Jilid 8/55

1.1K 18 0
                                    

Tidak ada orang lain kecuali Bi Lan seorang yang dapat dijadikan tempat pelontaran kemarahan hatinya.

"Siauw-kwi...!" Ia memanggil.

Bi Lan datang berlari-lari dengan muka dan kepala masih basah. Ia tengah berada di sumber air dan mandi saat suci-nya memanggil. Tergesa-gesa ia mengenakan pakaian dan dengan muka dan rambut masih basah iapun datang menghampiri suci-nya. Melihat betapa wajah sumoi-nya itu berseri-seri, dengan senyum yang manis dihias sepasang lesung pipit itu, melihat sepasang pipi kemerahan dan segar sekali, hati Bi-kwi menjadi semakin panas!

"Siauw-kwi, sudah lama kita tidak berlatih silat. Hayo, siapkan dirimu untuk berlatih silat denganku!"

Sepasang mata itu terbelalak, nampak ketakutan. "Aihh, suci yang baik. Jangan pukul aku lagi. Apa pun perintahmu akan kutaati, akan tetapi jangan memukuli aku dalam latihan. Aku sudah kapok!"

Bi Lan memang merasa tersiksa sekali kalau diajak berlatih, karena namanya saja berlatih, akan tetapi pada hakekatnya ia menjadi bulan-bulan pukulan dan tendangan suci-nya sampai tubuhnya babak belur dan matang biru, sakit-sakit semua kalau sudah selesai berlatih.

"Ihhh...? Kau berani membantah? Hayo cepat bersiap!" bentak Bi-kwi.

Sebelum Bi Lan menjawab, dia sudah menerjang maju dengan tamparan ke arah pipi sumoi itu. Kemarahannya karena iri hati melihat pipi yang halus merah dan segar itu membuat dia menampar pipi itu dengan kuat sekali.

Bi Lan segera menggerakkan lengan kirinya dengan gerakan refleks untuk menangkis tamparan itu.

"Plakkk!"

Pipi kanannya yang kena tampar oleh tangan kiri Bi-kwi yang bergerak cepat sekali dan tangkisan itu membuat tubuh Bi Lan terhuyung.

"Auhh...!" Gadis itu mengeluh dan mengusap pipi kanannya yang menjadi merah sekali.

Melihat betapa pipi itu menjadi makin merah dan bahkan semakin segar menarik, hati Bi-kwi semakin marah.

"Lihat serangan!" katanya dan ia pun maju menerjang dengan jurus-jurus yang paling sulit.

Bi Lan mencoba untuk mengelak, berloncatan ke sana-sini seperti diajarkan suci-nya, dan menangkis pula. Akan tetapi, kaki Bi-kwi menendang dengan sebuah jurus dari Ilmu Tendang Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin) yang lihai itu dan paha Bi Lan terkena tendangan. Tubuhnya terlempar ke belakang.

"Brukkk!"

"Aduhhh...!" Gadis itu terbanting keras dan mengeluh, lalu bangkit berdiri. Tangan kiri mengusap pipi, tangan kanan mengusap paha. "Sudah, suci. Pipi dan pahaku sakit!"

"Hayo lawan! Kalau tidak latihan, mana engkau bisa maju? Lawan atau engkau akan kujadikan sasaran pukulan dan tendanganku!" bentak Bi-kwi.

Hati gadis ini mulai merasa senang karena dapat menumpahkan kemarahannya kepada sumoi-nya itu. Kembali dia menerjang dan menotok pundak sumoi-nya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menampar ke arah kepala.

"Wuuutt... dukkk!"

Kini Bi Lan dapat mengelak dan menangkis dengan baiknya! Bi-kwi merasa penasaran. Yang digunakannya untuk menyerang tadi adalah sebuah jurus pilihan dari ilmu silatnya, tapi sumoi-nya ternyata mampu mengelak dan menangkis dengan baiknya, seolah-olah sumoi-nya mengenal jurus itu dengan baik. Ia lalu menyerang lagi, kini menggunakan sebuah jurus dari Hek-wan Sip-pat-ciang, itu ilmu silat tangan kosong yang hebat dari Hek Kwi-ong. Lengan Bi-kwi dapat mulur dengan panjang ketika ia melakukan gerakan jurus ini.

"Wuuuttt... plak! plak!"

Kembali Bi Lan dapat menangkis dua kali dengan baiknya sehingga jurus itu pun tidak berhasil. Bi-kwi menahan seruannya. Sumoi-nya mampu menangkis jurus itu? Sungguh aneh dan sulit dapat dipercaya. Jurus pilihan dari Hek-wan Sip-pat-ciang itu merupakan jurus ampuh dan sukar dilawan, akan tetapi sumoi-nya yang mempelajari silat dengan kacau-balau itu kini dapat menyambutnya seolah-olah sudah mengenal jurus itu dengan baik.

Dia mengeluarkan lagi beberapa jurus dari ilmu silat ini, akan tetapi ternyata Bi Lan mampu mengelak dan menangkis dengan baik, bahkan gerakan-gerakannya juga amat tepat seolah-olah gadis itu telah mempelajari Hek-wan Sip-pat-ciang dengan sempurna! Bi-kwi menjadi terkejut dan heran. Ia lalu menyerang lagi, kini menggunakan ilmu yang dipelajarinya dari Iblis Mayat Hidup, yaitu Ilmu Hun-kin Tok-ciang (Tangan Beracun Putuskan Otot) yang amat dahsyat.

"Plak-plak... wutttt...!"

Kembali Bi Lan mampu menghindarkan diri dari jurus ini, dan gerakannya juga tepat sekali!

"Ehhh...!" Bi-kwi begitu terheran-heran sampai-sampai menghentikan serangannya dan memandang sumoi-nya dengan sinar mata berapi. "Dari mana kau mengenal ilmu-ilmu itu?" bentaknya.

Bi Lan yang merasa senang karena beberapa kali mampu menghindarkan diri dari gebukan dan tendangan, tersenyum manis sekali. "Siapa lagi kalau bukan engkau yang mengajarku, suci? Bagaimana, baikkah gerakan-gerakanku?"

Bi-kwi terpaksa mengangguk-angguk. Dia tahu bahwa sumoi-nya ini tidak akan mampu berbohong maka jawaban sumoi-nya itu sungguh membuat ia terheran-heran dan juga khawatir sekali.

"Kalau begitu, coba temani aku berlatih, jangan sembunyikan apa-apa, segala yang kau ketahui harus kau keluarkan. Dan kau juga boleh membalas serangan kepadaku, jangan hanya membela diri, mengerti? Awas, kalau tidak, engkau pasti akan kuhukum dengan tamparan dan pukulan!"

Bi Lan tersenyum dan senyum gadis ini memang manis sekali karena senyumnya keluar dari hati yang polos dan wajar, walau pun terasa aneh sekali karena ia diancam malah tersenyum. Hatinya merasa girang karena ia diperbolehkan membalas serangan dan ia ingin memperlihatkan kemajuannya kepada suci-nya itu.

Melihat Bi Lan hanya tersenyum-senyum dan tidak segera bergerak, Bi-kwi membentak, "Siauw kwi, kenapa hanya senyum-senyum? Hayo serang!"

"Serang bagaimana, suci? Kaulah yang bergerak dulu, baru aku akan tahu gerakan apa yang harus kulakukan," jawab Bi Lan.

Mendengar jawaban ini, Bi-kwi lalu menerjangnya dengan tendangan Pat-hong-twi yaitu semacam ilmu silat tendangan yang dulu dipelajarinya dari Im-kan Kwi Si Iblis Akhirat. Tendangan itu hebat sekali, merupakan bagian dari Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin, datangnya susul-menyusul dan amat cepatnya.

Akan tetapi, Bi Lan mengenal ilmu ini dan ia pun cepat mengelak dan hal ini mudah dilakukan karena ia telah lebih dulu mengetahui ke mana kaki lawan itu akan bergerak. Bahkan ia lalu membalas dengan tendangan yang sama setelah semua jurus tendangan suci-nya dapat dielakkan. Karena tendangan mereka sama, maka mereka pun beradu tulang kaki beberapa kali.

"Dukkk! Takkk!"

Bi Lan meloncat ke belakang, meringis dan mengusap tulang kering kakinya. "Aduhh... tulang kakimu keras sekali, suci. Kakiku sampai sakit semua dibuatnya!"

Akan tetapi Bi-kwi sudah tidak memperhatikan lagi sikap sumoi-nya, bahkan ucapan itu baginya merupakan ejekan karena tadi semua tendangannya menurut Ilmu Tendangan Pat-hong-twi tidak berhasil. Hal ini berarti bahwa sumoi-nya sudah hafal akan ilmu itu.

"Jangan cerewet, sambutlah ini!"

Ia pun kini maju menyerang dengan ilmu-ilmu yang dikuasainya, menukar-nukar jurus dari ketiga orang suhu-nya. Akan tetapi ia semakin terheran-heran karena semua jurus itu, biar pun diselang-seling, telah dikenal oleh Bi Lan yang dapat menghindarkan diri, bahkan membalas dengan serangan yang sama!

Saking herannya, Bi-kwi mengeluarkan ilmunya yang paling ampuh, yaitu Kiam-ciang (Tangan Pedang). Ilmu ini dapat membuat kedua tangannya seperti pedang telanjang, dengan tangan mampu membacok dan menusuk lawan dengan kekuatan dahsyat. Akan tetapi, kembali Bi Lan dapat mengelak ke sana-sini dan menangkis!

Akhirnya Bi-kwi yang memang hanya ingin menguji, mengetahui dengan pasti bahwa sumoi-nya memang telah mengenal semua ilmunya, menguasainya dengan cukup baik, maka dia pun meloncat ke belakang sambil membentak, "Tahan dulu!"

Bi Lan tersenyum senang. "Wah, kalau diteruskan aku akan celaka, suci. Engkau hebat sekali, gerakanmu demikian cepat dan kuat," kata Bi Lan sejujurnya.

Akan tetapi suci-nya tidak peduli akan pujian ini melainkan memandang dengan sinar mata penuh selidik.

"Hayo katakan, dari mana engkau mempelajari semua ilmu tadi?" bentaknya.

"Aihh, suci, dari siapa lagi kalau bukan darimu sendiri?"

"Bohong! Tentu tiga orang guru kita yang telah diam-diam mengajarmu. Hayo katakan, betulkah begitu?"

"Suci, bukankah ketiga suhu sedang bertapa, bagaimana bisa mengajarku? Hi-hik, suci, engkau mau membohongi aku, ya? Tidak, aku hanya belajar kalau melihat engkau lagi berlatih, lalu kutiru. Bagaimana, baik atau tidak?"

Diam-diam Bi-kwi terkejut. Adik seperguruannya ini hanya menonton kalau ia berlatih, dan sudah dapat menirukannya demikian baiknya? Sungguh luar biasa sekali! Dan kini Siauw-kwi telah menguasai semua ilmu silatnya! Ini berbahaya sekali. Ia mendapatkan sebuah pikiran, kemudian melangkah maju dan tiba-tiba tangan kirinya menampar muka adiknya, tanpa gerak silat sama sekali.

Bi Lan nampak bingung, akan tetapi karena tamparan itu biasa saja, dia dapat pula mengelak dan pada saat dia mengelak itu, Bi-kwi menyambut dengan pukulan tangan kanan yang menampar.

"Plakk!" Kini pipi kiri Bi Lan kena ditamparnya dengan keras dan gadis itu mengaduh.

Hati Bi-kwi menjadi girang. Ia maju lagi, memukul, menampar dan menendang tanpa gerakan silat tertentu, ngawur saja, akan tetapi malah hasilnya baik sekali. Tubuh Bi Lan bertubi-tubi menjadi sasaran tendangan, pukulan atau tamparan yang membuat gadis itu jatuh bangun dan tubuhnya menjadi babak belur!

Bi Lan mencoba untuk mempergunakan ilmu-ilmu silat yang selama ini dipelajarinya dari Bi-kwi. Akan tetapi ilmu silat itu memang telah disesatkan oleh Bi-kwi, dan karena Bi-kwi mengenal semuanya, pertahanan dirinya sama sekali tiada artinya karena tidak sejalan dengan jalan serangan Bi-kwi yang ngawur.

Bi-kwi tidak peduli biar pun Bi Lan sudah mengaduh-aduh dan minta berhenti. Ia terus menghajar untuk melampiaskan kemarahan hatinya, kemarahan karena kecewa oleh pemuda yang semalam diculiknya, kemudian kemarahan karena melihat betapa Bi Lan tanpa disadari telah menguasai semua ilmu silatnya.

Bi-kwi menghajar terus. Baiknya tubuh Bi Lan sejak kecil sudah digembleng oleh Sam Kwi, biar pun ilmu silatnya diajarkan oleh Bi-kwi, sehingga tubuh itu memiliki kekebalan dan tidak sampai menderita luka dalam oleh hajaran Bi-kwi yang keras itu. Betapa pun juga, karena ditendang dan dipukuli semena-mena, akhirnya gadis itu rebah terkulai dan pingsan!

Baru Bi-kwi menghentikan pemukulannya karena dia khawatir kalau-kalau sumoi-nya tewas. Dan kalau hal ini terjadi, tentu tiga orang suhu-nya menjadi marah sekali dan ia tidak berani mempertanggung jawabkannya. Diambilnya seember air dan disiramkan ke atas kepala Bi Lan.

Bi Lan membuka kedua matanya. Melihat Bi-kwi memegangi ember, ia tersenyum dan berkata, "Aih, suci main-main, ya? Masa aku disiram air begini? Lihat, basah semua!"

"Hayo bangkit, anak malas! Persediaan kayu sudah hampir habis dan musim hujan akan tiba. Kalau engkau malas, akan kuhajar lagi!"

"Baik, suci." Dan larilah Bi Lan ke dalam hutan. Ia mulai mencari kayu untuk mengisi gudang yang besar itu sehingga mungkin selama satu bulan ini dia harus setiap hari mencari kayu!

Pada hari ke tiga, pagi-pagi sekali Bi Lan sudah pergi meninggalkan tempat tinggal ketiga suhu-nya untuk memasuki hutan. Ia harus bekerja keras, akan tetapi ia memang suka sekali pergi ke hutan seorang diri. Di tempat ini ia merasa aman, jauh dari suci-nya yang galak, yang selalu main pukul saja terhadap dirinya.

Di tempat ini ia dapat melihat binatang-binatang hutan yang lucu, bunga-bunga indah, pohon-pohon besar, sehingga hatinya terhibur dan merasa gembira sekali. Sering kali ia berkejaran dengan kelinci sambil tertawa-tawa, atau bernyanyi-nyanyi menirukan suara burung dan kadang-kadang ia pun melatih ilmu silat seperti yang baru ditontonnya dari suci-nya di atas hamparan rumput hijau yang segar dan basah oleh embun.

Pada pagi hari itu, karena masih terlalu pagi, Bi Lan berjalan-jalan dan tersenyum-senyum melihat burung-burung berloncatan dari dahan ke dahan sambil berkicau ramai menyambut datangnya pagi yang sangat cerah. Matahari baru saja muncul dengan sinarnya yang merah kekuningan, seperti warna emas kemerahan. Sinar matahari yang masih lembut itu menerobos melalui celah-celah daun dan ranting, menerobos di antara kabut sehingga nampak indah sekali, berupa garis-garis terang di antara kabut yang keputihan.

Bi Lan menirukan suara burung berkicauan, mulutnya yang kecil mungil dengan bibir kemerahan segar itu meruncing ketika ia menirukan suara burung. Kemudian, melihat larinya tiga ekor kelinci, ia pun mengejarnya. Larinya cepat, loncatannya ringan karena gadis ini sudah mempelajari ginkang yang hebat walau pun dengan latihan pernapasan yang terbalik seperti yang diajarkan suci-nya. Akan tetapi karena tiga ekor kelinci itu lari cerai-berai, Bi Lan menjadi bingung, lari ke sana-sini sambil terkekeh-kekeh.

Memang bukan maksudnya untuk menangkap kelinci-kelinci itu, hanya untuk mengajak mereka bermain-main. Gadis yang sejak kecil ikut dengan Sam Kwi ini, yang kemudian dilatih oleh suci-nya secara menyesatkan dan keras, tak pernah mendapat kesempatan untuk berkawan, maka sekarang ia mencari sendiri kawan-kawannya di antara binatang-binatang di hutan.

Setelah tiga ekor kelinci itu menghilang ke dalam semak-semak, Bi Lan lalu bersilat di atas lapangan rumput. Ia bersilat dengan penuh perhatian, dengan pengerahan tenaga dan berturut-turut ia bersilat ilmu silat yang dilihatnya suka dilatih oleh suci-nya!

Bi Lan sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi, sejak ia menirukan suara burung lalu mengejar-ngejar kelinci dan sekarang berlatih silat, ada dua sosok bayangan orang yang membayangi dan mengintainya. Dua bayangan orang itu menjadi bengong dan kadang-kadang saling pandang dengan sinar mata penuh kekaguman dan keheranan. Melihat gerakan dua orang itu, mudah diduga bahwa mereka adalah dua orang berilmu tinggi, karena mereka membayangi Bi Lan dengan kecepatan luar biasa dan dengan keringanan tubuh sedemikian rupa sehingga jejak kaki mereka pun tidak mengeluarkan suara.

Dua orang itu adalah sepasang kakek dan nenek yang sudah tua sekali. Kakek itu berpakaian serba kuning, berjenggot dan berambut putih, jenggotnya berjuntai sampai ke dada, sepasang matanya mencorong aneh dan sikapnya lemah lembut. Akan tetapi ada satu hal yang amat menarik, yaitu bahwa lengan kiri kakek itu buntung di atas siku sehingga lengan baju kirinya tergantung lemas terkulai.

Usia kakek ini tentu sudah mendekati delapan puluh tahun, atau sedikitnya tujuh puluh delapan tahun usianya. Akan tetapi wajahnya masih nampak kemerahan, tanda bahwa kesehatannya masih amat baik.

Nenek itu pun mengenakan pakaian warna kuning, berkembang biru muda, dan seperti si kakek, pakaiannya sederhana dan dia pun sudah tua sekali, sedikitnya tujuh puluh tahun usianya. Rambutnya juga sudah putih semua, akan tetapi wajahnya masih penuh kelembutan dan masih nampak garis-garis bekas wajah yang cantik jelita. Di balik jubah wanita tua ini nampak tersembul sebuah pedang dengan sarung pedang yang indah.

Kakek ini bukanlah orang biasa, melainkan seorang tokoh dunia persilatan yang pernah menggemparkan dunia persilatan. Di dunia persilatan, dia dijuluki Si Naga Sakti Gurun Pasir! Nama julukan ini tidak kalah besarnya dibandingkan dengan nama julukan para pendekar keluarga Pulau Es! Nama pendekar tua ini adalah Kao Kok Cu.

Ada pun nenek itu adalah isterinya yang dahulu bernama Wan Ceng atau juga Candra Dewi karena wanita ini diangkat saudara oleh seorang puteri Bhutan dan wanita ini pun bukan orang sembarangan karena ia masih terhitung cucu tiri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Apa lagi setelah menjadi isteri Pendekar Sakti Gurun Pasir, ilmu kepandaian wanita ini meningkat dengan pesat dan kini ia juga termasuk seorang tokoh yang sakti.

Di dalam KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES telah diceritakan bahwa putera tunggal suami isteri sakti ini yang bernama Kao Cin Liong dan sejak muda menjadi panglima yang amat terkenal di kota raja, telah menikah dengan Suma Hui, cucu Pendekar Super Sakti.

Atas desakan isterinya, Kao Cin Liong telah mengundurkan diri dari kedudukannya dan tidak lagi menjadi panglima. Kao Kok Cu dan isterinya yang merasa sudah terlalu tua, menghendaki agar Kao Cin Liong dan isterinya tinggal di tempat mereka, yaitu jauh di utara, di sebuah dataran yang indah dan subur di tengah-tengah padang pasir di mana mereka mempunyai sebuah gedung istana kuno yang dinamakan Istana Gurun Pasir.

Akan tetapi kedua suami isteri muda itu tidak mau karena merasa tidak betah tinggal di tempat sunyi itu. Mereka memilih tetap tinggal di dekat kota raja di mana keduanya berdagang rempah-rempah dan keadaan mereka cukup makmur. Suami isteri tua Kao Kok Cu tidak dapat memaksa dan mereka merasa kesepian. Oleh karena itu, mereka berdua lalu banyak melakukan perjalanan merantau, menikmati tempat-tempat indah di seluruh tanah air.

Demikianlah, pada pagi hari itu, mereka berdua merantau sampai di sebuah di antara puncak Pegunungan Thai-san di mana mereka lalu melihat Bi Lan. Malam tadi mereka bermalam di lereng gunung dan pagi itu, pagi-pagi sekali, mereka sudah naik ke puncak untuk menikmati keindahan matahari terbit. Akan tetapi, mereka melihat Bi Lan dengan gerak-geriknya yang amat aneh, membuat suami isteri tua itu tertarik dan diam-diam mereka membayangi gadis muda yang cantik namun gerak-geriknya aneh itu.

Pada saat melihat Bi Lan memoncongkan mulut menirukan suara burung-burung yang sedang berkicau, nenek Wan Ceng menutupi mulutnya menahan ketawa, dan sepasang suami isteri itu ikut merasa gembira, menganggap bahwa gadis itu manis dan lucu sekali, dapat menikmati keindahan alam di tempat sunyi seperti itu, kenikmatan yang sudah jarang terdapat dalam batin kebanyakan manusia. Kemudian, melihat betapa Bi Lan mengejar-ngejar kelinci sambil tertawa-tawa, hanya mempermainkan kelinci bukan sungguh-sungguh menangkap, melihat gerakannya yang demikian cepat, tanda bahwa gadis itu memiliki ginkang yang lumayan, mereka tercengang.

Mereka terus membayangi gadis itu dan ketika Bi Lan mulai berlatih silat, nenek itu mencengkeram lengan suaminya. Keduanya bengong mengamati setiap gerakan gadis itu, dengan mata terbelalak karena mereka mengenal ilmu silat yang tinggi dan aneh, walau pun mereka berdua maklum bahwa ilmu-ilmu yang dimainkan gadis itu termasuk ilmu yang sesat, penuh dengan gerak tipu dan mengandung hawa pukulan yang aneh-aneh.

Tapi, yang membuat mereka terheran-heran adalah saat mereka melihat betapa makin lama wajah gadis itu menjadi semakin merah, kemudian tiba-tiba menjadi pucat dan pernapasan gadis itu terengah-engah tidak karuan. Akhirnya gadis itu menghentikan gerakan-gerakan silatnya dan segera berjungkir balik, berdiri dengan kepala di atas tanah dan mengatur kembali pernapasannya.

Melihat hal ini, tentu saja kedua orang suami isteri itu terkejut dan khawatir sekali. Mengatur pernapasan selagi terengah-engah dan kelelahan dengan cara membalikkan tubuh seperti itu amatlah berbahaya! Akan tetapi aneh, gadis itu agaknya sudah terbiasa dan sebentar saja pernapasannya sudah normal kembali dan gadis itu kini berjungkir balik, berdiri lagi, lalu duduk di atas rumput hijau sambil tersenyum-senyum, akan tetapi mukanya masih pucat.

"Anak baik, caramu mengatur pernapasan terbalik!" Wan Ceng tak dapat lagi menahan kekhawatiran hatinya dan nenek ini sudah meloncat ke luar dan menghampiri Bi Lan.

Gadis itu mengangkat mukanya, terkejut sekali. Senyumnya tiba-tiba menghilang dan matanya terbelalak. Alisnya berkerut dan tiba-tiba dia meloncat bangun lalu menyerang dengan tangan kanan ke arah nenek itu, mencengkeram ke arah dada dengan gerakan yang ganas dan dahsyat sekali.

"Hemmm...!" nenek Wan Ceng dengan mudah mengelak.

Namun gadis itu menyerang terus sebagai lanjutan serangannya tadi dan serangkaian serangan yang terdiri dari pukulan dan cengkeraman yang ganas dilancarkan ke arah lawan. Nenek Wan Ceng terkejut, tetapi dengan tenang dia menghindarkan diri dengan loncatan ke sana sini dan kadang-kadang menangkis dengan kibasan tangannya.

Melihat betapa gadis itu menyerang isterinya seperti orang mengamuk, kakek Kao Kok Cu juga meloncat dekat dan berkata dengan suaranya yang tenang, halus dan penuh wibawa, "Nona, tenanglah, kami datang bukan dengan niat buruk!"

Akan tetapi tiba-tiba saja Bi Lan berbalik menyerang kakek itu kalang-kabut, dan kini ia menggunakan tendangan-tendangan berantai yang ganas sekali. Tentu saja serangan-serangan yang masih mentah itu tiada artinya bagi Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, dan dengan sedikit menggerakkan tubuhnya, tendangan-tendangan itu hanya mengenai angin belaka. Pada waktu kakek itu menggerakkan kakinya, kaki Bi Lan yang tidak menendang kena disapu dan tubuhnya terpelanting jatuh ke atas rumput lunak.

Akan tetapi, gadis itu meloncat bangun lagi dan kini ia menyerang lagi dengan lebih dahsyat, mengeluarkan semua ilmu yang dipelajarinya saat menonton suci-nya berlatih. Ilmu-ilmu itu adalah ilmu-ilmu yang hebat, ilmu silat yang menjadi kebanggaan Sam Kwi, kini dikeluarkan semua oleh Bi Lan untuk menyerang kakek dan nenek itu!

Karena tertarik akan keistimewaan ilmu-ilmu itu, kakek Kao Kok Cu dan Wan Ceng sengaja membiarkan gadis itu menerjang kalang-kabut. Baru setelah melihat betapa pernapasan gadis itu memburu dan terengah-engah, mereka merasa kasihan dan sebuah totokan jari tangan kakek itu membuat Bi Lan roboh dengan tubuh lemas, tidak mampu menggerakkan kaki tangannya lagi.

Bi Lan berusaha untuk bangkit, akan tetapi setelah maklum bahwa kaki tangannya tidak dapat digerakkan, ia memandang kepada nenek Wan Ceng dan berkata, "Jangan pukul aku lagi, ahhhh... aku sudah lelah sekali..."

Kakek dan nenek itu merasa kasihan sekali dan mereka lalu berjongkok dekat tubuh Bi Lan. Kakek Kao Kok Cu bertanya, suaranya halus dan penuh kesabaran, "Nona, kenapa engkau menyerang kami?"

"Kenapa...?" Bi Lan memandang bingung.

"Aku tidak tahu kenapa tapi suci yang menyuruhku, ia bilang bahwa kalau ada orang-orang datang ke tempat ini harus kubunuh mereka, karena kalau tidak, merekalah yang akan membunuhku. Karena itu aku menyerang kalian."

Suami isteri itu saling lirik. "Dan kau lihat bahwa kami sama sekali tidak mengganggumu tadi, bukan? Kami tidak ingin membunuhmu, menyerangmu pun tidak. Adalah engkau yang menyerang kami dan sekarang terpaksa kami merobohkanmu. Nah, lihat, kami membebaskanmu," kata Wan Ceng sambil membebaskan totokan dari tubuh Bi Lan.

Begitu terbebas, Bi Lan berjungkir balik dan mengatur pernapasan seperti tadi. Melihat ini Wan Ceng hendak mencegah, tetapi suaminya menyentuh lengannya dan memberi isyarat agar isterinya jangan mengganggu gadis itu. Mereka berdua hanya memandang penuh perhatian kepada Bi Lan dan tak lama kemudian secara aneh sekali gadis itu telah mampu memulihkan pernapasannya walau pun mukanya masih pucat sekali.

"Nah, sekarang engkau percaya bahwa kami tidak berniat buruk kepadamu, bukan?"

Bi Lan menatap wajah nenek itu dan agaknya wajah dua orang tua itu mendatangkan kesan baik di dalam perasaannya karena ia merasa aman berada di dekat mereka. Ia menggeleng bingung, "Aku tidak tahu, suci-ku yang menyuruhku."

"Siapakah suci-mu itu?"

"Ia disebut Bi-kwi..."

"Setan Cantik?" Nenek Wan Ceng bertanya, alisnya berkerut mendengar julukan seperti itu.

Kini Bi Lan sudah merasa gembira kembali, ia tersenyum dan nampaklah oleh suami isteri itu betapa manisnya wajah gadis ini kalau tersemyum, dan nampak pula bahwa pada dasarnya gadis ini memiliki wajah yang membayangkan kelembutan walau pun dipenuhi dengan bekas-bekas penderitaan batin.

"Hi-hik, memang suci cantik sekali, akan tetapi ia pun jahat seperti setan."

"Nona, siapakah yang mengajarkan ilmu silat kepadamu?" Kao Kok Cu bertanya.

"Siapa lagi kalau bukan suci," jawabnya pasti.

Kakek dan nenek itu saling berpandangan dengan amat heran. Kalau suci-nya yang mengajarkan, berarti suci itu lebih gila lagi dari pada nona ini. Ataukah suci itu sengaja menyelewengkan pelajaran-pelajaran itu untuk mencelakai gadis ini? Mungkinkah ada seorang suci berbuat demikian? Namun mengingat akan nama julukannya, yaitu Bi-kwi (Setan Cantik), jelas bahwa suci itu tentu seorang tokoh golongan sesat, dan tidaklah aneh kalau seorang tokoh sesat melakukan perbuatan sejahat itu.

"Ke mana guru kalian? Kenapa suci-mu yang mengajarmu, bukan gurumu?" Kao Kok Cu yang merasa tertarik sekali melanjutkan pertanyaannya.

Kini Bi Lan sama sekali tidak merasa curiga lagi kepada kakek dan nenek yang bersikap manis itu, dan ia pun menjawab sejujurnya.

"Tiga orang guruku sedang bertapa, jadi yang mewakili mereka mengajarku adalah suci Bi-kwi."

"Tiga orang ? Siapakah guru-gurumu itu?" Kao Kok Cu bertanya lagi.

Dia semakin heran mendengar bahwa gadis ini mempunyai tiga orang guru. Pantas ilmu silatnya tadi bermacam-macam dan aneh-aneh, dan jelas membayangkan sifat ilmu silat kaum sesat.

"Guru-guruku adalah orang-orang hebat!" kata Bi Lan bangga.

Memang gadis ini, biar pun dalam keadaan terganggu pikirannya karena salah latihan, tidak pernah dapat melupakan budi kebaikan tiga orang gurunya ketika menolongnya, ketika membalaskan dendam ayah bundanya dengan membunuh semua orang jahat yang mengakibatkan tewasnya orang tuanya itu, dan membantunya mengubur jenazah mereka, juga mengambilnya sebagai murid.

"Mereka terkenal dengan julukan Sam Kwi."

"Hemm, Tiga Iblis?" Nenek Wan Ceng bertanya, heran karena ia dan suaminya belum pernah mendengar nama ini.

Memang sesungguhnyalah, dua orang kakek dan nenek ini sejak muda sudah jarang berkecimpung di dalam dunia persilatan, hidup terpencil di gurun pasir di utara, maka mereka tidak banyak tahu tentang tokoh-tokoh kaum sesat. Apa lagi karena Sam Kwi juga menyembunyikan diri dan bertapa selama sekian tahun setelah mereka dikalahkan oleh Pendekar Super Sakti dan baru sekarang mereka muncul lagi ketika mereka ingin menguasai Liong-siauw-kiam, Pedang Suling Naga yang tadinya berada di tangan susiok mereka.

"Ya..., ya, Tiga Iblis!" kata Bi Lan dengan nada suara gembira walau pun pandang matanya agak kecewa melihat betapa nenek itu tidak mengenal nama guru-gurunya. "Tiga orang guruku itu adalah Raja Iblis Hitam, Iblis Akhirat, dan Iblis Mayat Hidup. Kepandaian mereka hebat sekali!"

Suami isteri tua itu saling pandang dan Kao Kok Cu memancing dengan ucapan halus, "Nona, kami melihat bahwa nona adalah seorang yang baik, akan tetapi mengapa menjadi murid tiga orang yang menurut julukannya adalah tokoh-tokoh golongan sesat?"

Bi Lan mengerutkan alisnya. "Aku tidak mengerti pertanyaanmu. Aku tidak tahu apa itu yang kau namakan golongan sesat, akan tetapi tiga orang guruku amat baik kepadaku, menolongku dari tangan gerombolan orang jahat yang telah membunuh ayah ibuku, bahkan membunuh semua gerombolan itu dan membantuku mengubur jenazah ayah ibuku."

Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu dan isterinya kini dapat mengerti bahwa gadis ini adalah seorang di antara sekian banyaknya korban perang pemberontakan di selatan, dan dapat menduga bahwa gadis ini diselamatkan oleh tiga orang tokoh sesat itu dan kemudian menjadi murid mereka. Akan tetapi gadis ini menerima pelajaran ilmu yang sesat sehingga keracunan dan membuat pikirannya terguncang dan tidak waras.

Mungkin hal ini bukanlah kesalahan tiga orang yang berjuluk Sam Kwi itu, melainkan kesalahan suci gadis ini yang berjuluk Bi-Kwi. Sukar dibayangkan apa yang dilakukan oleh datuk-datuk atau tokoh-tokoh kaum sesat yang aneh-aneh, maka mereka pun sukar menduga apa yang telah terjadi di antara keluarga perguruan sesat yang semua memakai julukan setan atau iblis itu.

"Siapakah namamu, anak yang baik?" tanya Wan Ceng dengan suara mengandung iba. Ia melihat gadis ini seperti setangkai bunga indah bersih yang karena keadaan terpaksa hidup di tengah-tengah lumpur kotor.

Bi Lan tersenyum memandang wajah nenek itu. "Tiga orang Suhu-ku bersama suci menyebutku Siauw-kwi. Hi-hik sebetulnya sekarang aku bukan seorang anak kecil lagi, bukan? Namaku sendiri adalah Can Bi Lan."

"Bi Lan, dengarlah baik-baik, apakah engkau percaya kepada kami? Engkau lihat, kami sama sekali tidak berniat buruk dan juga tidak melakukan apa-apa yang buruk terhadap dirimu."

Bi Lan tersenyum dan memandangi dua orang tua itu, lalu mengangguk-angguk. "Aku percaya kepada kalian. Aku belum pernah bicara panjang lebar seperti ini dengan orang lain, dan kalian baik sekali."

Wan Ceng menjadi gembira dan makin bersemangat mendengar ucapan gadis itu. Dia memandang suaminya. Suami yang sudah bergaul selama lima puluh tahunan dengan isterinya ini sudah maklum apa yang terkandung di dalam hati isterinya tanpa si isteri mengatakannya. Dia mengangguk sebagai tanda setuju.

"Bi Lan, kami melihat bahwa engkau menderita luka dalam, menderita keracunan yang amat membahayakan kesehatanmu karena engkau telah keliru dalam latihan ilmu silat, terutama sekali dalam latihan sinkang dan pernapasan. Kini kami bermaksud hendak mengobatimu sampai sembuh. Maukah engkau?"

Bi Lan memandang ragu dan bingung.

"Aku tidak sakit apa-apa," katanya, "dan andai kata sakit tentu suhu-suhu-ku dan suci akan mampu menyembuhkanku. Pula, bagaimana aku bisa keliru berlatih kalau suci sendiri yang mengajarku?"

Nenek itu adalah seorang wanita yang amat cerdik. Tadi ketika bicara dekat dengan gadis itu, ia dapat melihat bekas-bekas pukulan yang masih meninggalkan tanda-tanda membiru pada leher dan pipi gadis itu, mungkin pada bagian tubuh lain yang tertutup pakaian. Karena ia dapat menduga bahwa tentu ini perbuatan sang suci yang katanya jahat dan kejam itu, ia lalu tiba-tiba bertanya, "Bi Lan, siapa yang memukulimu sampai engkau menderita babak-belur dan ada bekas-bekas di leher dan mukamu?"

Ditanya secara mendadak itu, Bi Lan yang memang pada dasarnya berwatak jujur dan polos, yang masih belum ternoda oleh pengaruh lingkungan masyarakat, bahkan pada hakekatnya belum ketularan watak jahat para gurunya dan suci-nya, menjawab terang-terangan sambil tersenyum, "Ahhh, suci yang melakukan ini. Katanya ini perlu dalam latihan, ia memukuli dan menendangku dalam latihan-latihan silat."

Sekarang ganti Kao Kok Cu yang berkata, "Nona telah tertipu oleh suci-mu itu. Ia telah memukulimu, mungkin karena benci hanya tidak berani membunuhmu, maka ia sudah melatihmu secara terbalik dan tersesat. Dengan latihan-latihan ini, kalau kau teruskan, engkau mungkin akan mati dalam satu dua tahun ini."

"Mati adalah suatu hal yang amat menyenangkan," Bi Lan menjawab sambil menahan ketawanya, dan sikap ini jelas membayangkan sikap orang yang pikirannya tidak waras.

"Ehhh, mengapa begitu ?" tanya Wan Ceng mendengar ucapan yang biasanya hanya diucapkan oleh para pendeta yang berlagak sudah tahu akan keadaan sesudah mati.

"Hi-hi-hik, aku sendiri tidak tahu, nek, yang berkata demikian adalah suci."

"Suci-mu lagi!" kata Wan Ceng, diam-diam merasa marah terhadap orang yang menjadi suci gadis ini. "Coba, kau bernapas yang dalam, lalu tahan sebentar."

Bi Lan masih tersenyum-senyum, akan tetapi ia menuruti permintaan nenek itu. Setelah menarik napas panjang dan dalam, ia menahan hawa itu di dalam dadanya.

"Cukup, apa yang sekarang kau rasakan? Bukankah ada kelainan dan rasa nyeri di punggungmu?" Tanya Wan Ceng sambil mengerutkan alis putihnya.

Nenek itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sudah banyak pengalamannya tentang keracunan dan luka di sebelah dalam tubuh. Ia sendiri pernah menjadi murid Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun), maka dapat dikata dia adalah seorang ahli tentang keracunan.

Bi Lan memandang dengan heran dan mengangguk. "Benar, ada rasa seperti ditusuk di punggungku. Nenek apakah engkau bermain sihir sehingga tahu apa yang kurasakan?"

"Tidak, Bi Lan. Itu tandanya bahwa engkau benar-benar menderita luka dalam yang jika tidak cepat disembuhkan akan membahayakan nyawamu. Dan kami yakin bahwa hal itu timbul karena kesalahan dalam latihan dan agaknya suci-mu itu sengaja mengusahakan supaya engkau tewas karena latihan-latihanmu. Maukah engkau kami obati sampai sembuh?"

Gadis itu mengamati wajah kedua orang tua itu dengan sikap ragu-ragu. Akhirnya dia berkata, "Tiga orang suhu-ku adalah orang-orang paling sakti di dunia ini, kemudian disusul oleh suci Bi-kwi. Apa yang kalian dapat lakukan, tentu dapat dilakukan pula oleh mereka. Coba perlihatkan dulu kepandaian kalian, baru aku akan percaya bahwa kalian adalah orang-orang yang lebih pandai dari mereka, dan aku mau kalian obati."

Kao Kok Cu dan isterinya mengerti bahwa pengaruh Sam Kwi dan Bi-kwi telah tertanam demikian dalam terutama di dalam hati gadis ini sehingga gadis ini percaya sepenuhnya kepada mereka. Maka hati gadis ini perlu diyakinkan dengan demonstrasi kepandaian agar dapat percaya dan mau ditolong. Mereka saling pandang dan kakek itu kemudian mengangguk.

"Bi Lan, bukankah tadi kami sudah memperlihatkan bahwa kami jauh lebih pandai dari padamu?"

"Kalau hanya mengalahkan aku, suci pun dapat seribu kali mengalahkan aku."

"Baiklah. Kau lihat pohon di depan itu? Apakah kau kira guru-gurumu atau suci-mu akan dapat merobohkan pohon itu tanpa memukul keras, tanpa menggugurkan setangkai pun daunnya?"

Bi Lan memandang. Pohon itu besarnya seperti tubuh manusia. Ia tahu bahwa ketiga orang gurunya, juga suci-nya, amat lihai dan tentu akan mampu merobohkan pohon itu. Akan tetapi tanpa memukul keras? Tanpa menggugurkan daunnya? Mana mungkin? Ia pun lalu menggeleng kepala.

"Nah, kau lihatlah!" kata Wan Ceng.

Dan nenek ini lalu menghampiri pohon yang dimaksudkan itu. Sebentar ia mengerahkan tenaga, mengumpulkan tenaga sinkang di kedua tangannya, kemudian menempelkan kedua telapak tangannya pada batang pohon itu. Tidak kelihatan ia memukul dan pohon itu pun tidak terguncang sama sekali. Tetapi, diam-diam nenek ini sudah mengerahkan hawa pukulan Selaksa Racun, pukulan kaum sesat yang amat hebat dan yang selama ini tak pernah ia gunakan walau pun nenek ini selama puluhan tahun telah menghimpun tenaga sinkang yang amat kuat. Hanya nampak tubuhnya sendiri yang tergetar keras, kemudian nenek itu meloncat mundur dengan muka agak pucat dan peluh membasahi dahi dan leher.

Melihat ini, Bi Lan terkekeh. "Hi-hi-hik, apa yang telah kau lakukan tadi, nek ? Aku sama sekali tidak melihat pohon itu roboh."

"Bi Lan, coba kau dorong pohon itu," kata Wan Ceng sambil tersenyum.

Bi Lan maju dan dengan tangan kirinya mendorong batang pohon itu. Tiba-tiba pohon itu pun tumbang dan ternyata batang di mana nenek tadi menempelkan tangannya telah remuk dan kehitaman seperti terbakar!

Bi Lan terkejut sekali dan melompat ke belakang, matanya terbelalak. Akan tetapi ia lalu mengerutkan alisnya. "Nek, mungkin kau bermain sihir, akan tetapi kepandaianmu itu tidak kelihatan hebat."

Nenek itu nampak tak senang dan penasaran, akan tetapi suaminya memberi isyarat dengan pandang mata, lalu pendekar tua itu berkata, "Nona, tadi hanya main-main. Kau ingin menyaksikan kehebatan kami berdua? Nah, lihat, dengan kaki dan tangan kami, kami akan membersihkan sekitar tempat ini." Berkata demikian, kakek itu dengan sebelah lengannya lalu menerjang sebatang pohon besar.

"Kraaakkk!" terdengar suara dan pohon itu pun tumbang.

Wan Ceng segera mengerti akan maksud suaminya. Seorang gadis yang masih belum berpengalaman seperti Bi Lan ini tentu akan lebih tertarik melihat kekuatan yang kasar dan kelihatan dahsyat. Maka dia pun menerjang sebongkah batu besar, ditendangnya sehingga batu besar itu terlempar jauh.

Suami isteri ini kemudian mengamuk, menumbangkan pohon-pohon di situ, melempar-lemparkan batu besar, bahkan Wan Ceng mencabut pula sebatang pohon berikut akar-akarnya dan melemparkan sampai jauh. Sebentar saja terbukalah tempat yang cukup luas, setelah ditumbangkan tujuh batang pohon besar dan belasan bongkah batu.

Melihat ini, Bi Lan terbelalak lalu bertepuk tangan, tidak habisnya memuji kedahsyatan sepasang suami isteri yang tua itu. "Hebat, kalian hebat! Mungkin tidak kalah oleh guru-guruku dan suci!" katanya.

"Nah, engkau sudah percaya ? Sekarang kami akan berusaha mengobatimu. Duduklah bersila di sini, Bi Lan," kata Wan Ceng. "Tempat terbuka ini akan kami jadikan tempat tinggal kami untuk sementara agar supaya dalam waktu beberapa lama ini kami dapat mengobatimu."

Bi Lan tidak membantah lagi dan ia pun duduk bersila di atas rumput. Kakek dan nenek itu juga duduk di depan dan belakangnya, bersila seperti ia sendiri.

"Kendurkan semua urat syarafmu, dan sama sekali jangan melawan. Ingat saja bahwa kami bermaksud baik, bahwa kami kasihan kepadamu dan ingin mengobatimu," kata Wan Ceng yang duduk di depannya.

Tiba-tiba Bi Lan merasa betapa tengkuknya ditepuk dari belakang oleh kakek itu dan ia pun tidak ingat apa-apa lagi.

Kakek dan nenek yang sakti itu lalu bekerja keras. Mereka menotok jalan-jalan darah di kepala gadis itu, membuka jalan-jalan darah yang tersumbat karena akibat salah latihan. Wan Ceng menempelkan telapak tangan pada dada gadis itu, sedangkan Kao Kok Cu pada punggung gadis itu, menyalurkan tenaga sinkang untuk memulihkan kesehatan di dalam dada Bi Lan.

Sementara itu, dengan pengetahuannya tentang keracunan, Wan Ceng mengusir hawa beracun yang berada di dalam tubuh gadis itu. Mereka berdua tidak berani tergesa-gesa, tidak berani sekaligus mengobati gadis itu karena hal ini akan berbahaya sekali bagi Bi Lan. Tubuh gadis itu sudah terbiasa dengan keadaan tercekam hawa beracun yang dihimpunnya sendiri melalui latihan-latihannya yang tersesat, dan kalau sekaligus dibersihkan, perubahan ini akan menimbulkan guncangan yang membahayakan.

Karena itu mereka mengambil keputusan untuk mengobati gadis itu secara bertahap. Mereka kemudian menghentikan pengobatan itu, dan dengan urutan tangan, Kao Kok Cu memulihkan jalan darah sehingga gadis itu pun siuman dari pingsannya.

Begitu siuman, Bi Lan mengeluh, lalu memegangi kepala dengan kedua tangannya. Ia membuka mata memadang kepada kakek dan nenek yang sekarang sudah duduk di depannya, dan teringatlah ia bahwa mereka adalah dua orang yang kasihan kepadanya, yang mengobatinya karena menganggap ia menderita luka dalam.

"Aduhh... kepalaku berdenyut-denyut, nyeri rasanya!" Ia mengeluh.

Nenek Wan Ceng menaruh tangannya di pundak gadis itu, suaranya menghibur, "Bi Lan, jangan khawatir, hal itu bahkan membuktikan bahwa kini jalan darahmu ke arah kepala mulai membaik. Tadinya, banyak jalan darah ke kepalamu tidak lancar jalannya, terhambat oleh hawa beracun yang timbul karena kesalahan latihanmu. Kini kami berani memastikan bahwa setelah pengobatan beberapa kali, jalan-jalan darah itu akan lancar kembali."

Bi Lan percaya dan ia pun tersenyum. "Kalau benar omonganmu, aku beruntung sekali bertemu dengan kalian."

Dengan girang dia pun meloncat ke atas. Akan tetapi dia segera mengeluarkan seruan kaget. Dan dipandangnya kakek dan nenek itu dengan sinar mata penuh keraguan.

"Ahhh...! Tubuhku terasa berat dan kedua kakiku kehilangan tenaga, juga tubuhku tidak dapat bergerak ringan seperti biasanya!" Ia lalu mencoba untuk meloncat ke atas, akan tetapi belum juga tinggi tubuhnya sudah meluncur turun kembali.

"Ahhh, bagaimana ini? Aku tidak mampu meloncat tinggi lagi!"

Kini Kao Kok Cu yang bangkit dan berkata dengan suara tenang, halus dan berwibawa, mengundang kepercayaan bagi pendengarnya. "Nona, jangan khawatir. Memang, untuk menghalau hawa beracun dari tubuhmu, otomatis tenaga khikang yang sudah berada di tubuhmu ikut pula berkurang. Tenaga sinkang-mu sudah keracunan, dan kalau kami membersihkan hawa beracun itu, berarti tenaga sinkang-mu juga akan ikut terusir. Akan tetapi jangan kau khawatir, kami akan menggantikannya dengan tenaga sinkang yang murni. Dengan dasar tenaga sinkang murni, engkau akan mampu memainkan ilmu-ilmu silatmu tadi secara tepat dan baik, juga tangguh dan tidak akan merusak kesehatanmu sendiri. Percayalah, kami berdua berniat baik dan mungkin engkau akan terkejut dengan perubahan-perubahan pada dirimu dan engkau tidak akan mengerti. Percaya sajalah dan engkau tidak akan menderita kerugian bahkan selain mendapatkan kesembuhan, juga akan memperoleh ilmu yang benar."

Lambat laun keraguan lenyap dari dalam batin Bi Lan walau pun tadinya masih bingung. Apa lagi ketika nenek itu merangkulnya dan berbisik, "Bi Lan, engkau pantas menjadi anakku, bahkan cucuku. Bagaimana kami dapat timbul niat mencelakaimu? Kami suka sekali kepadamu."

"Akan tetapi, apakah aku harus terus-menerus berobat ke sini? Bagaimana kalau suci sampai tahu? Tentu ia marah-marah dan aku akan dipukuli lagi!" Bi Lan nampak jeri.

"Tentu saja engkau harus setiap hari datang ke sini," kata nenek Wan Ceng. "Dan lebih baik, sebelum kau sembuh benar, jangan bicara apa-apa tentang kami kepada suci-mu itu. Kalau sudah tiba saatnya, kami yang akan menghadapinya. Akan tetapi, dapatkah kau setiap hari datang ke sini?"

"Kami akan tinggal di sini untuk sementara waktu, membangun sebuah pondok di sini untuk mengobatimu setiap hari," kata Kao Kok Cu.

"Tetapi, aku mendapat tugas dari suci untuk mencari kayu setiap hari, untuk memenuhi gudang kayu kami. Tentu saja aku dapat datang ke sini setiap hari, akan tetapi bagai mana dengan kayu yang harus kukumpulkan?"

Wan Ceng tersenyum sambil menuding ke arah pohon-pohon yang tadi tumbang dan roboh. "Di sini terdapat banyak kayu, tak perlu kau pusingkan. Tiap hari engkau datang ke sini, berobat dan pulangnya membawa kayu. Syukur kalau di waktu malam kau dapat pula datang ke sini, lebih sering lebih cepat pula engkau sembuh dan pulih. Percayalah, Bi Lan, engkau akan tertolong lahir dan batin yang akan merubah seluruh jalan hidupmu kalau engkau menurut semua kata-kata kami."

Bi Lan nampaknya masih bimbang, tetapi dia mengangguk. Bagaimanapun juga, harus diakuinya bahwa selama ini dia memang sering mendapat gangguan dalam tubuhnya, bahkan pernah sehabis latihan dia muntah darah. Dan sikap suci-nya terhadap dirinya juga amat galak. Maka, melihat sikap baik dua orang kakek nenek ini, ia segera percaya sepenuhnya walau pun dia sendiri belum menyadari betapa pentingnya pengobatan itu bagi dirinya.....

SULING NAGA (seri ke 12 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang