Dalam perantauan yang tidak ada tujuan ini, akhirnya dia berkeliaran di kota raja! Biar pun keadaannya telah menjadi seorang kakek jembel yang seperti tidak waras otaknya, namun Gak Bun Beng bekas pendekar yang sudah sering menjelajah di kota raja. Dia mengenal keadaan kota raja dan masih peka oleh berita-berita yang bersimpang siur.
Dia mendengar pula tentang keadaan yang kacau balau di istana, tentang pembesar Hou Seng yang menguasai istana dan membuat kaisar menjadi seperti boneka. Semua percakapan di jalan didengarnya dengan peka. Namun, dia hanya tertawa dan sama sekali tidak mempedulikannya.
Sampai pada saat dia sedang beristirahat di bawah jembatan dan melihat seorang anak perempuan berlari-lari itu. Sebelumnya, sudah ada beberapa orang yang lewat di atas jembatan itu dan mencari-cari seorang anak perempuan. Timbul perasaan iba di hatinya yang memang berwatak pendekar dan suka menolong mereka yang tertindas. Kasihan dia melihat seorang anak perempuan dikejar-kejar, apa lagi karena dia melihat bahwa seorang di antara pengejarnya adalah Kim Hwa Nionio!
Dia mendengar nama ini dari orang-orang di tepi jalan, bahwa Kim Hwa Nionio adalah pengawal pribadi utama dari pembesar Hou Seng! Hatinya tertarik, terutama sekali saat melihat betapa gerak-gerik nenek itu jelas memperlihatkan kelihaiannya sebagai orang yang memiliki ilmu kesaktian!
Kalau biasanya dia acuh saja terhadap segala peristiwa di sekelilingnya, dan andai kata ada suatu peristiwa yang membuat dia terpaksa turun tangan, maka semua itu dia lakukan dengan sembunyi-sembunyi tanpa diketahui orang. Akan tetapi, dia merasa kasihan kepada anak perempuan itu dan cepat dia menariknya ke kolong jembatan dan tanpa banyak cakap lagi karena waktunya hanya sempit, dia lalu menukar pakaian dan melumuri tubuh Suma Lian agar pantas menyamar sebagai seorang anak perempuan pengemis.
Dan usahanya campur tangan secara diam-diam itu berhasil. Akan tetapi pada saat dia hendak membebaskan anak itu, kembali muncul Kim Hwa Nionio sehingga terpaksa dia mempergunakan kepandaian yang selama ini disembunyikannya saja untuk melindungi anak itu dan dirinya sendiri. Dan sungguh sama sekali tidak disangkanya bahwa anak itu ternyata adalah cucu keponakannya sendiri, puteri dari keponakannya, Suma Ceng Liong!
Bu-beng Lo-kai (Pengemis Tua Tanpa Nama), nama baru yang dipergunakan Gak Bun Beng, memegang tangan anak itu dan tersenyum ramah. "Suma Lian, kini ceritakan kepadaku bagaimana engkau bisa sampai ke kota raja dan jatuh ke tangan orang seperti Kim Hwa Nionio itu."
"Yang menculik aku bukan nenek itu, kek, melainkan seorang pendeta Lama berjuluk Sai-cu Lama." Anak itu lalu bercerita tentang kemunculan Sai-cu Lama di kebun rumah orang tuanya di dusun Hong-cun, menculiknya ketika ia sedang berlatih silat di bawah pimpinan neneknya. Bu-beng Lo-kai mendengarkan penuh perhatian.
"Nenekmu Teng Siang In tidak mampu melindungimu dan merampasmu kembali dari tangan Sai-cu Lama itu? Wah, kalau begitu pendeta Lama itu tentu lihai bukan main!" kata kakek itu.
"Memang dia lihai sekali dan sekarang dia membantu Kim Hwa Nionio menjadi kaki tangan pembesar yang disebut Hou Taijin itu."
Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian memandang wajah anak itu. "Dan bagaimana sekarang, cucuku? Engkau sudah berada di kota raja dan sudah bebas, apakah engkau kini ingin pulang ke Hong-cun? Aku akan mengantarmu sampai ke luar dusunmu, lalu engkau kutinggalkan di sana kalau kau ingin pulang."
"Dan engkau sendiri hendak pergi ke mana, kek?" tanya anak itu, memandang kepada orang tua itu dengan sinar mata mengandung rasa belas kasihan. Kakek ini demikian menderita, pikirnya.
"Aku? Ha, aku sendiri tidak tahu akan ke mana. Aku tidak punya apa-apa lagi... di mana pun menjadi tempat tinggalku. Aku tidak butuh apa-apa lagi..." Akan tetapi di dalam suaranya ini terkandung kedukaan dan keputus asaan yang mendalam.
Merantau! Ah, betapa keinginan ini sejak lama sudah memenuhi hati Suma Lian. Sudah beberapa kali ia mengajak ayah ibunya, juga neneknya, supaya ia dibawa merantau, terutama ke kota raja. Akan tetapi mereka mengatakan bahwa keadaan sekarang tidak aman dan ia masih terlampau kecil untuk melakukan perjalanan jauh. Sekarang, ia telah berada di kota raja. Sayang kalau ia harus pulang kembali begitu saja. Jiwa petualang bergelora di dalam hatinya.
"Kek, aku tidak mau pulang!" Tiba-tiba ia berkata dengan suara lantang.
"Ehhh?" Bu-beng Lo-kai memandang heran. "Tidak mau pulang?"
"Aku tidak mau pulang dulu, aku ingin ikut denganmu!"
"Ikut denganku?" kakek itu termenung.
Akan tetapi Suma Lian melihat dengan jelas perubahan di wajah yang ditutupi rambut itu. Sepasang mata yang masih tajam itu kini mengeluarkan sinar, walau pun masih redup. Ada gairah.
"Mau ikut denganku? Hidup seperti ini? Tanpa rumah dan tanpa apa-apa, seperti jembel berkeliaran dan terlantar?"
"Mengapa tidak? Bagi seorang perantau, tak perlu tempat tinggal tetap. Aku dapat tidur di mana saja. Bukankah keluarga kita, keturunan para pendekar Pulau Es, berjiwa perantau dan tabah menghadapi segala hal? Aku dapat tidur di kuil, di hutan, di mana saja, kek."
"Tanpa pakaian indah, tidak ada uang, tidak ada kekayaan apa pun?"
