Chapter 15.

1.1K 174 3
                                    

Nenek bilang: ibuku adalah gadis yang manis, sementara ayahku adalah seseorang yang sabar dan penyayang.

Mereka pasangan yang cocok dan saling melengkapi. Mencintai satu sama lain bahkan sampai akhir.

Seharusnya aku senang, 'kan.

Mengetahui bahwa aku adalah putra dari pasangan sebaik mereka, rasanya sangat menyenangkan. Dilimpahi banyak afeksi dari mereka membuatku begitu nyaman.

Tetapi, alam tidak pernah menginginkan sesuatu yang sempurna bertahan lama.

Keluarga bahagia dari ibuku hanyut dibawa ombak besar dari laut, rumahnya pun tak tersisa. Tsunami beberapa tahun lalu ternyata merenggut semua hal tentang ibu, termasuk rasionalnya. Ibu selalu menganggap bahwa keluarganya tinggal di dalam laut, itulah sebab mengapa laut kadang malah lebih berharga dariku.

Aku terkekeh sebentar mengingat cerita nenek, ternyata ibuku seunik itu.

Mengenai ayah juga, dia ternyata melewati masa remaja yang sulit: Nenek bilang kakek sudah meninggal sejak ayah kecil, jadi seluruh tanggung jawab mengenai perekonomian diambil alih oleh nenek, dan tentu saja ayah tidak bisa tinggal diam sebagai anak sulung dan satu-satunya laki-laki di kelurganya.

Aku menyimak dengan jelas ketika nenek bilang, ayah adalah seorang pekerja keras: dia mengambil banyak kerja paruh waktu, bahkan hampir seluruh siklus hidupnya hanya berputar pada sekolah dan kerja. Tidak ada waktu bermain dengan teman, jangankan bersenang-senang belajar saja harus mencuri waktu.

Karena keadaan seperti itu, ayah tidak punya pengalaman sosial yang baik: dia mendapat diskriminasi karena menunjukkan sikap berbeda.

Saat oranglain sibuk mengobrol tentang ini itu, ayah sibuk mengerjakan tugas. Saat semua orang pergi ke kantin untuk makan, ayah memilih untuk tidur. Saat semua orang membuat daftar tempat apa yang ingin dikunjungi pada liburan musim panas, ayah malah sibuk berpikir di mana lagi kira-kira tempat yang akan menerima dirinya bekerja.

Ayah lupa bahwa interaksi itu perlu. Dan maksud ayah yang ingin menjadi tulang punggung keluarga tidak pernah dimengerti, siklus hidup ayah dinilai salah hanya karena berbeda.

Aku menghela napas sebentar, mencari ruang untuk membebaskan rasa sesak.

Lalu kembali mendengar cerita nenek dibawah sinar bulan dan angin malam.
Kadang aku tertawa saat nenek menceritakan masa kecil ayah yang kelewat biasa, katanya tangan ayah pernah patah karena jatuh dari sepeda.

Lalu jiwa remajaku malah dibuat malu sendiri saat mendengar kisah cinta ayah dan ibu yang terkesan agak kuno. Mereka bertukar puisi, dan di bagian itu sungguh membuat wajahku memerah sampai ke telinga.

Wajar tidak ya, aku menertawakan kisah cinta mereka.

Nenek bercerita bagaimana ayah selalu menceritakan anak pindahan dari Busan, rata-rata ayah bilang bahwa Ia membenci anak itu, pertengkaran mereka dan segala interaksi tidak mengenakkan yang mereka lakukan.

Bahkan ayah cukup pemberani untuk mengintip celana dalam anak gadis itu sebagai pembalasan Karen telah menendang area privasinya. Di bagian ini aku tidak bisa berhenti tertawa. Aku menyesal mengetahuinya sekarang, kenapa tidak dulu saja rasanya akan lebih baik menggoda ayah dan si gadis pindahan yang tak lain dan tak bukan adalah ibuku sendiri.

Mereka berbagi solusi di setiap masalah yang dihadapi, berbicara setiap hari setelah saling meminta maaf. Kehadiran ibu di dalam hidup ayah, membuat semuanya lebih baik: ayah jadi punya seseorang yang memahami siklus hidupnya, dan ibu melihat seseorang sebagai pelindungnya.

Mereka berteman, bermain bersama Samapi suatu hari ayah menyelamatkan ibu yang ingin melompat ke laut. Itu percobaan pertama, sekaligus terakhir karena setelah itu: ayah sudah berjanji akan selalu menjaganya.

Ayah benar-benar menepati janjinya, hidup dengan tekun kemudian berakhir menjadi pengusaha sukses lalu membangun perusahaan yang bergerak dalam produksi mainan dalam bentuk apapun.

Yang membuatku menangis adalah alasan ayah, ia membangun perusahaan itu dengan tujuan agar semua orang dapat bahagia walau tanpa siapapun yang bisa menghibur.

Di hari ayah datang pada nenek dan mengatakan bahwa ia harus menikahi seorang gadis karena telah mengintip celana dalamnya, hingga saat ini: ayah tetap seorang laki-laki sejati, dia bahkan tetap bersama ibuku hingga akhir.

Meskipun faktanya, mereka meninggalkanku. Tetapi aku tidak lagi berduka karena hal itu. Ayah sudah berusaha membahagiakan keluarga kecilnya: bahkan tidak satupun moment masa kecilku yang aku lewatkan tanpa kasih sayangnya, ayah berusaha menyembuhkan ibu dengan membawanya ke desa ini. Berharap semoga dengan mengingat kisah cinta mereka, ibu akan lebih baik.

Tapi kenyataannya tidak. Bahkan pada hari dimana aku melihat ibu menangis dengan nenek, dia tetap ingin mengakhiri hidupnya. Rupanya rangkulan nenek tidak bisa menutupi lukanya. Tidak bisa menyadarkannya bahwa duka telah berlalu, tidak bisa membangunkannya dari mimpi.

Dan tidak bisa mengobati rasa kehilangan yang dalam.

Kali ini aku ingin menangis lagi, tetapi bukan karena duka: melainkan kerena merasa begitu beruntung, aku telah dibesarkan dengan baik hingga sekuat ini, meskipun pada kenyataannya ayah dan ibu telah hancur.

Nenek menyodorkan sebuah map hitam ke hadapanku, isinya adalah wasiat ayah yang diberikan seluruhnya padaku: di sana juga ada surat kecil yang aku pikir adalah tulisan tangan ayah.

Jungkook anak ayah yang tampan, tidak perduli kapan surat ini sampai ke dalam tanganmu. Yang penting kau harus tahu, ayah dan ibu menyayangimu seyakin ikan-ikan yang berenang di dalam lautan terdalam. Ayah rasa ... Terlalu cepat menulis surat ini, tapi tidak apa-apa: akan lebih baik menulisnya di awal, sebelum ayah bertambah tua dan lupa segalanya, nanti gigi ayah juga akan hilang semua jadi bicaranya tidak jelas. Jadi ayah menulisnya sekarang saja, mumpung masih keren. Hahaha ...

Ayah dan ibu mencintaimu selama-lamanya.

Lalu aku harus apa setelah membaca ini. Aku ingin melihat ayah menua dan tidak tampan lagi hingga aku bisa menyombongkan diri, aku ingin melihat gigi-gigi ayah hilang supaya aku punya alasan untuk menyuapi ayah.

Lalu aku membuka map selanjutnya, di sana berisi tentang suatu projek pembuatan robot atau semacamnya: namanya adalah AMI, nenek bilang ayah sendiri yang membuatnya untukku. Tapi masih disimpan di Seoul.

Nenek bilang; keinginan ayah hanya ingin aku tumbuh dengan baik, punya banyak teman dan tetap jadi anak tampan yang baik. Itulah sebabnya Ia menyerahkan perusahaan kepada paman Lee, agar aku bisa fokus menatap hidup di sini.

Aku tidak bisa untuk tidak menangis kuat-kuat, mengetahui bahwa ayah sudah merencanakan semua ini seolah membuatku merasa begitu sakit: setidaknya biarkan aku mengetahui semuanya, agar aku bisa ikut melewati semua rasa sakit mereka.

Nenek memelukku dan membisikkan kata-kata penenang bersamaan dengan bibi Soyeon yang masuk ke kamarku dan langsung memeluk tubuhku kuat-kuat.

"Sudah ya, kita lewati semuanya bersama-sama" katanya sambil mengusap pundakku yang bergetar. Nenek juga tersenyum padaku.

"Cucu nenek ini tidak sendirian"

Aku semakin meringsek masuk ke dalam pelukan nenek, kembali larut dalam tangis dengan membiarkan sinar bulan yang menjadi saksi.

Aku, ingin hidup lebih baik lagi: seperti apa yang ayah dan ibu harapkan. Doakan aku ya.

***

Kkeut...! Hallooo ... Masih ada kah yang masih baca di lapak ini wkwkwk. Ternyata gini ya kalau lapak ga keurus, pembaca gelap bertebaran dimana-mana perbandingannya 70/20 warbiasaah ... Tapi ga apa-apa aku ga pernah permasalahin itu, karena tujuan aku buat cerita adalah untuk menghibur walau ga munafik butuh pendapat dan reaksi jugak, lakukan senyaman mu saja yoooops, Semoga Nana jadi rajin ameenn ... 😂😂😂

See yoouu.

I love you to the moon and back ❤

SEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang