Jilid 32/55

973 14 0
                                    

Sementara itu, Kim Hwa Nionio sudah terlibat dalam perkelahian yang amat hebat dan seru melawan Sim Houw. Liong-siauw-kiam di tangan nenek itu memang membuatnya semakin lihai. Kebutan di tangan kirinya itu sudah berbahaya sekali. Ujung bulu kebutan yang kadang-kadang lemas kadang-kadang kaku seperti batangan-batangan baja itu menyambar-nyambar ganas dan setiap ujung bulu kebutan itu dapat menghancurkan otot atau jalan darah dapat ditotoknya. Ini semua masih ditambah lagi dengan pedang suling yang menyambar-nyambar seperti seekor naga.

Akan tetapi, dalam hal penggunaan Liong-siauw-kiam ini, nenek Kim Hwa Nionio hanya dapat memanfaatkan ketajamannya saja, sedangkan lubang-lubang di pedang itu hanya mengeluarkan suara mendengung panjang, tidak seperti jika dimainkan oleh Sim Houw. Biar pun demikian, karena pedang suling itu bekerja sama dengan kebutan, nenek itu benar-benar merupakan lawan yang berbahaya dan kuat sekali.

Akan tetapi, Sim Houw telah mempergunakan sepasang senjata yang memang menjadi senjata istimewanya sebelum dia memiliki pedang suling. Sekarang pedang di tangan kanannya berkelebatan dan mengaung-ngaung seperti seekor naga sedang mengamuk, sedangkan suling emas di tangan kiri mengeluarkan suara melengking-lengking, malah lebih kuat dari pada lengking suara suling yang keluar dari suling emas di tangan Kam Bi Eng, sumoi-nya yang menghadapi Iblis Mayat Hidup, seorang di antara Sam Kwi. Dan dengan sepasang senjata yang ampuh ini, Sim Houw mampu menandingi dan mengimbangi permainan sepasang senjata Kim Hwa Nionio sehingga mereka terlibat dalam pertandingan yang amat seru.

Perkelahian antara Sai-cu Lama dan Tiong Khi Hwesio agaknya merupakan perkelahian yang paling hebat di antara mereka. Dua orang kakek ini memiliki tingkat kepandaian yang sangat tinggi, dan keduanya memiliki tenaga sinkang yang sudah matang, juga pengalaman berkelahi puluhan tahun lamanya. Lebih lagi, kini keduanya menggunakan pedang pusaka yang amat ampuh dan baru sinar pedangnya saja sudah cukup untuk menggentarkan hati lawan.

Kalau tadinya Sai-cu Lama mengandalkan keampuhan Ban-tok-kiam sehingga dengan senjata ampuh itu dia dapat menebus kekalahannya yang sedikit dari Tiong Khi Hwesio, kini harapannya itu kandas. Ternyata pedang pusaka di tangan lawan itu tidak kalah ampuhnya, bahkan kini Tiong Khi Hwesio memainkan ilmu pedang yang amat aneh dari Pulau Neraka, membuat Sai-cu Lama repot dan harus melindungi diri kuat-kuat.

Dengan demikian dia mulai terdesak dan lebih banyak menangkis dari pada menyerang. Terasa beratlah melawan kakek yang menggunakan pedang Cui-beng-kiam dengan Ilmu Pedang Cui-beng Kiam-sut dan didasari dengan tenaga Inti Bumi, yaitu semacam sinkang yang hebat dari Pulau Neraka.

Hebat bukan main perkelahian yang terjadi di luar hutan, di padang rumput yang sunyi itu. Yang terdengar adalah sambaran-sambaran senjata yang berdesingan, bentrokan-bentrokan senjata dan teriakan-teriakan yang mengiringi suatu serangan.

Akan tetapi, lebih-lebih dari itu semua, terdengar dua suara suling melengking-lengking seperti ditiup, yaitu dari suling emas yang digerakkan oleh Kam Bi Eng dan yang digerakkan oleh Sim Houw. Biar pun Kam Bi Eng adalah puteri Pendekar Suling Emas Kam Hong, akan tetapi dalam hal memainkan suling emas, dia masih kalah matang dibandingkan suheng-nya, Sim Houw. Dua batang suling yang berkelebatan bagaikan naga itu selain mengeluarkan hawa pukulan yang hebat, mengintai nyawa lawan, juga mengeluarkan suara melengking-lengking seperti ditiup dan dimainkan saja.

Yang paling repot di antara gerombolan datuk sesat itu adalah Bhok Gun. Dia diserang dan terus didesak oleh Suma Hui yang kini sudah mengeluarkan senjatanya pula, yaitu sepasang pedang! Padahal tadi, dengan kedua tangan kosong saja ia masih mampu mengatasi pedang lawan. Karena jengkel tak dapat segera mengalahkan lawan, Suma Hui telah mencabut sepasang pedangnya dan kini ia mainkan Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang luar biasa ganasnya.

Bhok Gun amat terkejut dan dia terus didesak mundur oleh lawan. Hal ini sungguh sama sekali di luar perhitungan Bhok Gun. Ketika berangkat, Kim Hwa Nionio begitu yakin bahwa mereka bertujuh akan mampu mengalahkan lawan tanpa perlu bantuan pasukan. Akan tetapi sekarang, ternyata mereka menghadapi tujuh orang lawan yang demikian tangguhnya sehingga mereka semua terdesak. Maka, Bhok Gun segera mengeluarkan suara teriakan tiga kali.

Mendengar ini, Kim Hwa Nionio yang juga sedang terdesak hebat dan maklum bahwa dari teman-temannya ia tidak dapat mengharapkan bantuan karena mereka sendiri pun terdesak, segera bersuit tiga kali.

Teriakan Bhok Gun dan suitan gurunya itu merupakan isyarat untuk segera bergerak bagi pasukan yang bersembunyi di dalam hutan. Terdengar sorak-sorai dan seratus dua puluh orang prajurit keluar dari dalam hutan menuju ke padang rumput. Akan tetapi, pada saat itu, nampak seorang laki-laki tinggi besar berlari-lari mendahului para prajurit ke arah padang rumput dan di belakangnya ikut berlari Hong Beng dan Kun Tek!

Pada waktu tiba di dekat padang rumput, panglima itu dibawa meloncat oleh Hong Beng ke atas sebuah batu besar. Panglima itu kemudian mengeluarkan sebuah sempritan dari saku bajunya dan meniup alat ini berkali-kali. Mendengar itu, para prajurit menahan langkah mereka dan hanya mengurung tempat perkelahian itu, dan semua prajurit itu memandang ke arah orang berpakaian panglima itu dengan bingung.

"Berhenti di tempat! Dilarang bergerak mencampuri perkelahian!"

Mendengar teriakan ini, tentu saja para prajurit tak berani bergerak. Yang mengeluarkan perintah itu adalah Coa-ciangkun, komandan mereka sendiri! Ketika mereka membuat persiapan di dalam hutan tadi, mereka dibagi menjadi beberapa kelompok dan masing-masing kelompok memiliki seorang perwira atau kepala kelompok. Dan kini, para kepala kelompok itu sendiri menjadi bingung dan cepat memberi aba-aba agar anak buahnya jangan bergerak. Mereka terkejut dan merasa heran sekali akan perintah dari komandan mereka itu.

Tentu saja Kim Hwa Nionio menjadi lebih kaget lagi. "Coa-ciangkun, cepat bergerak menangkap pemberontak-pemberontak ini!" teriaknya sambil terus memutar sepasang senjatanya melindungi tubuhnya dari desakan Sim Houw.

"Kim Hwa Nionio, kami tidak melihat adanya seorang pun pemberontak. Mereka adalah para pendekar, keluarga dari para pendekar Pulau Es! Karena perkelahian ini adalah urusan pribadi dan tidak menyangkut pemerintah, kami tidak mau ikut campur tangan. Seluruh pasukan mundur...!"

Sempritan itu ditiupnya beberapa kali sebagai isyarat agar pasukannya mundur. Para perwira juga cepat memberi aba-aba dan pasukan itu pun mundur kembali ke dalam hutan!

Semua ini adalah hasil rencana yang matang dari Tiong Khi Hwesio. Dia sudah dapat menduga bahwa orang-orang licik semacam Kim Hwa Nionio dan Sai-cu Lama, untuk mencari kemenangan, tentu bukan hanya membawa semua temannya, melainkan juga mengandalkan bantuan pasukan pemerintah.

Perhitungannya itu tepat ketika pagi hari itu, para pendekar melihat masuknya pasukan yang seratus orang lebih besarnya ke dalam hutan dengan cara sembunyi. Mereka itu agaknya keluar dari pintu gerbang timur, lalu mengambil jalan memutar ke utara dan memasuki hutan itu dari timur.

Melihat ini, Hong Beng dan Kun Tek segera melaksanakan tugas yang telah diberikan oleh Tiong Khi Hwesio kepada mereka berdua. Dua orang pendekar muda ini menyusup ke dalam hutan, mendekati tempat persembunyian para prajurit.

Ketika mereka melihat betapa Coa-ciangkun sedang memberi perintah dan keterangan serta perintah kepada para pembantunya, mereka hanya terus mengintai saja. Selesai Coa-ciangkun memberi perintah dan pasukan itu sudah dibagi menjadi enam kelompok, masing-masing dikepalai oleh seorang perwira, dan panglima itu mengundurkan diri dan beristirahat ke dalam sebuah pondok darurat yang dibuat oleh anak buahnya, barulah mereka berdua turun tangan.

Dengan kepandaian mereka yang tinggi, mudah saja bagi Hong Beng dan Kun Tek untuk menyergap dan membuat para prajurit yang berjaga di belakang pondok tiba-tiba saja roboh pingsan tanpa mengetahui apa yang menimpa diri mereka. Totokan-totokan yang dilakukan dua orang pendekar itu membuat enam orang prajurit roboh terkulai dan seperti orang tidur saja. Mereka lalu membongkar dinding belakang pondok darurat itu dan masuk ke dalam.

Dapat dibayangkan betapa kaget Coa-ciangkun ketika tiba-tiba ada dua orang pemuda gagah berdiri di depan pembaringannya selagi dia beristirahat. Sebelum dia sempat berteriak, Kun Tek sudah menodongkan sebatang pisau belati ke arah dada pembesar militer itu dan Hong Beng cepat menotok urat gagunya dan membuat tubuh pembesar itu lemas.

Kemudian, dua orang pemuda itu membawa tubuh Coa-ciangkun keluar pondok melalui pintu belakang, dan terus membawanya jauh ke dalam hutan, tempat yang memang sudah mereka persiapkan. Di tempat sunyi ini, Hong Beng membebaskan totokannya sehingga panglima itu dapat bergerak dan bicara kembali.

"Maafkan kami, Coa-ciangkun, akan tetapi kami terpaksa melakukan hal ini terhadap ciangkun, karena kami sedang menghadapi fitnah yang dilakukan oleh Kim Hwa Nionio dan Sai-cu Lama bersama kawan-kawan mereka!"

Setelah merasa dirinya bebas dan dua orang pemuda itu tidak menodongnya lagi, Panglima Coa marah sekali. Dia bukan orang lemah, bahkan orang yang memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup tinggi. Maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu menerjang maju, mengirim pukulan ke arah dada Hong Beng. Pemuda ini tidak mengelak, malah menerima pukulan itu begitu saja.

"Bukkk...!"

Bukan pemuda itu yang roboh, melainkan panglima itu terkejut dan berseru keras sambil meloncat ke belakang. Saat tangannya bertemu dada pemuda itu, ia merasa tangannya sakit dan ada hawa yang amat dingin seperti es menyusup ke dalam tubuhnya melalui tangan yang memukul!

"Siapa... siapa kalian...?!" bentaknya, "dan... apa maksud kalian berbuat kurang ajar seperti ini terhadap aku?"

"Maaf, ciangkun. Harap engkau suka dengarkan dulu baik-baik. Kami tujuh orang adalah pendekar-pendekar yang melihat betapa ada sekelompok datuk kaum sesat kini sedang merajalela di kota raja. Mereka adalah Kim Hwa Nionio, Sai-cu Lama, Sam Kwi dan yang lain-lain. Kami harus menentang mereka dan hari ini kami menantang mereka mengadakan pi-bu di luar hutan ini. Akan tetapi kami tahu bahwa tentu orang-orang sesat itu mengunakan akal jahat, menarik pasukan pemerintah untuk campur tangan dengan tuduhan bahwa kami adalah pemberontak-pemberontak. Karena itu terpaksa kami mendahului, mendatangi ciangkun untuk memperkenalkan diri dan menceritakan hal yang sebenarnya."

Coa-ciangkun adalah seorang pembesar militer yang korup dan ambisius, dan karena inilah maka mudah saja dia diperalat oleh Hou Seng. Tentu saja dia mengerti bahwa Hou Seng mempergunakan datuk-datuk kaum sesat untuk memperkuat kedudukan. Hal itu tidak dia pedulikan karena dianggap bukan urusannya. Yang penting baginya, dia memperoleh banyak hadiah dan janji bahwa kelak kedudukannya akan dinaikkan kalau dia membantu Hou Taijin yang sedang berkembang kekuasaannya itu. Oleh karena itu, mendengar ucapan Hong Beng, dia tidak merasa heran, bahkan memandang dengan sikap tidak peduli, bahkan dia mencurigai Hong Beng.

"Orang muda, mana aku tahu bahwa engkau dan kawan-kawanmu bukan pemberontak-pemberontak. Aku hanya mendengar laporan bahwa ada pemberontak-pemberontak sedang hendak ditangkap oleh Kim Hwa Nionio dan teman-temannya, maka aku hendak menangkap mereka dengan kekuatan pasukanku."

"Tentu saja ciangkun juga telah kena dikelabui. Tahukah ciangkun bahwa kami bertujuh dipimpin oleh seorang hwesio tua?"

"Ya, menurut laporan, para pemberontak ini dipimpin oleh seorang hwesio tua yang bernama Tiong Khi Hwesio."

"Hemm, ciangkun adalah seorang panglima yang sudah lama bertugas, tentu mengenal pula catatan sejarah dan riwayat para panglima besar di kota raja yang setia kepada kaisar dan pemerintah. Tentu ciangkun pernah pula mendengar nama Puteri Milana, bukan? Apakah ciangkun mau berpura-pura tidak mengenal pada puteri dari mendiang Pendekar Super Sakti dari Pulau Es itu? Dan kenalkah akan nama Puteri Nirahai?"

Coa-ciangkun menelan ludah dan mukanya berubah ketika dia menatap wajah pemuda itu. "Tentu... tentu aku mengenal nama Puteri Nirahai dan... ketika masih muda sekali pernah aku melihat Puteri Milana memimpin pasukan. Gagah sekali, akan tetapi apa hubungannya dengan ini semua?"

"Sabarlah, ciangkun dan dengarkan ceritaku. Ciangkun tahu bahwa yang memimpin kami bertujuh adalah Tiong Khi Hwesio dan hwesio tua itu bukan lain adalah Pendekar Jari Maut Wan Tek Hoat, cucu tiri Pendekar Super Sakti, suami Puteri Syanti Dewi dari Bhutan."

"Ahhh...!" panglima itu terkejut.

"Nah, apakah ciangkun masih percaya bahwa tujuh orang yang dipimpin oleh pendekar Wan Tek Hoat yang kini telah menjadi seorang pendeta itu, para pendekar budiman dan gagah perkasa itu benar-benar hendak memberontak? Hanya tujuh orang dan hendak memberontak? Apakah itu masuk di akal?"

Panglima itu mulai merasa bimbang. "Aku... aku tidak tahu..."

"Dan ketahuilah pula, bahwa di antara kami yang dianggap pemberontak ini, terdapat pula bekas Panglima Kao Cin Liong! Tentu ciangkun juga belum lupa dengan nama besarnya...!"

Panglima Coa menjadi semakin gelisah. Tentu saja dia mengenal Kao Cin Liong yang sudah lama mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai panglima. Namun Panglima Kao itu terkenal jujur dan bersih sehingga tidak disuka di antara rekan-rekannya.

"Dan mereka semua, ketujuh orang yang akan mengadakan pi-bu dengan Kim Hwa Nionio dan kawan-kawannya, semua adalah anggota keluarga Pulau Es."

"Hemm, engkau sendiri agaknya seorang di antara mereka dari Pulau Es, bukan?" Panglima itu bertanya.

Hong Beng mengangguk. Memang tadi dia sengaja menerima pukulan dari panglima ini untuk mendemonstrasikan kekuatan Swat-im Sinkang dari Pulau Es.

"Guru saya adalah cucu dari Pendekar Pulau Es, ciangkun."

"Hemm, kalau begitu, apa yang kalian kehendaki?"

"Kami mengharap kebijaksanaan Coa-ciangkun agar menarik mundur pasukan, agar tidak mencampuri pi-bu antara kami dan para datuk sesat itu."

Coa-ciangkun mengerutkan alis. Mana mungkin hal ini dilakukan? Kalau dia melakukan hal itu, tentu Hou Seng akan marah kepadanya. Bukankah Kim Hwa Nionio dan kawan-kawannya itu merupakan para pembantu yang amat dipercaya oleh Hou Taijin? Dia menggeleng kepala beberapa kali.

"Tidak mungkin aku melakukan hal itu. Sudah menjadi kewajibanku untuk membasmi pemberontak. Kalau aku tidak setia kepada kewajibanku, berarti aku berdosa besar dan mendapat hukuman."

Hong Beng mengerutkan alisnya dan mencoba membantah. "Akan tetapi, ciangkun sama sekali tidak dapat melihat bukti bahwa kami memberontak terhadap pemerintah. Kami hanya menentang para datuk kaum sesat yang merajalela di kota raja!"

"Aku tidak tahu akan hal itu. Mereka itu adalah pembantu-pembantu Hou Taijin..."

Tahulah Hong Beng bahwa panglima ini sudah menjadi antek Hou Taijin, maka dia segera berkata dengan nada suara tegas. "Kalau ciangkun tidak mau memenuhi permintaan kami dengan baik, terpaksa kami akan membunuh ciangkun!"

"Hong Beng, bunuh saja dia ini! Dia tentu antek Hou Seng dan sedang merencanakan pemberontakan terhadap kaisar!" Kun Tek juga berkata dengan sikap mengancam.

Orang seperti Panglima Coa ini hanya galak terhadap bawahannya atau terhadap rakyat jelata yang tidak mampu melawan saja. Kalau dia sendiri menghadapi ancaman dan berada dalam keadaan tak berdaya, kekuasaan dan anak buahnya tidak lagi mampu melindunginya, dia berubah menjadi seorang penakut dan pengecut.

Orang yang paling kejam sebetulnya adalah orang yang menyembunyikan rasa takut yang besar sekali di dalam batinnya. Melihat betapa dua orang pemuda yang dia tahu amat lihai ini bersikap hendak membunuhnya, Coa-ciangkun segera menjadi ketakutan. Wajahnya berubah pucat dan tubuhnya gemetar.

"Jangan kira kami akan kalah kalau kau tidak mau memenuhi permintaan kami!" bentak Hong Beng. "Kami dapat membunuhmu, kemudian kami masih mempunyai waktu cukup untuk membunuh enam orang perwira pembantu itu, barulah kami akan mengamuk membunuhi pasukan yang tentu akan kacau karena kehilangan pimpinan itu. Kami tidak melakukan hal itu, justru karena kami bukan pemberontak dan kami juga tidak mau menyusahkan pasukan pemerintah. Nah, cepat kau pilih sekarang juga!"

Ucapan itu merupakan desakan yang membuat Coa-ciangkun tidak berdaya lagi. Dia tahu bahwa orang-orang kang-ouw ini berbahaya sekali. Membunuh atau dibunuh bagi mereka tidak ada artinya, seperti para prajurit yang maju perang.

"Baiklah," akhirnya dia berkata sambil menundukkan muka, seperti tunduknya hati yang sudah tidak mampu mencari jalan keluar lagi. Dia terpaksa melakukan ini, dan tentang akibatnya dengan Hou Taijin, itu urusan nanti dan dia baru akan mencari jalan keluarnya kalau saatnya sudah tiba.

Demikianlah, Hong Beng dan Kun Tek lalu membawa pembesar militer itu mendekati padang rumput, sambil bersembunyi. Ternyata perkelahian pibu itu sudah dimulai dan ketika Bhok Gun dan Kim Hwa Nionio memberi isyarat kepada pasukan yang bergerak maju, dua orang pendekar muda itu kemudian membawa Coa-ciangkun keluar. Karena terpaksa, Coa-ciangkun meneriakkan perintahnya agar pasukannya itu tidak bergerak lalu mengundurkan diri.

Tentu saja peristiwa ini sama sekali tidak pernah disangka-sangka oleh Kim Hwa Nionio dan kawan-kawannya. Mereka terkejut bukan main dan sekaligus menjadi gelisah. Pasukan itu mundur ke dalam hutan dan mereka tidak terlindung pasukan lagi! Pada hal, mereka semua terdesak dengan hebat oleh pihak lawan.

"Coa-ciangkun, engkau akan dihukum gantung oleh Hou Taijin atas perbuatanmu ini...!"
Kim Hwa Nionio berteriak marah, akan tetapi kemarahannya yang ditujukan kepada Coa-ciangkun inilah yang mencelakakannya.

Ia sudah terdesak hebat oleh suling dan pedang di tangan Sim Houw, dan karena ia marah-marah dan meneriakkan kata-kata itu kepada Coa-ciangkun sambil menoleh ke arah batu besar di mana panglima itu berdiri, berarti dia membagi perhatiannya, dan kelengahan sedikit saja membuat Sim Houw melihat lowongan yang baik sekali.

"Singgg... srattt...!"

Darah muncrat dan Kim Hwa Nionio terpekik. Liong-siauw-kiam terlepas dari tangan kanannya dan Sim Houw sudah cepat menyambar pedang pusaka itu dengan suling emasnya. Pedang pusaka itu dapat ditempel suling dan ditariknya, lalu dipegangnya dengan tangan kiri sambil menyimpan suling emas.

Kim Hwa Nionio terbelalak melihat lengan kanannya. Ujung pedang Koai-liong Po-kiam tadi dengan kecepatan seperti kilat melihat lowongan dan sudah menyambar ke arah lengan kanan, membuat putus urat nadi lengan kanannya sehingga darahnya muncrat-muncrat keluar.

Kim Hwa Nionio menotok lengan kanannya untuk menghentikan jalan darah, kemudian sambil mengeluarkan teriakan melengking saking marahnya, ia menggunakan kebutan di tangan kiri untuk menyerang Sim Houw dengan membabi-buta. Akan tetapi, kalau tadi saja ketika ia masih menggunakan dua senjata, ia selalu terdesak oleh Sim Houw, apa lagi sekarang setelah lengan kanannya tak dapat dipergunakan lagi untuk menyerang!

Dengan mudah saja Sim Houw mengelak, lalu nampak sinar berkelebat menyilaukan mata ketika Koai-liong Po-kiam meluncur dan membabat. Nampak bulu-bulu kebutan itu berhamburan karena terbabat putus dan selagi nenek itu terhuyung, Liong-siauw-kiam sudah bergerak di tangan kiri Sim Houw.

"Tukkk...!"

Nampaknya ujung Liong-siauw-kiam itu hanya menyentuh sedikit saja belakang kepala nenek itu sebelah kiri, akan tetapi akibatnya sungguh hebat. Nenek Kim Hwa Nionio mengeluarkan jeritan mengerikan dan tubuhnya terjengkang dan terbanting ke atas tanah, dan tubuh itu diam tak bergerak lagi.

Kiranya ujung pedang pusaka Suling Naga itu telah membikin retak bagian kepala itu dan merusak isi kepala sehingga nenek itu pun tewas seketika setelah mengeluarkan jeritan itu. Kebutan buntungnya masih tergenggam di tangan kirinya. Nenek ini, bagai mana pun juga tewas sebagai seorang gagah, tidak pernah menyerah sampai maut merenggut nyawanya.

Jeritan nenek yang mengantar nyawanya itu disusul pekik yang keluar dari mulut Bhok Gun. Sejak tadi, di antara tujuh orang di masing-masing pihak, Bhok gun yang paling repot keadaannya. Tingkat kepandaian lawannya, yaitu Suma Hui, masih lebih tinggi dengan selisih yang lumayan. Maka sejak bentrokan pertama terjadi, Bhok Gun selalu terdesak dan lebih banyak menangkis dari pada menyerang.

Ketika mendengar teriakan Coa-ciangkun yang memerintahkan pasukannya mundur, wajahnya menjadi pucat sekali, dan jeritan gurunya benar-benar merupakan pukulan hebat baginya. Tubuhnya seketika menjadi lemas dan ia tak mampu lagi menghindarkan benturan pedangnya dengan pedang kiri Suma Hui yang langsung membuat pedangnya menyeleweng dan terpental, kemudian tahu-tahu pedang kanan lawan telah menembus dadanya. Dengan teriakan panjang dia pun roboh dan nyawanya melayang, menyusul nyawa subo-nya.

Kematian dua orang ini tentu saja mendatangkan perasaan tidak tenang dan gelisah dalam dada Bi Kwi, Sam Kwi dan bahkan Sai-cu Lama sendiri. Di antara mereka, hanya Sai-cu Lama dan Bi Kwi yang dapat mengimbangi permainan lawan, sedangkan tiga orang Sam Kwi itu harus mengakui bahwa lawan mereka adalah orang-orang yang sakti dan mereka merasakan betapa beratnya menandingi mereka.

"Sai-cu Lama, kembalikan Ban-tok-kiam milik keluarga Gurun Pasir itu!" Sim Houw yang sudah mengembalikan pedang dan suling kepada Kun Tek kini maju menerjang Sai-cu Lama dengan Liong-siauw-kiam, membantu Tiong Khi Hwesio.

Diserang oleh senjata pusaka itu dari samping, Sai-cu Lama terkejut karena serangan dengan pedang pusaka itu selain mengandung tenaga sinkang yang amat kuat, juga mengeluarkan suara lengkingan nyaring seolah-olah ada suling ditiup dekat telinganya dan mengguncang jantungnya. Suara itu pun mengandung khikang yang amat hebat! Dia cepat menggerakkan Ban-tok-kiam menangkis.

"Cringggg...!" Nampak bunga api berhamburan ketika Ban-tok-kiam bertemu dengan Liong-siauw-kiam.

"Bagus! Kalian ini pendekar macam apa? Main keroyok!" bentak Sai-cu Lama dengan sikap congkak untuk menutupi kegelisahannya, matanya sudah liar mencari-cari jalan keluar untuk melarikan diri.

"Ingat, Sai-cu Lama. Yang melakukan tantangan adalah aku dan locianpwe Tiong Khi Hwesio terhadap Kim Hwa Nionio dan engkau, jadi boleh saja aku maju melawanmu dan membantu locianpwe ini karena lawanku sudah tewas." Dan Sim Houw melanjutkan serangannya.

"Omitohud..., memang sudah tiba saatnya engkau harus menyerah, Sai-cu Lama. Ucapan Pendekar Suling Naga itu benar, dan pinceng tidak malu harus mengeroyokmu agar engkau cepat takluk!"

Tiong Khi Hwesio juga menyerang dengan pedang pusakanya, Cui-beng-kiam yang ampuh itu. Hwesio tua ini maklum bahwa andai kata dia akan menang pun, akan makan waktu banyak sekali untuk menundukkan Lama yang menyerang Ban-tok-kiam. Akan tetapi, kalau seorang pendekar muda sakti seperti Sim Houw itu maju membantunya, pihak lawan tentu takkan dapat bertahan lama.

Sai-cu Lama tidak melihat adanya lowongan untuk melarikan diri. Melarikan diri dari dua orang lawan yang sakti itu berarti bunuh diri, maka dia pun mengamuk dan melawan mati-matian dan sekuat tenaga. Tentu saja sekarang dia harus bergerak lebih cepat dan mengalurkan tenaga lebih banyak dari pada dua orang yang mengeroyoknya. Karena itu, sebentar saja tubuhnya sudah penuh dengan keringat, napasnya memburu dan dari kepalanya yang gundul itu keluar uap tebal!

Setelah merobohkan lawannya, Suma Hui membalikkan tubuhnya dan melihat betapa suaminya, Kao Cin Liong masih terlibat dalam perkelahian yang amat seru melawan kakek cebol Im-kan Kwi atau Iblis Akhirat, wanita yang gagah ini mengeluarkan suara melengking nyaring dan ia pun menerjang ke dalam perkelahian itu.

"Haiiiittt...!"

Sepasang pedang di tangannya sudah berubah menjadi dua sinar bergulung-gulung yang menyambar-nyambar ke arah kepala dan tubuh Iblis Akhirat. Tentu saja orang pertama dari Sam Kwi ini terkejut bukan main. Menghadapi Kao Cin Liong saja dia sudah merasa repot dan terdesak terus, makin lama dia merasa tubuhnya semakin lemah dan lelah sedangkan lawannya nampak masih segar. Kini, isteri lawannya yang memainkan sepasang pedang dengan amat ganasnya ikut maju mengeroyok! Tentu saja dia menjadi panik dan gerakannya kacau. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kao Cin Liong utuk mengirim sebuah tendangan ke arah perut kakek cebol itu.

"Dukkk...!"

Iblis Akhirat yang juga seorang ahli tendangan Pat-hong-twi itu, berhasil menangkis tendangan itu dengan kakinya, akan tetapi pada detik yang sama, pedang di tangan kiri Suma Hui 'masuk' dan menyayat paha kakinya.

"Srattt...!" Darah mengucur deras dari celana dan kulit paha yang robek.

Iblis Akhirat terkejut, golok Toat-beng Hui-to yang hanya dapat digunakan dalam jarak jauh, kini dibabatkan ke arah perut Suma Hui, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah selangkangan Kao Cin Liong. Hebat memang orang pertama dari Sam Kwi ini.

Dalam keadaan terluka itu, dia masih mampu sekaligus membagi serangan kepada dua orang lawannya. Dan serangan berganda ini pun sama sekali tidak boleh dipandang ringan karena kalau mengenai sasaran, tentu dua orang lawannya itu akan roboh tewas! Akan tetapi, tentu saja suami isteri keturunan Gurun Pasir dan Pulau Es itu tidak mudah dirobohkan oleh lawan yang sudah terdesak.

"Tranggg...!"

Golok itu dibabat oleh pedang sedemikian kerasnya sehingga patah, dan tangan yang mencengkeram itu pun dapat ditangkis oleh Cin Liong yang menyusulkan tamparan ke arah kepala. Dan pada saat yang sama, sepasang pedang di tangan Suma Hui telah melakukan gerakan menggunting, satu ke arah kaki dan satu ke arah pinggang! Dalam detik yang sama, tubuh Iblis Akhirat menghadapi serangan ke arah kepala, pinggang dan kakinya. Dia terkejut dan dengan gugup berusaha meloncat ke belakang. Namun kurang cepat.

"Prokk!" Iblis Akhirat tidak sempat mengeluh karena kepalanya retak terkena tamparan tangan Cin Liong dan tubuhnya terlempar lalu terbanting jatuh tanpa dapat bergerak kembali!

Suma Hui yang seperti seekor naga betina haus darah, begitu lawan ke dua ini tewas, ia sudah menerjang lagi memasuki perkelahian antara Iblis Mayat Hidup dan Kam Bi Eng. Sepasang pedangnya bergulung-gulung mengurung tubuh Iblis Mayat Hidup yang menjadi terkejut karena sejak tadi dia pun sudah repot menghadapi suara suling emas yang melengking-lengking dan yang membawa sinar-sinar maut itu dari lawannya, Kam Bi Eng.

Melihat betapa Suma Hui menerjang maju membantunya, Kam Bi Eng lalu berseru, "Enci Hui, kuserahkan tengkorak ini kepada enci dan cihu (kakak ipar) berdua, aku mau membantu suamiku!" Berkata demikian, Kam Bi Eng meloncat keluar dari perkelahian itu dan langsung menubruk ke arah Raja Iblis Hitam yang sedang berkelahi melawan suaminya, Suma Ceng Liong.

Sebenarnya, kalau dia menghendaki, Suma Ceng Liong sudah akan dapat merobohkan lawannya sejak tadi. Tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi dari lawannya. Namun pendekar ini memang sengaja mempermainkan lawannya. Betapa pun juga, tiada niat membunuh lawan dalam hatinya.

Tapi tiba-tiba isterinya masuk dan mengirim serangan dahsyat ke arah Raja Iblis Hitam yang menjadi kaget dan terhuyung ke belakang. Maka dia pun menerjang maju lagi membantu isterinya yang tentu saja membuat Hek-kwi-ong si Raja Iblis Hitam menjadi semakin repot dan terdesak.

Kao Cin Liong juga tidak membiarkan isterinya maju sendiri melawan Iblis Mayat Hidup. Dia pun membantu isterinya sehingga kedua orang Sam Kwi yang masih tinggal itu menjadi repot bukan main menghadapi pengeroyokan suami isteri pendekar itu. Baik Raja Iblis Hitam mau pun Iblis Mayat Hidup sama sekali bukan lawan suami isteri yang maju bersama itu. Dalam waktu belasan jurus saja, Raja Iblis Hitam roboh oleh pukulan suling di tangan Kam Bi Eng, sedangkan Iblis Mayat Hidup roboh oleh tusukan pedang Suma Hui!

Sam Kwi sudah tewas, dan sekarang tinggal Bi-kwi dan Sai-cu Lama saja yang masih mempertahankan diri.

Ketika Hong Beng hendak membantunya, Bi Lan berseru nyaring, "Jangan bantu aku, biarkan aku sendiri yang membuat perhitungan dengan Bi-kwi!"

Karena teriakan ini maka para pendekar hanya nonton saja, dan biar pun mereka tidak ada yang membantu karena teriakan itu, namun mereka bersiap-siap untuk melindungi Bi Lan kalau sampai terancam. Betapa pun juga, Bi-kwi merupakan lawan yang berat bagi Bi Lan karena mereka berdua itu memiliki tingkat yang seimbang.

Sementara itu, Sai-cu Lama menjadi semakin lemah. Beberapa kali dia terhuyung dan Sim Houw yang ingin merampas Ban-tok-kiam, mempergunakan kesempatan itu untuk menerjang dengan Liong-siauw-kiam di tangannya. Senjata pusaka ini mengancam kepala lawan dan pada saat yang sama, tangan Tiong Khi Hwesio mencengkeram ke arah pusar. Sai-cu Lama yang sudah kerepotan itu menangkis cengkeraman dengan tangan kiri sedangkan pedang Ban-tok-kiam menyambut serangan Liong-siauw-kiam.

"Cringgg... tukk...!"

Pertemuan pedang pusaka itu disusul totokan yang dilakukan cepat sekali oleh Sim Houw, tepat mengenai pundak kanan Sai-cu Lama. Biar pun tubuh Sai-cu Lama kebal dan totokan itu hanya membuat lengan kanannya kesemutan sebentar, namun ini cukup bagi Sim Houw untuk merenggut dan merampas pedang Ban-tok-kiam dari tangan yang dalam beberapa detik kesemutan dan kehilangan tenaga itu! Pada saat Ban-tok-kiam terampas, kaki Tiong Khi Hwesio menendang, tepat mengenai lutut Sai-cu Lama dan pendeta ini pun roboh!

"Ha-ha-ha, Tiong Khi Hwesio, engkau menang dengan keroyokan. Sekarang apa yang hendak kau lakukan kepadaku?" Sai-cu Lama yang sudah tak berdaya itu masih tertawa mengejek.

"Pinceng akan membawamu ke Tibet supaya diadili oleh para pimpinan Dalai Lama," jawab Tiong Khi Hwesio.

"Ha-ha-ha, kau hanya akan dapat membawa mayatku!"

Tiba-tiba saja, sebelum ada orang mampu mencegahnya, tangan kanan pendeta Lama itu bergerak ke arah kepalanya sendiri dan jari-jari tangannya sudah mencengkeram dan amblas ke dalam kepalanya. Dia mengeluarkan pekik dahsyat dan tewas seketika dengan kelima jari tangannya masih terbenam ke dalam kepalanya. Darah dan otak mengalir keluar dari jari jari tangan yang masih menancap itu. Mengerikan!

"Lan-moi, terimalah kembali pedangmu!" Sim Houw berkata sambil menyusup masuk dalam perkelahian antara Bi Lan dan Bi-kwi.

Bi Lan menyambut pedang Ban-tok-kiam dengan girang. Sekarang dia seperti seekor harimau betina yang tumbuh sayap. Begitu pedang berada di tangannya dan diputarnya, Bi-kwi nampak terkejut dan jeri. Akan tetapi tiba-tiba saja Bi-kwi menjatuhkan dirinya berlutut di depan Bi Lan!

Wanita ini melihat betapa enam orang yang lain telah tewas. Melanjutkan perkelahian tidak ada gunanya lagi. Menghadapi Bi Lan saja sejak tadi ia tidak mampu menang. Setiap kali gadis itu mengeluarkan ilmu yang didapatnya dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, Bi-kwi selalu menjadi bingung dan terdesak. Maka, ketika Bi Lan menerima Ban-tok-kiam dari Sim Houw, Bi-kwi maklum bahwa kalau ia melanjutkan perkelahian, ia tentu akan roboh di tangan bekas sumoi-nya sendiri. Maka ia pun mempergunakan siasat, tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut.

"Sumoi, jika kau mau melupakan hubungan lama dan hendak membunuhku, bunuhlah!" katanya. Wanita ini sudah mengenal betul watak sumoi-nya ini. Di balik kekerasan hati dan keberanian Bi Lan, tersembunyi watak yang halus dan mengenal budi.

Melihat bekas suci-nya berlutut di depan kakinya, Bi Lan menjadi bengong. Dia pun teringat betapa bagaimana pun juga, selama bertahun-tahun wanita inilah yang sudah mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepadanya, mewakili Sam Kwi. Biar pun kemudian Bi-kwi menyelewengkan ajaran-ajaran itu, namun harus diakuinya bahwa ia mempelajari banyak dari Bi-kwi.

Apa lagi kalau diingat bahwa ketika ia berada di ambang kehancuran, tertawan oleh Sam Kwi dan hendak dijadikan mangsa mereka, Bi-kwilah yang menyelamatkannya dan membebaskannya. Semua ini terbayang di dalam ingatannya dan Bi Lan menjadi lemas.

"Bangkit dan pergilah dari sini. Selamanya jangan sampai jumpa dengan aku lagi," kata Bi Lan.

Bi-kwi bangkit, dia hampir tidak percaya. Ia memandang kepada Bi Lan dengan bibir mengulum senyum, hatinya mengejek, akan tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi, dengan muka tunduk ia lalu pergi dari situ. Para pendekar memandang saja, tidak ada yang berani mencampuri, walau pun diam-diam merasa heran bagaimana Bi Lan membiarkan seorang wanita sejahat itu bebas.

"Omitohud... suatu tindakan yang amat bijaksana," tiba-tiba terdengar Tiong Khi Hwesio berseru kagum. "Sudah terlalu banyak orang yang mati terbunuh, mengerikan sekali!" Dia memandang kepada enam mayat yang berserakan di situ dan semua orang pun ikut memandang.

Akan tetapi tidak ada seorang pun di antara para pendekar itu yang merasa menyesal. Orang-orang seperti Sam Kwi, Sai-cu Lama, Kim Hwa Nionio dan muridnya itu, kalau tidak disingkirkan dari dunia, tentu hanya akan memperbanyak jumlah perbuatan jahat saja dan membikin banyak orang tak berdosa menderita oleh perbuatan mereka.

Hanya dua orang yang kelihatan menyesal dan bingung. Mereka adalah Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. "Mereka telah tewas, akan tetapi... di mana adanya anak kami yang diculik oleh Sai-cu Lama?"

Tiba-tiba terdengar suara yang besar dan tegas, "Jangan khawatir, anak kalian selamat, berada di sini bersamaku!"

Semua orang menengok dan dari dalam hutan keluarlah seorang kakek tua renta yang menggandeng dua orang anak perempuan di kanan kirinya. Seorang di antara dua anak perempuan itu adalah Suma Lian.

"Ayah...! Ibu...!" Suma Lian berlari menghampiri orang tuanya yang menyambutnya dengan rangkulan dan ciuman penuh kegembiraan dan keharuan.

"Ayah, tahukah ayah siapa kakek yang menyelamatkan aku ini?" Suma Lian berlari dan menggandeng tangan kakek tua renta yang datang menghampiri sambil menuntun anak perempuan kedua sambil tersenyum.

Suma Ceng Liong dan isterinya memandang, juga semua orang memandang.

"Omitohud!" Tiong Khi Hwesio berseru paling dulu. "Locianpwe sudah meninggalkan Beng-san dan hidup merantau dalam pakaian pengemis? Sungguh aneh sekali dan amat mengherankan!"

Kakek yang kini memakai nama julukan Bu-beng Lo-kai itu tersenyum. "Tidak begitu mengherankan seperti melihat engkau, mantu raja ini, sekarang malah menjadi seorang hwesio!" Dan dua orang kakek itu pun tertawa.

Mendengar bahwa kakek berpakaian pengemis itu datang dari Beng-san, Suma Ceng Liong sangat terkejut. "Dari Beng-san...?" Serunya. "Apakah... locianpwe ini... paman... paman..." Dia masih ragu-ragu untuk menyebutkan nama orang itu.

"Ayah, kakek ini adalah suami nenek Milana!"

"Benar, dia paman Gak Bun Beng!" Seru Suma Hui dan ia bersama Suma Ceng Liong segera memberi hormat kepada kakek berpakaian jembel itu.

Kakek itu tertawa dan memandang kepada Tiong Khi Hwesio. "Agaknya keadaanku tidak jauh bedanya dengan dia yang kini telah menjadi hwesio itu. Nama lama itu sudah hampir kulupa, namaku sekarang adalah Bu-beng Lo-kai, nama yang diberikan oleh Suma Lian kepadaku, ha-ha-ha. Dan engkau, hwesio yang baik, siapakah namamu?"

Tiong Khi Hwesio menjura dengan hormat. "Nama pinceng adalah Tiong Khi Hwesio."

Kakek jembel itu kini memandang kepada Suma Lian. "Nah, Suma Lian, engkau sudah bertemu dengan orang tuamu. Bagaimana sekarang? Aku akan segera pergi bersama Li Sian."

"Enci Lian, mari kita pergi!" kata Li Sian.

Suma Lian memandang kepada ayah ibunya. "Ayah dan ibu, bolehkah aku ikut dengan kakek untuk belajar ilmu silat?"

Suami isteri itu saling pandang. Tentu saja mereka merasa berat untuk berpisah dari anak satu-satunya ini. Akan tetapi mereka pun merasa sungkan terhadap kakek itu jika hanya melarang begitu saja. Ceng Liong lalu bertanya kepada Bu-beng Lo-kai.

"Benarkah bahwa paman ingin mengajak Suma Lian untuk dibimbing dalam ilmu silat?"

Bu-beng Lo-kai tersenyum. "Usiaku tidak berapa banyak lagi dan memang aku ingin meninggalkan semua ilmu yang pernah kupelajari kepada Suma Lian dan Li Sian, kalau saja kalian tidak menaruh keberatan."

Semakin tidak enak rasa hati Suma Ceng Liong kalau dia harus melarang, maka dia mengharapkan bantuan anaknya. "Lian-ji, di rumah engkau dapat belajar ilmu silat dari ayah ibumu. Kenapa engkau ingin ikut paman Gak?"

"Ayah, aku suka sekali kepada kakek Bu-beng Lo-kai, juga aku suka sekali kepada Li Sian. Aku ingin ikut dia merantau, menjelajahi dunia sambil berlatih silat bersama adik Li Sian. Ayah, aku tidak akan melupakan ayah dan ibu, dan setelah selesai belajar, tentu aku akan pulang lagi."

Suami isteri itu saling pandang. Kakek itu menghendakinya, bahkan tadi dengan suara memohon seolah menyatakan keinginannya untuk mewariskan ilmu-ilmunya pada Suma Lian, dan anak itu sendiri pun menginginkannya. Tentu akan janggal sekali rasanya jika mereka melarang.

Mereka adalah pendekar-pendekar dan di waktu masih kecil dan masih muda, itulah saatnya bagi seorang pendekar untuk menerima gemblengan-gemblengan dalam hidup, menderita kesukaran-kesukaran dan pengalaman-pengalaman berbahaya. Semua itu telah mereka alami dahulu di waktu mereka masih muda.

Tentu saja mereka tidak ingin puteri mereka menjadi lemah dan luput dari pengalaman-pengalaman yang amat diperlukan itu. Maka mereka pun menyetujui dan Kam Bi Eng menahan air matanya ketika ia dan suaminya mengikuti bayangan anak mereka yang digandeng pergi oleh kakek tua renta itu, bersama seorang anak perempuan lain, puteri keluarga Pouw yang juga telah menderita musibah yang amat hebat.

Para pendekar yang tadi terlibat dalam perkelahian, kini di bawah pimpinan Tiong Khi Hwesio sibuk melakukan penguburan atas semua mayat bekas lawannya. Kemudian mereka pun bubar dan meninggalkan tempat itu yang kembali menjadi sunyi-senyap seperti biasanya. Peristiwa hebat itu, perkelahian antara datuk-datuk sesat dan para pendekar, hanya ditandai dengan adanya sebuah makam baru di tepi hutan itu.....

*****

SULING NAGA (seri ke 12 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang