaki kanan yang pendek itu sudah menendang. Tubuh yang berlutut itu terlempar ke atas, tinggi sekali, sampai ada lima tombak tingginya. Si tinggi kurus berteriak kesakitan dan ketakutan. Ketika tubuhnya melayang turun, dia disambut oleh tendangan Raja Iblis Hitam.
"Desss...!"
Kembali tubuhnya terlempar ke atas, kini tendangan itu lebih keras lagi. Akan tetapi seperti juga tendangan Iblis Akhirat tadi, tendangan ini mengenai pangkal pahanya dan tidak mematikan, hanya menimbulkan rasa nyeri dan membuat tubuhnya terlempar jauh ke atas. Kembali si tinggi kurus berteriak ketakutan ketika tubuhnya melayang turun.
"Dukkk...!"
Sekali lagi tubuhnya mencelat ke atas ketika Iblis Mayat Hidup memperoleh giliran menyambut tubuhnya dengan tendangan. Agaknya tiga orang kakek ini tidak mau cepat membunuh korban mereka dan mereka seperti bermain bola, menendangi tubuh itu sampai berkali-kali terlempar ke atas. Baru setelah si tinggi kurus tidak mengeluh lagi, mereka membiarkan tubuh itu terjatuh ke atas tanah.
"Brukkk..."
Si tinggi kurus terbanting keras dan tidak mengeluh lagi karena sudah pingsan.
"Byurrrrr...!"
Tubuh itu terbaring ke kubangan air yang tidak dalam, akan tetapi cukup membenamkan tubuh yang jatuh miring itu. Begitu mukanya terbenam ke dalam air yang amat dingin, si tinggi kurus sadar kembali dan gelagapan bangkit dari genangan air. Dia segera teringat akan ancaman mengerikan dari tiga orang kakek itu yang kini berdiri melihat kepadanya sambil menyeringai. Rasa takut mendatangkan tenaga dalam tubuhnya yang ngilu dan nyeri semua itu, lalu dia melompat dan melarikan diri.
"Ho-ho-ho, berani melarikan diri?" tiba-tiba Iblis Akhirat berseru.
Sekali tubuhnya yang bulat bergerak, bagaikan sebuah bola yang menggelinding, cepat sekali dia mengejar dan tahu-tahu rambut kepala si tinggi kurus yang terurai karena tadi terlepas dari lindungan topi pasukan dan ikatan rambutnya ketika dijadikan bulan-bulan tendangan, sudah dijambaknya dan tubuh itu lalu diseretnya seperti seorang anak kecil menyeret sebuah benda permainannya.
"Ampun, locianpwe... ampun!" Si tinggi kurus merintih ketakutan.
"Brukkk...!"
Kakek gendut itu membanting tubuh korbannya ke atas tanah dan mereka bertiga lalu mengepungnya, seperti tiga orang anak yang sedang bermain-main dengan gembira.
"Ha-ha-ha, kau suka bermain-main dengan golok dan tadi mengetuk kepalaku dengan golokmu? Hemmm, coba sampai di mana ketajaman golok rompalmu!" Kakek gendut itu mengambil golok rompal milik si tinggi kurus yang memandang dengan pucat sekali dan mata terbelalak.
"Iblis Hitam dan Mayat Hidup," kata Iblis Akhirat kepada dua orang temannya. "Aku telah melatih semacam ilmu yang menarik sekali. Dari jauh, dengan golok ini, aku mampu mengambil daun telinga kiri tikus ini. Kalian mau lihat?"
"Apa sukarnya itu?" Iblis Mayat Hidup mendengus.
"Golok ini kubikin terbang mengambil daun telinga dan membawanya kembali ke tempat aku berdiri," sambung si gendut.
"Ahhh, masih harus dibuktikan itu!" kata Raja Iblis Hitam tak percaya.
Tentu saja dua orang datuk iblis itu tahu dan bahkan pandai menyerang lawan dengan golok terbang, yaitu hui-to atau golok yang disambitkan. Akan tetapi membuat golok itu mengambil daun telinga dan membawanya kembali ke tuannya, sungguh mustahil!
"Ha-ha-ha, kalian lihatlah baik-baik," berkata kakek gendut itu sambil meloncat menjauhi korbannya sampai sejauh lima belas meter.
Dia lalu menggunakan jari-jari kedua tangannya menekuk golok itu menjadi sebuah benda melengkung seperti gendewa patah tengahnya, dan beberapa kali ditimangnya di tangan kiri, lalu dibenarkan tekukannya. Setelah merasa puas dan menganggap bahwa bentuk senjatanya itu sudah sempurna, dia lalu mengukur jarak dengan matanya. Si tinggi kurus hanya memandang dengan muka pucat sekali, tidak tahu apa yang akan menimpa dirinya.
"Terbanglah!" Tiba-tiba Iblis Akhirat menggerakkan lengan kanannya yang pendek dan benda melengkung terbuat dari golok tadi telah melayang cepat ke arah si tinggi kurus, dengan berputar-putar aneh.
"Cratttt...! Auhhh..."
Tiba-tiba si tinggi kurus berteriak dan menutupi telinga kirinya yang berdarah. Kiranya daun telinga kirinya sudah putus disambar benda terbang tadi dan hebatnya, daun telinga itu seperti menempel pada benda itu yang kini terbang terus, kembali kepada Iblis Akhirat! Kakek gendut ini bergelak dan menerima kembali senjata aneh itu yang dilemparkannya ke atas tanah bersama daun telinga itu.
"Bagus...!" Dua orang kakek yang menjadi temannya memuji.
"Kalau hanya buntung sebelah menjadi kurang patut," tiba-tiba Raja Iblis Hitam berkata.
Dan sebelum si tinggi kurus tahu maksudnya, tiba-tiba si tinggi besar seperti raksasa itu sudah menjulurkan tangannya. Lengannya yang panjang itu terjulur dan betapa takutnya hati si tinggi kurus melihat betapa lengan yang dijulurkan itu terus mulur makin panjang mengejarnya. Dia terkejut dan ketakutan, bangkit berdiri dan dengan tangan memegangi bagian telinga kiri yang buntung, dia mencoba lari.
"Krakkk... aduhhhh...!"
Tubuh si tinggi kurus terpelanting dan dia bergulingan ke atas tanah. Sekarang sebelah tangannya menutupi telinga kanan yang sudah tidak berdaun lagi karena tadi, jari-jari tangan yang diulurkan panjang itu tahu-tahu sudah meremas daun telinga itu sehingga hancur dan buntung!
"He-he-heh-heh, ilmu memanjangkan lenganmu itu pasti bagus sekali untuk melakukan pencopetan di pasar, Iblis Hitam!" Iblis Akhirat terkekeh kagum. Sungguh tidak mudah menguasai ilmu untuk membuat anggota tubuh dapat mulur seperti itu.
"Kedua tangannya menyembunyikan hasil pertunjukan kalian, biar kusingkirkan!" kata Iblis Mayat Hidup yang melangkah maju menghampiri si tinggi kurus yang kini sudah ketakutan setengah mati.
Melihat betapa kakek yang seperti mayat hidup itu menghampirinya, dia melupakan rasa nyeri pada kedua telinganya dan dia pun cepat bangkit berdiri dan lari sekuatnya!
"Tak-tuk-krok-krok...!" Terdengar suara berkerotokan dan itulah suara tubuh Iblis Mayat Hidup yang lari berloncatan mengejar.
Gerakannya cepat sekali dan tahu-tahu iblis ini sudah berdiri menghadang di depan si tinggi kurus yang tentu saja terbelalak kaget melihat iblis itu telah berada di depannya. Dia membalikkan diri dan berlari ke lain jurusan, akan tetapi terdengar kembali suara berkeretokan dan tahu-tahu iblis itu sudah menghadang pula di depannya. Beberapa kali dia membalik sampai akhirnya dia digiring kembali ke tempat tadi.
"Ampun... ampun...!" katanya mengangkat kedua tangan ke atas, melepaskan pinggir kepala yang tadi ditutupinya. Nampak kedua telinga itu tidak bardaun lagi dan hanya merupakan sebuah lubang berlumuran darah.
"Wuuuuut... krakkkkk!"
Tangan Iblis Mayat Hidup bergerak menyambar ke arah dua pundak si tinggi kurus dengan cepat bukan main dan tahu-tahu nampak darah menyembur dari kedua pundak si tinggi kurus itu ketika lengannya tahu-tahu sudah buntung disambar jari-jari tangan kurus dari Iblis Mayat Hidup! Dengan babatan jari-jari tangan saja tengkorak hidup itu mampu membikin buntung dua lengan sebatas pundak. Sungguh merupakan ilmu yang amat luar biasa dan kekejaman yang mencapai puncaknya.
"Ha-ha-ha, bagus!" teriak Iblis Akhirat.
"Bagus sekali!" Raja Iblis Hitam juga memuji.
Akan tetapi si tinggi kurus hanya dapat menjerit dan dia pun roboh pingsan. Darah bercucuran dari kedua pundak yang sudah tidak berlengan lagi itu.
"Heh-heh, dia tidak boleh mati dulu!" Iblis Akhirat berkata.
Dan cepat dia meloncat ke dekat tubuh yang pingsan itu, sedangkan Iblis Mayat Hidup memutar-mutar kedua lengan yang dipatahkannya itu seperti seorang anak kecil main-main, lalu melemparkan kedua lengan itu jauh sekali ke dalam jurang. Si gendut itu mengeluarkan sebuah botol dan menuangkan isi botol yang berupa cairan hitam ke atas luka di kedua pundak dan juga di kedua telinga. Obat ini manjur bukan main, cepat kerjanya karena seketika darah berhenti mengalir. Dengan beberapa tekanan pada jalan darah, si tinggi kurus disadarkan kembali oleh Iblis Akhirat.
Begitu sadar si tinggi kurus itu merintih-rintih karena merasakan nyeri yang amat hebat menusuk sampai ke ulu hati. Ketika dia melihat bahwa dua lengannya telah lenyap, dia mengeluh dan dengan susah payah dia dapat bangkit duduk, memandang ke arah tiga orang kakek itu. Kini tahulah dia bahwa minta ampun tidak ada gunanya, maka dia pun menggigit bibirnya menahan nyeri, kemudian berkata, "Kalian bunuh sajalah aku!" Dia memang tidak dapat melihat jalan keluar lain kecuali mati dengan cepat.
Sementara itu, Bi Lan sejak tadi sudah bangkit duduk di atas rumput dan mengenakan kembali bajunya yang tadi direnggut lepas dan robek. Dia menonton semua peristiwa itu dengan mata terbelalak dan muka pucat. Selama hidup belum pernah ia menyaksikan tontonan yang demikian mengerikan. Seluruh tubuhnya menjadi panas dingin dan dia merasa ngeri sekali.
Bukan main hebatnya pengalaman yang dihadapi gadis cilik ini secara beruntun. Mula-mula dia melihat ayahnya terbunuh oleh perampok, lalu melihat ibunya diculik, dan dia sendiri dilarikan si tinggi kurus yang melakukan hal-hal tidak senonoh terhadap dirinya, perlakuan yang belum dimengertinya benar akan tetapi yang membuat ia hampir gila karena ngeri, muak dan takut.
Kemudian, munculnya tiga orang kakek aneh yang menyiksa si tinggi kurus itu membuat dia mencapai ketegangan yang sudah tiba pada puncaknya. Agaknya pemandangan menegangkan dan mengerikan yang datang bertubi-tubi menghantam perasaan Bi Lan, membuat gadis cilik itu terbiasa dan kini, meski dia memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat, mulutnya tidak mampu mengeluarkan suara apa pun, akan tetapi dia tidak takut lagi, bahkan mulai menggunakan pikirannya.
Jelas baginya bahwa tiga orang kakek itu telah menyelamatkannya, bahwa ketiga orang kakek yang aneh itu tentu orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi akan tetapi juga memiliki kekejaman yang luar biasa. Dan ia tentu tidak akan terlepas dari tangan tiga orang kakek itu.
Dia harus pandai membawa diri, demikian pikirnya. Ia tidak boleh cengeng, tidak boleh bingung, harus dapat mempergunakan akalnya karena tidak ada orang lain di dunia ini yang akan dapat diharapkan menolongnya kecuali dirinya sendiri. Bahkan, di samping kengerian, timbul pula rasa senang dan puas ketika melihat betapa si tinggi kurus itu mengalami penyiksaan yang demikian mengerikan.
"Wah, ilmu kiam-ciang (tangan pedang) yang kau kuasai sudah hebat sekali, Mayat Hidup. Bagaimana pendapatmu, Iblis Hitam? Apa kau mampu menandinginya dalam hal kehebatan kiam-ciang itu?" kata si Iblis Akhirat kepada Hek-kwi-ong.
Raksasa hitam itu menggeleng kepala. "Aku tidak mampu sehebat dia."
"He-he, aku pun demikian. Akan tetapi, kita berdua pernah melatihnya. Coba kita lihat, apakah orang pengecut dan pengkhianat seperti dia ini mampu hidup tanpa lengan dan tanpa kaki," kata pula Iblis Akhirat yang melangkah maju mendekati si tinggi kurus yang sudah buntung kedua lengannya.
Hek-kwi-ong si Raja Iblis Hitam mengangguk dan menghampiri pula. Tiba-tiba mereka berdua menggerakkan tangan seperti yang dilakukan oleh Iblis Mayat Hidup tadi, tangan mereka membacok, masing-masing ke arah kaki kanan dan kaki kiri si tinggi kurus.
"Krokkk! Krokkk!"
Si tinggi kurus kembali menjerit dan tubuhnya roboh. Kedua kakinya, sebatas paha, buntung oleh bacokan tangan dua orang kakek itu! Kembali darah muncrat dan Im-kan Kwi si Iblis Akhirat yang gendut itu kembali mempergunakan obat cairan yang cepat menghentikan cucuran darah.
Ketika Im-kan Kwi mengurut jalan darah dan si tinggi kurus itu siuman kembali, tentu saja dia tidak mampu bangkit lagi. Tubuhnya hanya tinggal kepala dan badan, tanpa kaki tanpa lengan tanpa daun telinga, nampak menyedihkan sekali. Dia hanya merintih-rintih dan tergolek ke kanan kiri, mendesis-desis kesakitan. Dia tidak akan mati karena darahnya tidak bercucuran keluar, akan tetapi hidupnya takkan berguna lagi. Dan kalau tidak ditolong orang lain, tentu akhirnya akan tewas kelaparan atau diterkam binatang buas kalau dia dibiarkan di tempat itu.....
KAMU SEDANG MEMBACA
SULING NAGA (seri ke 12 Bu Kek Siansu)
Acción(seri ke 12 Bu Kek Siansu) Tamat Jilid 1-55