"Aku tidak ingin pakaian yang indah-indah, asalkan bersih. Kebersihan perlu sekali, kek. Bukankah seperti kata nenekku, kebersihan itu pangkal kesehatan dan kesehatan itu pangkal kegembiraan? Bagaimana kita bisa gembira kalau kita tidak sehat, dan bagai mana kita bisa sehat kalau kita tidak bersih? Bagaimana, kakekku yang baik, bolehkah cucumu ini ikut merantau bersamamu dan tiap ada kesempatan kau mengajarkan ilmu silat keluarga kita kepadaku?"
Ada semacam cahaya memasuki hati kakek itu. Suma Lian, anak perempuan berusia dua belas tahun ini, mendatangkan gairah hidup di dalam batinnya, membuat ia merasa bahwa ia masih dibutuhkan orang! Dia masih berguna!
"Baiklah, cucuku. Baik, kita merantau bersama."
Bukan main girangnya rasa hati Suma Lian. Ia setengah bersorak merangkul kakek itu, akan tetapi lalu menutupi hidungnya. "Ihh, engkau berbau tak enak sekali, kek. Engkau harus mandi yang bersih, mencuci rambut itu, mengikatnya dan juga berganti pakaian. Aku juga. Hampir muntah aku kalau tercium bau bajuku sendiri ini!"
"Berganti pakaian? Aku tidak punya cadangan pakaian. Selimut bututku sudah menjadi pakaianmu."
"Aku akan mencarikan ganti untukmu, kek. Mari kita ke dusun atau kota terdekat, dan aku akan mencari pakaian untuk kita berdua."
Anak itu menarik tangan kakek itu. Mereka pun melanjutkan perjalanan, tidak kembali ke kota raja karena mereka khawatir kalau bertemu dengan Kim Hwa Nionio dan kawan-kawannya. Kakek itu membawa Suma Lian ke sebuah dusun yang cukup ramai di sebelah barat kota raja dan mereka berdua berhenti di sebuah kuil tua yang kosong.
"Apakah perutmu tidak merasa lapar, kek?" tiba-tiba anak itu bertanya.
Kakek itu mengangguk. "Sejak kemarin siang aku tidak makan apa-apa," jawabnya jujur.
Harus diakuinya di dalam hati bahwa dia kadang-kadang sudah tidak peduli lagi apakah perutnya terisi atau tidak, bahkan dia sudah lupa bagaimana rasanya kenyang atau lapar itu. Selama ini dia seperti mayat hidup saja.
"Kalau begitu, kau tinggal saja dan tunggu aku di sini, kek. Aku akan mencari makanan dan pakaian untuk kita."
Kakek itu memandang dengan alis berkerut. "Kau akan membelinya?"
Suma Lian tersenyum lucu penuh rahasia. "Kau tunggu sajalah, dan tanggung beres, kek." Anak itu lalu berlari-larian meninggalkan kuil, diikuti pandangan mata yang penuh keharuan oleh kakek tua renta itu.
Mulailah pohon yang hampir mati kekeringan itu memperoleh air kehidupan lagi, mulai bersemi semangat untuk hidup dan bergairah. Dia merasa seolah-olah Suma Lian itu cucunya sendiri, cucu yang sangat diharapkan selama bertahun-tahun oleh dia dan mendiang isterinya, cucu yang tidak kunjung ada dan kini tiba-tiba saja muncul seorang cucu dalam kehidupannya!
Dia tidak khawatir akan keselamatan Suma Lian. Anak itu pandai berjaga diri, dan dia pun tidak perlu mengkhawatirkan munculnya Kim Hwa Nionio. Kuil itu berada di dekat pintu pagar dusun sebelah timur sehingga kalau ada orang muncul dari jurusan kota raja, dia akan dapat melihatnya lebih dulu sebelum orang itu dapat bertemu dengan Suma Lian yang berada di tengah dusun itu.
Kurang lebih sejam kemudian, sesosok bayangan kecil datang berloncatan. Suma Lian masuk ke dalam kuil itu melalui tembok belakang yang dengan mudah diloncatinya. Ia membawa buntalan yang cukup besar dan wajahnya berseri-seri ketika ia menghadap Bu-beng Lo-kai di ruangan kuil tua yang lantainya sudah mereka bersihkan tadi.
"Makanan dan pakaian yang cukup untuk kita, kek!" kata anak itu sambil membuka buntalannya di depan kakek itu.
Bu-beng Lo-kai memandang dan mengerutkan alisnya ketika dia melihat dua buah panci yang terisi masakan-masakan dan daging, juga bakmi yang masih panas. Dan selain makanan itu, juga terdapat beberapa potong pakaian yang masih baru untuknya, juga untuk anak itu!
"Hai...! Dari mana kau memperoleh semua ini? Tak mungkin kalau engkau mengemis dan diberi orang!" tegur kakek itu.
"Aihh, kek. Nanti saja kita bicara tentang itu. Sekarang, paling perlu mengisi perut yang sudah lapar dengan makanan ini. Dan ini seguci arak untukmu!" Seperti main sulap saja, Suma Lian mengeluarkan seguci arak yang ketika dibuka tutupnya, berbau harum sekali, membuat kakek itu menelan air ludah saking ingin segera mencicipinya.
Kakek itu mengangguk-angguk. Bagaimana pun juga dari mana pun asalnya makanan itu, kini sudah berada di situ dan memang sebaiknya dimakan saja dulu, baru nanti dia akan menuntut keterangan dan kalau perlu memberi teguran keras kepada anak ini kalau benar seperti dugaannya bahwa anak ini telah melakukan pencurian!
Dan, barang curian atau bukan, kalau perut sudah sedemikian laparnya, masakan itu luar biasa enaknya! Baru sekarang selama dia ditinggal mati isterinya, kakek itu makan sedemikian lahapnya dan enaknya. Suma Lian juga makan dengan lezat, melupakan bau tidak sedap yang datang dari kakek itu dan dari pakaiannya sendiri. Tidak lama kemudian, makanan itu sudah mereka sikat habis dan kakek itu dengan wajah puas lalu meneguk arak dari gucinya.
"Nah, sekarang kau..."
"Nanti dulu, kek. Ketika aku pergi tadi, ada kulihat sebatang sungai kecil di belakang kuil ini. Airnya jernih sekali. Mari kita membersihkan badan, mandi dan berganti pakaian dulu, baru bicara. Akan lebih enak begitu. Marilah, kek!"
Anak itu kemudian menarik tangan Bu-beng Lo-kai yang terpaksa bangkit berdiri sambil membawa guci araknya. Suma Lian membawa buntalan pakaian dan mereka keluar dari kuil, lalu membelok ke arah belakang kuil di mana benar saja terdapat sebuah anak sungai yang jernih airnya.
"Nah, kau mandilah dan ganti pakaianmu itu dengan pakaian ini, kek. Lihat, kupilihkan yang polos kuning dan putih untukmu, dengan ikat pinggang biru. Tentu pantas sekali untukmu. Dan ini minyak pencuci rambutmu. Cucilah rambutmu dan badanmu yang bersih, kek. Aku menanti di sini," katanya sambil duduk di bawah sebatang pohon besar, tak jauh dari anak sungai itu yang berada di bawah, tidak nampak dari situ.
"Kau dulu yang mandi dan bertukar pakaian. Aku nanti saja setelah engkau. Aku akan berjaga di sini sambil minum arak. Arak ini enak sekali!" kata kakek itu malas-malasan.
"Baiklah, akan tetapi setelah aku selesai, engkau harus mandi dan berganti pakaian, kek. Berjanjilah!"
Kakek itu hendak membantah, akan tetapi ketika melihat wajah anak perempuan itu, tak sampai hatinya membantah. Dia mengangguk-angguk. "Baiklah." Dan menenggak arak lagi seteguk dari gucinya, mengecap-ngecap dan menjilat-jilat bibirnya.
Suma Lian membawa satu stel pakaian berwarna biru muda dan sambil tertawa-tawa ia berloncatan menuruni tebing menuju ke sungai itu. Tak lama kemudian terdengar suara ia berkecimpung di dalam air sambil bernyanyi-nyanyi kecil, suara yang amat asing dan baru baginya, namun indah sekali dan menyegarkan batinnya. Kini dia dapat tersenyum-senyum penuh kegembiraan seorang diri, bukan lagi senyum untuk menyembunyikan kedukaan hatinya.
Tak lama kemudian, Suma Lian sudah berada lagi di depannya. Segar sekali wajah yang kini bersih dan putih kembali itu, rambutnya yang hitam panjang itu masih basah kuyup dan diperasnya, lalu dibiarkan terurai agar cepat kering, kedua kakinya memakai sepatu baru dan pakaian yang dipakainya itu membuatnya nampak manis sekali.
"Nah, sekarang engkaulah yang mandi, mencuci rambutmu dan berganti pakaian, kek!" kata Suma Lian sambil menyerahkan pakaian untuk kakek itu.
Bu-beng Lo-kai memandang pakaian yang berwarna putih dan kuning polos itu dengan alis berkerut, seperti seorang anak kecil memandang obat pahit yang harus ditelannya. Beberapa kali dia menggelengkan kepalanya.
"Wah, bagaimana aku bisa memakai pakaian sebersih itu? Tentu aku akan takut duduk di tempat sembarangan, selalu harus menjaga agar pakaianku tak menjadi kotor. Wah, repot sekali kalau begitu, tidak bebas lagi aku..."
"Janji, kek. Janji harus dipenuhi, bukankah itu satu di antara sifat kegagahan?"
"Ya-ya, akan tetapi..."
"Tidak ada tapi, kek. Aku yakin bahwa dulu, entah kapan, pernah engkau merupakan seorang yang suka akan kebersihan, tidak seperti sekarang ini! Engkau sudah berjanji akan mandi dan berganti pakaian, kek!"
Mendengar ucapan itu, Bu-beng Lo-kai termenung dan teringat akan isterinya. Isterinya, Puteri Milana, ketika masih muda, sebagai isterinya, juga suka sekali akan kebersihan. Dia sering diomeli isterinya itu kalau menaruh barang di sembarangan tempat, juga isterinya itu menghendaki agar dia selalu bersih, baik badannya mau pun pakaiannya.
Dan dia pun selalu menjaga dirinya agar bersih. Akan tetapi bertahun-tahun sudah dia hidup tanpa peduli akan apa yang dinamakan kebersihan. Bahkan tidak ada yang kotor baginya. Bukankah daun-daun kering itu juga bersih? Tanah dan lumpur itu pun bersih! Akan tetapi sekarang, kata-kata dan sikap Suma Lian mengingatkan dia kembali akan kehidupannya dahulu, sebelum isterinya meninggalkannya untuk selamanya.
"Akan tetapi... pakaian seperti ini...? Ingat, cucuku, mulai tadi aku sudah memakai nama Bu-beng Lo-kai. Ingat, apa artinya lo-kai? Pengemis tua! Kalau aku memakai pakaian begini, mana bisa namaku Lo-kai? Seorang pengemis tua harus mengenakan pakaian butut dan penuh tambalan, kalau tidak begitu, mana mungkin dia laku mengemis? Tak akan ada orang mau memberi sedekah!"
Tiba-tiba Suma Lian tertawa menutupi mulutnya. "Hi-hi-hik, sudah kuduga engkau akan mengajukan alasan itu, karena itu aku pun sudah siap, kek. Nah, lihat ini!"
Ia mengeluarkan jarum dan benang, lalu ia merobek pakaian kakek itu di sana-sini, merobek kain kuning paha celana dan memindahkan atau menempelkan robekan itu di pundak baju putih dan sebaliknya. Ia merobek sana-sini, tambal sana tambal sini dan akhirnya pakaian itu menjadi pakaian penuh tambalan yang sesungguhnya merupakan pemindahan saja dari bagian-bagian yang dirobek tadi. Kini bajunya yang putih penuh tambalan kuning, sedangkan celana kuning penuh tambalan putih.
"Nah, pakaianmu sudah penuh tambalan, syarat bagi seorang pengemis, bukan? Akan tetapi, betapa pun miskinnya, seorang pengemis tetap berhak untuk hidup bersih. Dan karena itu, di sini masih tersedia dua stel lagi untukmu dan lima stel pakaian untukku. Setiap hari kita berganti pakaian, yang kotor akan kucuci sampai bersih, dan setiap hari kita mandi!"
Kembali kakek itu termenung, dia teringat akan mendiang isterinya. Sama benar watak isterinya dengan anak ini, ketika isterinya masih muda. Keras, lincah, galak, pandai bicara dan juga amat suka akan kebersihan. Ia sudah kehabisan akal untuk membantah lagi dan terpaksa dia menerima satu stel pakaian yang sudah penuh tambalan itu dan menuruni tebing. Dan Suma Lian menahan ketawanya ketika ia mendengar kakek itu berkecimpung dan mendengar pula senandung yang digumamkan mulut itu.
"Yang bersih, kek! Rambutnya juga...!" ia berteriak ke arah bawah tebing.
Dari bawah sana terdengar suara ketawa. "Wah, engkau cerewet benar seperti seorang nenek tua saja!" Dan Suma Lian kembali tertawa.
Bu-beng Lo-kai membutuhkan waktu jauh lebih lama untuk membersihkan tubuhnya yang sangat kotor, terutama rambutnya yang sudah menjadi gimbal saling melekat itu. Akan tetapi ada suatu keanehan terjadi pada dirinya. Begitu dia merendam tubuhnya di dalam air dan membersihkan semua kotoran, dia merasa hatinya demikian ringan dan senang, membuat dia gembira seperti seorang anak kecil saja.
Betapa keriangan hati itu bisa didapatkan di mana saja dan kapan saja, asalkan batin tidak dipenuhi oleh segala macam persoalan yang sebenarnya hanyalah peristiwa-peristiwa yang kita jadikan persoalan sendiri! Tidak ada masalah di dunia ini kecuali hal itu dibuat menjadi masalah. Tidak ada kesusahan kecuali kejadian itu kita buat sendiri menjadi kesusahan!
Kalau batin tidak sibuk lagi oleh segala macam penilaian yang menimbulkan aku yang kemudian melahirkan iba diri, maka segala hal dapat kita hadapi sebagaimana adanya, sebagai suatu kewajaran dan segala tindakan kita terhadap hal yang terjadi itu muncul dari kecerdasan akal budi, tanpa keluhan lagi. Keriangan hati akan selalu terasa oleh kita apabila batin kita bersih dari segala persoalan yang dibuat oleh pikiran.
Kenikmatan terdapat di dalam hal-hal yang kecil dan remeh, karena hidup merupakan suatu berkah di mana segala-galanya sudah terdapat untuk kita nikmati. Di tanah, di air, di udara, di mana saja terdapat kenikmatan itu, kenikmatan hidup karena setelah batin kita bersih dari pada segala kekuasaan si aku, akan nampaklah sinar cinta kasih yang menerangi alam!
Kakek itu benar-benar mencuci rambut dan tubuhnya sampai bersih! Dan ketika naik ke tebing itu, dia nampak belasan tahun lebih muda. Wajahnya yang tua nampak segar walau pun penuh dengan kumis dan jenggot putih, dan rambutnya terurai di belakang punggung. Nampak bersih segar dan sehat, apa lagi karena garis-garis mukanya masih memperlihatkan bekas wajah seorang laki-laki yang tampan dan gagah.
"Nah, kini engkau sudah kelihatan bersih dan gagah, kek!" Suma Lian bertepuk tangan kegirangan, membuat orang yang dipuji itu merah mukanya dan untuk menghilangkan rasa kikuknya, kakek itu hendak menjatuhkan diri duduk di atas tanah.
"Eiiiittt, hati-hati, kek!" Suma Lian meloncat dan memegang tangan kakek itu, ditariknya agar tidak jadi duduk. "Jangan kotorkan pakaianmu dengan duduk begitu saja di atas tanah yang basah. Tuh, duduk di atas batu itu, sudah kubersihkan tadi!"
Kakek itu menarik napas panjang. "Nah, nah, sudah mulai bukan? Sekarang aku harus selalu menjaga pakaianku agar tidak kotor. Menambah kerepotan saja!"
"Bukan begitu, kek. Kalau sudah terbiasa nanti tentu dengan sendirinya engkau tidak mau mengotori pakaianmu. Ingat, engkau tidak ingin membuat kedua tanganku lecet-lecet, bukan?"
"Tentu saja tidak! Ehh... apa maksudmu dengan tangan lecet-lecet itu?"
"Ingat, akulah yang akan mencuci pakaianmu setiap hari. Kalau engkau sembarangan saja membuat pakaianmu kotor sekali, bukankah aku yang mencuci yang akan bekerja berat setengah mati, sampai kedua tanganku lecet-lecet karena harus mencuci pakaian yang kotor sekali?"
Bu beng Lo-kai tertawa. "Ha-ha-ha-ha, engkau memang cerdik. Baiklah, mulai sekarang akan kujaga pakaian ini agar tetap bersih."
"Nah, begitu barulah engkau kakekku yang baik sekali, terima kasih sebelumnya, kek!" Dan Suma Lian lalu memberi hormat kepada kakek itu dengan sikap yang lucu.
"Ahh, apa yang terjadi dengan pakaianmu itu? Kenapa sekarang juga penuh tambalan?" kakek itu berseru sambil memandang ke arah pakaian yang dipakai oleh anak itu. Pakaian itu tadi nampak indah, akan tetapi sekarang penuh tambalan walau pun hal ini tidak mengurangi kepantasan anak itu memakainya.
"Kek, engkau Bu-beng Lo-kai dan aku cucumu. Cucu seorang pengemis tua harus memakai pakaian tambal-tambalan juga, baru cocok!"
Kakek itu kembali tertawa dan mengangguk-angguk, kemudian tiba-tiba dia memandang wajah anak itu dengan sikap serius dan suaranya juga terdengar tegas, tidak main-main lagi, "Nah, sekarang lekas ceritakan, dari mana engkau memperoleh makanan, arak dan pakaian ini!"
Melihat sikap kakek itu, nyali Suma Lian menjadi kecil juga. Ia menundukkan mukanya, jari-jari tangannya mempermainkan ujung bajunya, kadang-kadang mengangkat muka memandang, lalu menunduk kembali.
"Hayo katakan! Kau... mencuri, ya?" bentak kakek Bu-beng Lo-kai.
Dengan pandang mata takut-takut, Suma Lian memandang kakeknya dari bawah bulu mata sambil menundukkan muka, "Kau.. kau marah, kek...?"
"Tentu saja kalau kau membohong! Hayo katakan yang sebenarnya. Kau curi semua itu?"
Suma Lian mengangguk.
Bu-beng Lo-kai marah atau berpura-pura marah. Dia bangkit berdiri dan membanting kakinya. "Waduh, celaka! Cucuku menjadi pencuri? Menjadi maling? Tidak, kau harus kembalikan semua ini kepada...."
Tiba-tiba ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena teringat bahwa semua makanan tadi, juga araknya, sudah masuk ke dalam perutnya! Mana mungkin bisa dikembalikan lagi? Suma Lian yang cerdik anaknya dapat menduga isi pikirannya dan dengan suara mengandung kemenangan anak itu pun berkata,
"Makanan sudah kita makan, mana bisa dikembalikan, kek?"
"Baiklah, akan tetapi pakaian ini... mana pakaianku yang butut tadi?" Dia menjenguk ke bawah tebing dan kembali menjambak rambutnya. "Hayaa... celaka, pakaian itu sudah kuhanyutkan tadi!"
"Punyaku juga, kek. Dan lagi, kalau dikembalikan pun, yang punya tentu sudah tidak mau menerimanya, sudah kutambal-tambal..."
Bu-beng Lo-kai teringat bahwa pakaian yang sudah dipakainya itu, selain tidak dapat dilepaskan karena pakaian bututnya sudah hilang, juga sudah penuh tambalan, tidak mungkin dikembalikan. "Masih ada yang baru, yang lain itu, pakaian cadangan itu harus dikembalikan..."
"Tidak bisa juga, kek. Lihat ini," dan Suma Lian memperlihatkan cadangan pakaian untuk kakek itu dan untuknya sendiri. Ternyata semuanya telah ditambal-tambal oleh Suma Lian, dilakukan ketika kakek tadi mandi dengan lamanya.
"Wah, wah...! Kau setan cilik..."
"Ehh, kenapa kakek marah-marah dan memaki orang? Kata nenek, kebiasaan memaki itu tidak baik, kelak di neraka lidah akan dicabut keluar oleh malaikat..."
"Hushh! Sembarangan saja kau bicara. Apakah nenekmu Teng Siang In itu juga tidak pernah mengajarkan kepadamu bahwa mencuri adalah perbuatan yang amat tidak baik? Keturunan para pendekar Pulau Es bukan pencuri!"
"Aku selalu dilarang mencuri oleh ayah ibu dan nenekku, kek. Akan tetapi, apa yang kulakukan tadi adalah karena terpaksa. Dan yang kuambil pakaian dan makanannya adalah keluarga yang kaya raya, yang agaknya tidak akan merasa kehilangan apa-apa. Bukankah makanan tadi kuambil karena kita berdua kelaparan dan pakaian ini kuambil karena kita berdua amat membutuhkan? Kek, kalau kita mencuri yang mengakibatkan orang yang kecurian itu menderita, dan barang yang kita curi itu untuk kita pakai berfoya-foya, itu barulah tidak benar dan..."
"Cukup! Sekali mencuri tetap mencuri! Maling tetap maling, biar yang dimaling itu batu koral mau pun batu permata! Mengambil barang orang lain yang bukan menjadi haknya adalah perbuatan jahat. Kita adalah keluarga pendekar, bukan keluarga maling dan pendekar berkewajiban untuk menentang para penjahat, termasuk pencuri. Mulai saat sekarang kau tidak boleh mencuri lagi. Kita belajar ilmu bukan untuk menjadi pencuri. Berjanjilah, kalau tidak, terpaksa aku akan membawamu pulang ke Hong-cun dan..."
Kakek itu berhenti marah-marah ketika melihat betapa ada dua tetes air mata jatuh dari sepasang mata yang memandangnya dengan penuh sesal itu. Dia menarik napas panjang. "Sudahlah, aku sudah melihat bahwa kau benar menyesal dan bertobat. Lebih baik minta-minta untuk menolong diri sendiri kalau memang kita sudah tidak mampu bekerja lagi, dan lebih baik mati kelaparan dari pada menjadi penjahat! Mengertikah engkau, cucuku?"
Suma Lian mengangguk. "Aku mengerti, kakekku yang baik."
Bu-beng Lo-kai tersenyum dan anak itu pun tersenyum lagi dan cuaca menjadi cerah.
"Nah, mari sekarang kita pergi menghadap orang yang kau curi miliknya itu."
Suma Lian membelalakkan matanya. "Wahh...! Mana aku berani...?"
"Seorang pendekar harus berani bertanggung jawab. Aku pun tadi telah makan barang curian, dan sekarang memakai barang curian, aku pun harus bertanggung jawab. Mari, bawa aku ke rumah di mana engkau melakukan pencurian itu."
Dengan muka sebentar merah sebentar pucat, Suma Lian terpaksa membawa kakek itu ke rumah besar di mana tadi ia melakukan pencurian. Ia memang seorang anak yang lincah dan karena sejak kecil sudah digembleng oleh ayah ibunya dan neneknya, maka ia memiliki kelincahan dan tidak sukar baginya untuk meloncat naik ke atas tembok rumah itu, kemudian dengan kecepatannya ia menyusup ke dalam kamar-kamar dan dapur, mencuri makanan dan pakaian tanpa diketahui oleh seorang pun di antara para penghuni rumah itu.
Rumah itu besar, terlalu besar untuk ukuran dusun. Suma Lian benar. Memang rumah itu milik orang kaya raya yang takkan merasa kehilangan kalau miliknya hanya diambil sekian saja. Dan ternyata rumah itu milik keluarga bangsawan dari kota raja!
Kadang-kadang, untuk mencari ketenteraman yang tidak bisa mereka dapatkan di kota raja yang ramai itu, keluarga Pouw, pemilik rumah itu, pergi ke dusun di luar kota raja ini dan di rumah mereka inilah mereka tinggal. Jika saja keluarga itu tidak kebetulan berada di situ, tentu tadi Suma Lian hanya dapat mencuri pakaian saja yang ditinggalkan di situ, akan tetapi tidak akan memperoleh makanan-makanan yang lezat, melainkan makanan sederhana yang biasa dimasak oleh para pelayan dan penjaga rumah itu.
Para penjaga pintu, memandang kakek dan anak perempuan itu penuh keraguan ketika mereka minta untuk bertemu dengan pemilik rumah, akan tetapi karena dua orang tamu aneh ini tampak bersih dan majikan mereka pun suka menerima siapa saja yang datang bertamu, para penjaga lalu membuat laporan ke dalam, mengatakan bahwa ada dua orang tamu yang aneh, seorang kakek tua sekali dan seorang anak perempuan yang manis, keduanya memakai pakaian bersih dan tambal-tambalan, minta diperkenankan menghadap.
"Mereka tidak memberi nama dan tidak mengenal nama Taijin, hanya minta menghadap pemilik rumah," demikian penjaga itu mengakhiri laporannya.
Laki-laki yang disebut Taijin itu tersenyum. Dia seorang laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, berpakaian longgar dan wajahnya membayangkan kesabaran yang penuh wibawa.
Pemilik rumah itu adalah seorang bangsawan, bahkan dia memiliki pangkat yang cukup tinggi karena dia adalah seorang di antara para menteri pembantu kaisar! Dia pernah menjabat sebagai seorang panglima pasukan keamanan kota raja, dan kini ia menjadi seorang menteri yang mengatur tentang pendapatan istana, yaitu semua pemasukan pendapatan dari pajak dan lain-lain.
Pada waktu itu, Pouw Taijin atau dulu pernah dikenal sebagai Pouw-ciangkun (perwira Pouw), bersama isterinya dan lima orang anak-anaknya, empat laki-laki dan seorang anak perempuan, sedang beristirahat di dusun itu. Akhir-akhir ini, memang dia semakin sering saja berada di dusun itu, karena keadaan di kota raja membuat dia tidak betah di gedungnya di kota raja.
Bu-beng Lo-kai dan Suma Lian disuruh masuk ke ruangan tamu oleh seorang penjaga dan belum berapa lama mereka duduk, muncullah tuan rumah dari pintu sebelah dalam. Bu-beng Lo-kai cepat mengajak cucunya bangkit berdiri dan memberi hormat kepada laki-laki yang memandang kepada mereka dengan mata terbelalak penuh keheranan itu.
"Maafkan kami kalau mengganggu," kata Bu-beng Lo-kai dan kata-katanya yang teratur menunjukkan bahwa dia bukanlah seorang gelandangan biasa saja, "cucuku ini ingin membuat pengakuan kepada tuan rumah."
Pouw Tong Ki, nama dari pembesar itu, semakin heran memandang kepada kakek tua renta dan anak perempuan itu. Dia seorang berpengalaman, dan melihat pakaian kakek dan anak perempuan itu yang baru akan tetapi tambal-tambalan, jelas baginya bahwa pakaian itu bukan membutuhkan tambalan melainkan sengaja ditambal-tambal, ia dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang kang-ouw yang memiliki kebiasan yang aneh-aneh.
"Saya Pouw Tong Ki, pemilik rumah ini. Silakan kalian duduk..."
"Nanti saja kami duduk setelah cucuku membuat pengakuannya," kata Bu-beng Lo-kai dengan tegas dan dia pun mencowel lengan cucunya.
Suma Lian berdiri dengan muka sebentar merah sebentar pucat. Bukan main malunya apa lagi melihat betapa tuan rumah itu amat ramah memandang kepadanya.
"Nona kecil yang baik, apakah yang hendak nona katakan? Katakan saja dan jangan ragu-ragu," katanya sambil tersenyum ramah.
Sikap ini banyak menolong dan setelah beberapa kali menelan ludah, akhirnya Suma Lian berkata, suaranya lirih akan tetapi cukup tegas dan jelas.
"Saya... saya minta maaf karena tadi saya..." sukar sekali baginya untuk mengeluarkan kata-kata pengakuan itu.
Mengaku menjadi pencuri! Tentu saja hal ini merupakan pukulan hebat bagi dirinya, bagi 'aku' nya. Makin tinggi orang membentuk gambaran tentang dirinya, semakin sukar pula baginya untuk mengenal dan mengakui kesalahannya.
"Cucuku, apakah engkau ingin menjadi seorang pengecut?" tiba-tiba kakek itu bertanya dan ucapan ini seperti api yang membakar dada Suma Lian!
"Saya datang untuk minta maaf dan mengaku bahwa tadi saya telah mencuri makanan yang sudah kami makan berdua, dan pakaian beberapa stel yang sudah kami pakai dan kami jadikan cadangan-cadangan kami!" katanya dengan sikap gagah dan sepasang matanya yang jernih itu memandang kepada wajah tuan rumah tanpa mengenal takut sedikit pun!
Pouw Tong Ki nampak terkejut dan terheran-heran. "Tapi... tapi... pakaian yang kalian pakai itu bukan milik kami. Kami tidak mungkin memiliki pakaian tambal-tambalan..."
"Memang sengaja telah saya tambal-tambal agar sesuai dengan keadaan kami sebagai pengemis," jawab Suma Lian.
"Maaf," sambung Bu-beng Lo-kai. "Kami sudah terbiasa memakai pakaian tambal-tambalan sehingga tidak enak rasanya memakai pakaian utuh tanpa tambalan."
"Ahh...! Ahh...! Bukan main ji-wi (kalian berdua) ini...! Anakku harus melihat ini, harus dapat mencontoh!" Pouw Taijin bertepuk tangan dan dua orang penjaga muncul di pintu luar.
"Cepat kalian cari siocia dan minta agar datang ke sini dengan cepat!"
"Saya sudah minta maaf, kenapa harus memanggil orang lain?" Suma Lian memprotes karena bagaimana pun juga, ia merasa tidak suka kalau perbuatannya mencuri itu diberi tahukan kepada orang-orang lain!
"Nona, harap jangan salah duga. Yang kupanggil adalah puteriku, puteri tunggal, dan karena pakaiannyalah yang kau ambil dan kau pakai itu, bukankah sudah sepatutnya kalau ia datang sendiri menerima permintaan maaf darimu?"
Suma Lian tak mampu membantah lagi, hanya mukanya berubah merah sekali. Ia harus menebalkan muka lagi, berhadapan dengan orang yang kini pakaiannya ia pakai!
Tidak lama kemudian, dari pintu dalam muncul seorang gadis cilik yang manis, sebaya dengan Suma Lian, pembawaannya tenang sekali akan tetapi sepasang matanya terang membayangkan kecerdikan. Sejenak gadis cilik itu memandang kepada Bu-beng Lo-kai dan Suma Lian, lalu bertanya kepada Pouw Tong Ki,
"Ayah, ada apakah ayah memanggil aku agar cepat datang ke sini dan siapa pula dua orang yang pakaiannya aneh-aneh ini?"
"Li Sian, dengar baik-baik. Ayah pun tak mengenal kedua orang ini, akan tetapi mereka datang minta bertemu dengan kita berdua karena nona kecil ini ingin menyampaikan sesuatu kepada kita. Kepadaku dia sudah sampaikan maksud kedatangannya dan kini dengarlah apa yang akan ia katakan kepadamu."
Nona cilik itu memandang kepada Suma Lian, memandang penuh perhatian dari rambut sampai ke sepatunya, kemudian ia mengerutkan alisnya dan berkata pada Suma Lian, "Siapakah engkau yang berpakaian seaneh ini dan hendak menyampaikan apa?"
Suaranya halus teratur, tidak galak dan mengandung kelembutan, akan tetapi agaknya ia terkejut dan terheran-heran mendengar kata-kata ayahnya tadi.
Sekarang untuk kedua kalinya Suma Lian mengangkat mukanya, meluruskan kepala dan membusungkan dadanya, lalu berkata, "Aku datang ke sini untuk minta maaf dan membuat pengakuan bahwa tadi aku telah menyelinap ke dalam rumah ini dan mencuri makanan, yaitu dua panci masakan, seguci arak dari dapur, serta dari dalam kamar-kamar aku mengambil... ehhh, mencuri beberapa stel pakaian untuk kakekku ini dan untukku sendiri, juga sepatu ini. Pakaian-pakaian itu sudah kutambal-tambal, jadi tidak mungkin dikembalikan seperti yang dikehendaki kakekku, juga makanan itu terlanjur kami makan habis."
Pouw Li Sian menjadi bengong, memandang ke arah pakaian Suma Lian. Ia mengenal bajunya sendiri yang sudah ditambal-tambal itu, juga ia mengenal sepatunya. Namun, yang membuat ia bengong, kenapa anak ini, yang sudah berhasil melakukan pencurian tanpa diketahui, kini malah datang membuat pengakuan dan minta maaf?
"Nah, Li Sian. Engkau sendiri menjadi terheran heran mendengar pengakuannya. Sikap seperti inilah yang harus kau tiru, anakku!"
"Maksud ayah... berpakaian pengemis dan... dan mencuri itu?"
"Bukan! Tetapi sikap berani mempertanggung jawabkan segala perbuatan itulah! Aihh, betapa akan baiknya kalau semua pejabat dapat bertanggung jawab seperti anak ini! Li Sian, jika ada orang-orang seperti ini kehabisan pakaian dan kelaparan, lalu mengambil makanan dan pakaian darimu, yang bagi kita tidak ada artinya, apakah engkau rela?"
Li Sian mengerutkan alisnya yang hitam indah itu. Lalu ia menggeleng kepalanya. "Aku tidak rela, ayah. Kalau mereka datang dan minta kepadaku, mungkin aku akan memberi yang lebih baik dan lebih banyak dari pada yang telah diambilnya. Akan tetapi mencuri? Tidak, itu tidak benar dan aku tidak rela!"
"Akan tetapi, mereka sudah datang minta maaf. Lalu bagaimana pendapatmu? Apakah mereka kau maafkan?"
"Aku tidak mau memaafkan orang yang mencuri karena ia tentu kelak akan mencuri lagi. Pencurian harus dihukum dan hukumannya terserah kepada ayah. Akan tetapi kalau mengenai barang-barangku, itu kurelakan dan sekarang juga kusumbangkan kepada mereka, ayah."
"Bagus!" Tiba-tiba Bu-beng Lo-kai berkata dengan pandang mata kagum kepada puteri tuan rumah. "Itu pun merupakan suatu pendirian yang gagah dan harus dihormati. Lihat, cucuku, puteri tuan rumah ini pantas kau jadikan teladan. Tegas dan adil!"
Pouw Tong Ki yang kini merasa yakin bahwa dia berhadapan dengan seorang sakti, lalu pura-pura bertanya, "Orang tua, apakah hanya itu saja maksud kedatangan ji-wi ke sini? Hanya untuk membuat pengakuan dan minta maaf begitu saja?"
Kakek tua renta itu kini menujukan pandang matanya kepada tuan rumah. Diam-diam Pouw Tong Ki merasa terkejut dan kagum, juga jeri sekali. Sepasang mata itu dapat mengeluarkan sinar mencorong seperti api!
"Benar, akan tetapi aku setuju sekali dengan pendapat puterimu. Yang bersalah harus dihukum. Kami telah bersalah dan kami juga bukan orang yang suka menghindarkan diri dari hukuman. Nah, kami telah mengaku salah, kami telah datang menyerahkan diri, kalau mau menjatuhkan hukuman, silakan!"
"Baik, kami akan menghukum ji-wi dan ji-wi sudah berjanji untuk menerima hukuman itu."
"Tetapi hukuman itu harus benar-benar adil, jika tidak, aku akan menentangnya! Sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang ketidak adilan, bukankah begitu, kek?" tiba-tiba Suma Lian berkata kepada tuan rumah dan dia pun tegak berdiri menanti hukuman dengan sikap gagah!
"Hukuman untuk ji-wi adalah satu bulan lamanya harus mau menjadi tamu kehormatan kami di rumah ini! Locianpwe ini akan menjadi temanku bercakap-cakap, sedangkan nona cilik ini menjadi teman bermain dari Pouw Li Sian, anak kami ini. Locianpwe, saya bernama Pouw Tong Ki, menjabat Menteri Pendapatan Istana yang sedang beristirahat di sini, harap locianpwe tidak menolak undangan kami untuk menjadi tamu kehormatan kami!"
Kakek dan cucunya itu menjadi bengong! Mana di dunia ini ada hukuman berupa menjadi tamu kehormatan dan menjadi sahabat? Dan tuan rumah ini ternyata seorang menteri! Seorang 'tiong-sin' menteri setia dan bijaksana seperti nampak pada sikapnya, dan dapat mengenal dirinya maka bersikap demikian hormat.
"Bagaimana ini, kakek? Hukumannya aneh sekali!" kata Suma Lian bingung.
"Ha-ha-ha, kita sudah berjanji dan sanggup untuk menerima, sekali-kali tidak baik kalau menolaknya, cucuku."
Pouw Li Sian menjadi girang sekali dengan keputusan ayahnya dan dia pun maju dan memegang tangan Suma Lian. "Engkau anak yang aneh sekali dan aku sangat suka kepadamu. Namaku Pouw Li Sian. Siapakah namamu?"
"Namaku Suma Lian. Dan aku pun merasa heran ada puteri seorang menteri suka bersahabat dengan seorang anak pengemis. Tidak malukah engkau bersahabat dengan aku?"
Pouw Li Sian merangkul pundaknya. "Engkau dahulu lahir telanjang seperti aku, hanya pakaian saja yang memberi sebutan-sebutan itu. Mari kita lihat kebun buah kami, kini sedang musim apel, banyak dan besar-besar. Mari kita petik!" Ia lalu menggandeng tangan Suma Lian yang mengikutinya dengan rasa girang tanpa menoleh lagi kepada kakeknya.
"Locianpwe, mari kita bicara di ruangan dalam. Silakan!" Pembesar itu bangkit dan mengajak kakek itu masuk ke dalam, diikuti oleh Bu-beng Lo-kai yang merasa semakin suka saja kepada laki-laki yang memiliki kedudukan tinggi akan tetapi berjiwa sederhana itu.
Setelah mereka duduk di ruang dalam, Pouw Tong Ki memperkenalkan isterinya kepada kakek itu, juga empat orang puteranya yang berusia dari sembilan belas tahun sampai enam belas tahun, kakak-kakak dari Pouw Li Sian. Bu-beng Lo-kai semakin hormat kepada keluarga ini, contoh keluarga pembesar yang baik dan ramah.
Sebaliknya, keluarga itu menganggap kakek yang berpakaian tambal-tambalan dan diaku sebagai tamu kehormatan oleh pembesar itu sebagai seorang kakek yang tentu berilmu tinggi. Setelah mereka mundur dan para pelayan menghidangkan minuman arak dan makanan kering, pembesar itu lalu bertanya, suaranya bersungguh-sungguh.
"Kalau saya tidak salah duga, locianpwe tentulah seorang pendekar dari keluarga Pulau Es, bukan?"
Bu-beng Lo-kai terkejut, sama sekali tidak mengira akan ditanya demikian. "Bagaimana Taijin dapat menduga demikian?" Dia balas bertanya sambil memandang tajam.
Jika penghormatan ini didasarkan dugaan tuan rumah bahwa dia dan cucunya keluarga para pendekar Pulau Es, berarti bahwa penerimaan dan penghormatan keluarga ini mengandung suatu pamrih tertentu dan dia harus berhati-hati.
"Tadinya saya tidak menduga apa-apa, akan tetapi setelah cucumu berkenalan dengan puteriku dan mengaku bernama Suma Lian, maka timbullah dugaan itu di hati saya. Bukankah nama marga Suma itu jarang sekali dan dimiliki oleh keluarga Pulau Es?"
Kakek itu menarik napas lega. Dia percaya dan memang benar ucapan pembesar ini. Nama marga Suma yang bukan merupakan keluarga Pulau Es memang ada, akan tetapi tidak banyak dan karena keluarga Pulau Es terkenal di antara para pembesar di kota raja, maka tidak mengherankan kalau pembesar ini segera dapat menduganya demikian.
"Dugaanmu memang tidak keliru, Pouw Taijin. Cucuku Suma Lian itu adalah keturunan langsung dari keluarga Pulau Es."
"Dan bolehkah saya mengetahui siapa nama locianpwe yang mulia?"
"Aihhh... saya sendiri sudah lupa akan nama saya. Saya hanya orang luar dan saya hanya mempunyai sebutan Bu-beng Lo-kai."
Pouw Tong Ki tidak merasa kecil hati mendengar ini. Dia berpengalaman luas dan tahu apa artinya itu. Berarti bahwa kakek ini tak mau dikenal oleh siapa pun juga. Memang banyak sekali orang-orang sakti yang ingin menyembunyikan diri dan kepandaiannya. Maka dia semakin kagum dan menduga bahwa tentu kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Dan diam-diam dia pun mempunyai harapan.
Di antara lima orang anaknya, justru Li Sian seorang satu-satunya anak perempuannya yang menaruh minat akan latihan silat, dan juga berbakat sekali. Alangkah akan girang hatinya kalau Li Sian dapat menjadi murid kakek ini, menjadi saudara seperguruan atau saudara angkat dari anak perempuan bernama Suma Lian yang mengagumkan hatinya itu!
Mereka lalu bercakap-cakap. Ternyata oleh tuan rumah bahwa kakek yang kelihatannya saja seperti seorang pengemis tua ini, ternyata memiliki daya tangkap yang tajam dan pengetahuan yang luas sekali. Kakek tua renta itu bahkan pandai menanggapi ketika percakapan menyinggung keadaan kaisar.
Kakek itu amat menyayangkan bahwa seorang kaisar secakap Kaisar Kian Liong itu akhirnya dapat begitu mudah diperdaya oleh seorang menteri durna seperti Hou Seng, hanya karena kaisar itu tergila-gila kepadanya dan menganggapnya penjelmaan dari seorang wanita yang pernah dicintanya.
"Kaisar merupakan mercu suar dari pemerintahan," demikian antara lain kata kakek tua renta ini. "Jika kaisarnya lemah, maka pemerintahan pun lemah dan hal ini menurunkan kewibawaan pemerintah terhadap rakyat, juga memberi angin kepada para pembesar durna untuk merajalela. Akibatnya, rakyat yang akan tertindas dan kalau sampai rakyat merasa tidak puas dengan suatu pemerintah, itu tandanya bahwa pemerintah itu sudah mulai rapuh dan akan mudah jatuh kalau sampai terjadi pemberontakan, karena rakyat tentu akan lebih condong membantu pemberontak dari pada pemerintah yang tidak disukanya. Dan jika kaisar lemah, sudah menjadi kewajiban para menteri dan pembesar tinggi untuk mengingatkannya."
"Pendapat locianpwe memang tepat sekali. Namun celakanya, Hou Seng itu agaknya memang sudah membuat persiapan. Selain sukar untuk membuktikan korupsinya yang hanya diketahui beberapa orang yang bersangkutan dengan kekayaan negara saja, juga dia kelihatan amat setia kepada kaisar dan bahkan kini mengumpulkan kekuatan rahasia untuk memperkuat kedudukannya. Menteri-menteri yang kuat disingkirkannya, baik melalui kekuasaan kaisar atau pun melalui kaki tangannya. Menteri-menteri yang mentalnya tidak kuat, dirangkul dengan sogokan-sogokan besar. Siapa pun yang berani menentangnya, tahu-tahu mati dalam keadaan amat menyedihkan dan aneh. Seperti baru saja terjadi pada diri Pangeran Cui Muda yang kedapatan mati bersama seluruh pengawalnya di sebuah rumah pelesir, tanpa ada tanda-tanda siapa yang melakukan pembunuhan itu. Saya sendiri sudah tahu bahwa itu tentulah perbuatan orang sakti yang menjadi kaki tangan Hou Seng itu. Aihhh... sungguh sedih sekali hatiku melihat keadaan istana. Karena itulah maka saya lebih sering berada di dusun sunyi ini dari pada di kota raja. Kalau saja orang-orang seperti Panglima Kao Cin Liong itu masih menjadi pembesar di kota raja. Ah, hanya orang-orang dengan kepandaian tinggi seperti dialah yang akan mampu membendung kekuasaan Hou Seng yang merajalela. Saya kira locianpwe tahu siapa adanya Panglima Kao Cin Liong itu, bukan?"
Bu-beng Lo-kai mengangguk-angguk. Tentu saja dia sudah mendengar tentang putera dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu!
"Panglima Kao Cin Liong adalah seorang di antara para sahabat baik saya, locianpwe. Ketika dia masih menjabat panglima, saya dapat mengajaknya bertukar pikiran setiap ada keruwetan di istana. Tetapi sekarang, ahh, ia sudah lama sekali mengundurkan diri dan kini hanya menjadi seorang pedagang rempah-rempah di Pao-teng. Betapa saya amat merindukan nasehat-nasehatnya dalam keadaan seperti ini." Pembesar itu hanya terdengar menarik napas panjang saat mengakhiri keluhannya.
Bu-beng Lo-kai makin suka kepada pembesar she Pouw ini. Kalau menteri ini sahabat baik bekas Panglima Kao Cin Liong yang terkenal itu, jelaslah bahwa dia memang seorang menteri yang baik dan bijaksana, dan dia merasa gembira dapat menjadi tamunya.....
KAMU SEDANG MEMBACA
SULING NAGA (seri ke 12 Bu Kek Siansu)
Action(seri ke 12 Bu Kek Siansu) Tamat Jilid 1-55