Chapter 08.

1.3K 194 10
                                    

Kita akan berada pada situasi dimana kita berbalik dari apa yang kita kejar dan meninggalkan kebiasaan yang dulu adalah hal menyenangkan: entah karena bosan atau merasa itu bukan tujuan. Yang jelas, ketika saat itu tiba; apakah aku akan baik-baik saja?

Maka akan ku jawab, tidak.

Aku tidak pernah baik-baik saja pada sesuatu yang berubah secara tiba-tiba.

Seperti kecintaanku pada lari, semuanya telah berubah semenjak Sonwoo tidak ada. Aku tidak suka berlari, terlalu melelahkan.

Nyatanya kadang aku merindukan aktivitas itu, meski tak lagi mampu melakukannya.

Ternyata rasanya cukup buruk dan konyol secara bersamaan; saat aku merindukan diriku yang dulu, merindukan aktivitas sederhana yang mampu membunuh rasa bosanku.

Dulu, bermain di halaman belakang cukup membuat hariku terasa singkat. Berbeda dengan sekarang, bermain sebanyak waktu yang aku punya di lapangan tenis tidak merubah apa-apa.

Sore itu tetap membosankan, membuatku tersadar bahwa banyak hal yang berubah pada diriku. Seiring berjalannya waktu, ucapan ibu terbukti: bahwa banyak hal yang akan berubah dan dia memintaku agar tetap kuat.

"Yo. Jung, aku rasa hari ini cukup"

Yang bersuara barusan adalah temanku, seorang teman yang hampir satu tahun terus bersamaku. Namanya Jungi, orangnya terlalu konyol sampai tidak memberiku jeda untuk sekedar bernapas.

Kami sering menghabiskan waktu pulang sekolah dengan bermain tenis sampai kelelahan, seperti sekarang. Sepertinya dia yang menyerah duluan.

"Baiklah, kali ini kau yang kalah"
Aku tersenyum padanya, sebuah senyuman dengan arti lain yang semua orang tahu; tentu saja minta traktir, apa lagi.

Jungi mencibir, namun tidak mengurungkan niat untuk mengeluarkan minuman dingin dari tas hitam miliknya. Sepertinya Jungi memang memprediksi akan kalah pada permainan kali ini.

Tapi baguslah, tidak usah menunggu lebih lama lagi untuk memuaskan dahaga. Kebetulan sore ini terasa lebih panas dari biasanya, aku sampai tidak sadar telah melepas sepenuhnya baju seragam dan menyisakan baju kaos putih yang membalut tubuh berkeringat milikku.

Hal yang sama juga dilakukan Jungi, malah anak itu telah melepas atasannya. Dia dengan santainya bertelanjang dada, memamerkan tubuh tanpa bentuk miliknya.

Perasaan ku saja atau memang iya, Jungi tampak lebih kurus dari sebelumnya. Otot-otot yang biasanya tak seberapa selalu Ia pamerkan, kini tidak terlihat lagi.

Mungkin dia sibuk bekerja.

Setelah melempar minuman dingin yang sukses ku tangkap, Jungi segera menghempaskan tubuhnya untuk duduk di sampingku.

"Ini kekalahan terakhirku" begitu katanya percaya diri, sambil mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.

Itu rokok. tidak akan bisa ditebak bahwa benda yang sering disimpannya di saku celana adalah gulungan nikotin. Bagaimana tidak, seorang Jungi si ketua OSIS dan siswa teladan yang jago matematika ternyata terjerat juga oleh gulungan penenang sesaat.

Aku hanya terkekeh, menanggapi pernyataannya.
"Lihat saja nanti, kau harus menyiapkan minuman dingin lagi."

Aku berkata serius. berharap bahwa untuk permainan selanjutnya, akulah yang menjadi pemenang.

Dia tersenyum dan mengangguk: mengejek, seolah berkata bahwa hal itu tidak akan terjadi. Selanjutnya dia mengibaskan tangan di depanku, menghalau asap rokok yang mendekatiku.

Jujur, aku merasa dijaga olehnya. Temanku satu ini, kadang juga berperan menjadi saudaraku;
Seseorang yang tidak aku temukan di rumah. karena, percayalah selain menjadi anak satu-satunya tidak buruk; ada sisi lain juga yang kadang membuatku cukup kesepian.

SEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang