Chapter 14.

1.1K 167 0
                                    

Sekali lagi aku benar-benar diberitahu bahwa, tak satupun yang kuketahui mengenai duniaku sendiri. Setelah sekian kali terjatuh dan ditinggalkan, akhirnya aku berada pada titik paling dasar.

Menangis sendirian tanpa ingin menerima kenyataan. Rasanya aku ingin berteriak sekuat tenaga, menyuarakan ketidak adilan sampai aku mendapatkannya.

Duduk di atas tebing tinggi saat matahari sama sekali belum menampakkan diri dengan airmata yang tidak bisa berhenti dan isakan kecil, sambil berharap bahwa ayah dan ibuku akan muncul dari dalam air; sama sekali tidak pernah kubayangkan.

Sekali lagi aku pikir aku akan terus hidup di desa Danji bersama ayah dan ibu sampai nanti. Tapi kenapa, kenapa tak satupun harapanku yang bisa menjadi nyata.

Sonwoo teman kecilku, Jungi, Ayah dan ibu; rumahku, tempatku pulang. Semuanya pergi, meninggalkan aku dalam kubangan luka yang sama.

Sakit. Sakit. Sakit. Hatiku tidak pernah baik-baik saja. jadi tolong, ayah- ibu; tolong muncullah dari dalam air lalu katakan semua ini hanya lelucon.

Tubuhku tetap kedinginan meski bibi Soyeon dan Nenek memelukku sangat kuat sejak beberapa jam sebelumnya,

aku terbangun karena mimpi buruk dan berniat mencari keberadaan ibu. Namun belum sempat aku menemukan ibu, nenek sudah lebih dulu menghampiriku dengan wajah khawatir yang kentara. Nenek bilang ayah dan ibu belum pulang dari sore, sementara ini sudah lewat tengah malam.

Subuh itu, rumah begitu kacau dengan bibi Soyeon yang sudah hendak bergegas menuju pantai.

Jantungku berdetak sangat kencang seiring kaki kami yang semakin mendekati laut, namun melemah seketika saat menemukan dua pasang jejak kaki yang tampak menuju tebing tinggi di atas sana.

Sejenak aku mematung, berusaha memproses apa yang ku lihat. Hati kecilku menepis segala kemungkinan sebelum napasku memburu.

Beberapa saat yang terasa terhenti membuatku bergerak tanpa menunggu lagi, aku langsung berlari ke atas tebing. Lalu bayangan mimpi burukku beberapa hari ini terputar tanpa diperintah: tentang bunga crysan, tentang Sonwoo, tentang tebing itu bersama ayah dan ibu.

Sungguh, aku ingin mati saja saat melihat topi ayah tergeletak di sana. Aku terduduk di sana bersama dengan teriakan bibi Soyeon yang melengking dan nenek yang terdiam tanpa kata.

Aku.

Tidak tahu, harus berbuat apa.

Semuanya terasa tidak nyata saat kapal selam berkeliaran di bawah sana, tapi juga tidak dapat aku tepis saat suara bergetar bibi Soyeon yang sedang menghubungi bantuan.

Sampai matahari muncul dengan begitu ceria, ayah dan ibu dipastikan melompat dari atas tebing atau salah satu yang melompat, lalu satunya lagi menyusul.

Aku tidak terima. Aku benar-benar berharap bahwa darah yang tertinggal pada batu karang di bawah sana, bukan darah ayah atau ibu.

Bahkan sampai semua hyungku ada di sana dan merengkuhku satu per satu, aku masih tidak bisa menerima kenyataan ini.

Aku tetap berada di sana, tidak bergerak dengan harapan yang semu. Yang tidak tampak terkejut di sana adalah Nenek, dia tampak sudah merelakan semua ini. Seolah dia tahu hari ini akan tiba.

Berjam-jam petugas menyelam, sampai beberapa waktu yang membuat aku benar-benar hancur: aku melihat semuanya, bagaimana ayah dan ibu diangkat ke daratan tanpa ada sekedar tanda-tanda kehidupan yang bersama mereka.

Aku tersenyum, aku tahu ini hanya becandaan. Tapi perasaan itu berubah saat bibi Soyeon mengatakan bahwa mereka benar-benar tidak bernyawa lagi.

Ayah dan ibu benar-benar melompat dari tebing.

Setelahnya aku tidak tahu apa yang terjadi, karena duniaku gelap; sesuatu yang berubah menjadi kesukaanku dan berharap tidak akan pernah bisa terbangun untuk melihat kenyataan.

Aku.

Tidak siap melihat kenyataan.

Tidak mau.

Tidak akan pernah mau.
Tetapi mau bagaimana, hari itu benar-benar nyata.

Saat aku terbangun, hal itu tetap kenyataan, rumahku telah pergi. Ayah dan ibu tidak akan pernah pulang lagi.

Memakai pakaian serba hitam dan menghadiri pemakaman orangtuaku; benar-benar tidak ingin kuanggap sebagi kenyataan. Aku ingin tidur selama-lamanya, tidak ingin terbangun.

Bagaimana bisa, hidupku hanya terjungkir dalam semalam.

Kuhantamkan kepala ke dinding, seirama dengan detak jantung yang seolah meronta minta berhenti, berharap akan mendapat kesadaran dari mimpi buruk ini. Tapi tidak ada rasanya, meski aku melakukannya dengan kuat.

Lalu aku bisa merasakan satu tangan menyentuh kepala bagian belakangku, menghalau hantaman yang sengaja kulakukan sendiri, dia Yoongi Hyung. Aku tetap melihat dia tetap di sana untuk menemaniku.

Sementara bibi Soyeon ;keadaannya sangat kacau, dengan nenek yang menenangkannya.

Tidak ada yang benar-benar ingin aku ingat tentang hari itu, semuanya berlalu oleh waktu. Aku ingin tidak percaya, tapi rasa sakitnya tetap terasa.

Memikirkannya membuat airmata kembali menetes lagi, tiba-tiba saja aku suka mengenang banyak hal yang sudah berlalu: tentang betapa menyenangkannya digendong di pundak oleh ayah, bermain bola bersama ayah, lalu suara merdu ibu yang menyanyikan baby island, entah bagaimana kenangan menyenangkan itu sekarang berubah menjadi sangat menyakitkan kala diingat.

Aku pikir, hal yang paling buruk adalah ketika semua hal menyenangkan malah berubah jadi menakutkan dan menatap ke luar jendela setiap malam adalah sebuah kebiasaan.

"Kau bisa sakit, Jungkook"

Aku menoleh dari lamunanku, tersenyum tipis menanggapi kekhawatiran nenek.
Tangan keriputnya membelai lembut kepalaku, sama seperti yang sering dilakukan oleh ibu.
"Tidak apa-apa, Nek. Aku suka udara malam yang masuk dari jendela"

Dia mengambil duduk di tepian kasur untuk menjangkau tubuhku dengan mudah, kemudian yang kurasakan selanjutnya adalah usapan lembut yang terasa hangat di punggung.

Sejujurnya aku tidak bisa menerima penguatan semacam ini, karena pasti akan berujung sesak di dalam sana.

"Cucu nenek yang tampan ini, kenapa semakin kurus?"
Tanya Nenek dengan suara bergetar. Aku tahu semua orang di rumah ini terluka-

Sudah seminggu rasanya pola hidupku sangat berantakan, melupakan sekolah, teman-teman, jam makan, jam bangun, lupa sekolah. Bisa dikatakan aku hanya hidup dan menunggu hari berganti.

Tapi sayangnya, untuk baik-baik saja hanya mengandalkan waktu saja tidak cukup.

"Semua makanan jadi hambar" ucapku diiringi dengan sedikit intonasi gurauan. Aku tahu semua orang sama terluka. Bedanya,
-hanya aku yang tidak mengetahui apa-apa hingga detik ini.

"Mau mendengar cerita dari nenek?"

Aku terpaku.

***

Haaeeee!!
Sungguh tidak sabar menulis di bagian akhir, wkwkwk. See you

Big Love, Nana❤

SEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang