Chapter 09.

1.2K 180 5
                                    

Seperti perasan kehilangan yang sudah pernah kulalui sebelumnya, begitu pula yang kurasakan sekarang; hampa dan terasa tak lengkap.

Rasanya aku seperti makan kue beras tanpa saos tomat, si pemegang peran penting dalam rasa. Sama halnya dengan Jungi: dia adalah pemegang peran utama untuk membuat hariku sedikit berwarna.

Walau temanku tak hanya Jungi, tapi hanya dia yang selalu bisa membuatku bersikap apa adanya; Aku tidak pernah canggung marah di depannya, cemberut, atau bahkan tidak tahu malu untuk menangis; sesuatu yang jarang sekali ditunjukan laki-laki di depan oranglain.

Dengan Jungi aku tidak perlu khawatir dan malu, karena dia sungguh memaklumi banyak hal, termasuk aku yang kekanak-kanakan.

Namun sekarang, banyak hal yang terasa berbeda; baik situasi di kelas atau bahkan di sekolah.

Sudah beberapa pekan berlalu semenjak Jungi pergi. namun di kelas, hanya aku yang belum memiliki perasaan biasa-biasa saja setiap kelas matematika berlangsung. Aku akan reflek menoleh ke belakang jika ada soal yang tidak aku mengerti; berharap bangku kosong di sana akan ditempati oleh Jungi yang memasang wajah sebal saat aku tak kunjung mengerti.

Guru matematika kami juga diganti bersamaan dengan Yujin yang dikeluarkan dari sekolah. Aku tidak tahu bagaimana nasibnya setelah ini, yang jelas karena keputusan sekolah mengeluarkan Yujin; kemungkinan dia akan kehilangan masa depan tanpa kesempatan ke dua, temanku satu itu akan tetap menjadi Yujin yang lama.

Dia kehilangan kepercayaan dari lingkungan, dan muak untuk mendapatkannya lagi.

Aku juga sedikit menyesal tentang ini, mungkin jika aku masih diberi kesempatan untuk menemuinya; aku hanya akan bilang, aku percaya padanya dan mengerti dengan keadaannya.

Karena terkadang aku berpikir dia hanya membutuhkan beberapa patah kalimat untuk bisa bangkit lagi.

Tapi aku tidak bisa menemukannya dimana-mana dan waktu tidak bisa kembali meski aku mempertaruhkan segalanya.

Sama halnya dengan aku yang kehilangan jejak Yujin, kesukaanku terhadap tenis juga menguap begitu saja seolah hilang bersama waktu; tidak kutemukan lagi.

Tidak karena Jungi, tidak karena alasan khusus lainnya. Hanya saja, aku merasa bosan memainkannya.

Teman-teman sekelas juga sering mengundang ku bermain, sebanyak itu juga kutolak. Yang aku gemari saat ini hanya menggambar, bahkan separuh waktuku dihabiskan untuk menggambar.

Seperti sekarang, aktivitas ku hanya menggambar hingga malam hari. Entah hanya perasaan atau bagaimana, suasana rumah jadi agak sepi. Mungkin karena aku yang jadi agak malas meninggalkan kamar dan lebih menikmati kesunyian.

Tinggal sentuhan akhir yang harus diselesaikan pada gambarku  sampai bunyi ketukan pintu, disusul dengan suara ayah mengejutkanku.
"Kookie, ayah tunggu dimeja makan ya"

Sejenak aku menghentikan aktivitas dan menajamkan telinga. Tumben, pikirku. biasanya ayah tidak pulang secepat ini.

Sadar sudah termenung agak lama, aku segera merapikan alat tulis yang tercecer di meja belajar dan bergegas keluar dari kamar untuk turun ke lantai bawah.

Seperti biasa, setelah sampai di ruang makan aku langsung disambut oleh macam-macam masakan ibu. Dirumah ini tidak ada asisten rumah tangga, jadi segala aktivitas yang menyangkut kegiatan rumah tangga semua dikerjakan oleh ibu.

Sebetulnya mereka pernah mendebatkan ini, tapi ibu bilang tidak apa-apa; 'supaya feel menjadi ibu rumah tangga lebih terasa' begitu katanya.

Ada-ada saja.

"Kenapa betah sekali mengurung diri di kamar?" Tanya ayah, membuka obrolan sambil menunggu ibu menghidangkan semua makanan.

SEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang