Cahaya mentari pagi ini sama saja seperti yang sudah-sudah. Hanya saja kali ini, suasana hati gadis itu ingin mengimbangi cerahnya cahaya langit itu.
Raina, gadis ceria yang akhir-akhir ini sedang mengalami masa mendung karena tak mampu menggapai cintanya, perlahan mulai menampakkan cerah hati dan menemukan cinta yang baru.
Semoga yang kali ini tidak salah pilih.
Sedari bel masuk sekolah berbunyi, ketika pelajaran berlangsung, ketika jam istirahat, hingga bel pulang sekolah, Raina tak sedikitpun mengurangi kadar keceriaannya.
Menemukan cinta yang baru bagi gadis mungil berambut panjang hitam legam itu merupakan suatu anugerah yang Tuhan berikan ketika dia sedang terpuruk perkara cinta yang lalu.
Kini gadis itu sedang bersama teman-temannya di meja kantin, menunggu waktu hingga hati mengatakan ingin pulang.
"Na..."
Seorang lelaki bertubuh kurus, tinggi memanggil Raina dengan berjalan ke arahnya, diikuti dengan teman-temannya.
Ah, itu dia !
"Hei, Ren."
"Gue sama temen-temen duduk di sini, boleh ?"
"Boleh-boleh aja, Ren." Raina tersenyum ke arah Rendy dan teman-temannya, yang sejujurnya hanya ingin mengarah ke arah 'dia'.
Rendy mengarahkan 'dia' agar duduk di sebelah kiri Raina, karena kebetulan dua sahabat Raina duduk di sebelah kanan.
Tentu saja hal itu menjadi canggung untuk Raina. Meskipun selama ini mereka sering saling sapa ketika masing-masing dari mereka lewat depan kelas (ya, mereka beda kelas), juga sering sekali mengobrol via inbox facebook, tapi kali ini beda bagi Raina.
Ini pertama kalinya bagi Raina melihat 'dia' setelah dia yakin bahwa ia sedang jatuh cinta pada'nya'.
"Hai, Na. Aku duduk sini ya."
"E..eh, iya Do." Dua sahabat Raina yang melihat adegan itu pasti sudah sangat peka bahwa Raina sangat gugup, sehingga mereka menyenggol Raina dengan sedikit tertawa.
Hal itu dibalas dengan pelebaran mata Raina ke arah mereka yang mengisyaratkan bahwa mereka harus diam dan jangan sampai perasaan Raina kali ini terbongkar di hadapan Aldo, si cowok jangkung dengan rambut ikal, dan kacamata yang menjadi ciri khasnya.
"Na, gue sama Bella pulang duluan ya. Lo kalo mau di sini, ya di sini aja." Sungguh kali itu Raina ingin sekali mengutuk kedua sahabatnya ini yang membuat dia jadi linglung bukan main ingin berbuat apa.
Edfa dan Bella pun bergegas meninggalkan Raina bersama Aldo dan teman-temannya.
Raina pun bingung harus apa. Dia berkali-kali melirik Aldo yang sejujurnya sedari tadi menatap Raina dengan tersenyum.
"Ehm... Do, gue pulang juga deh. Duluan ya."
"Oh gitu ? Oke. Hati-hati, Na." Pernyataan Aldo hanya Raina balas dengan senyuman dan anggukan, karena dia sungguh tidak tau ingin mengatakan apa-apa dan lidahnya terlalu kelu untuk berucap terlalu banyak.
Raina berlari menuju teman-temannya yang sudah meninggalkannya tadi.
Ah, Raina pasti menyesali hari ini karena dia bersikap seperti orang bodoh yang hanya bisa diam ketika cinta telah berada di sampingnya.***
Esok harinya, Raina tidak ingin kejadian kemarin terulang kembali. Ia sudah mengumpulkan keberanian dari semalam agar mampu untuk mengajak Aldo berbincang seperti yang biasa mereka lakukan, atau menyapa ketika melewati kelasnya yang hanya berjarak dua kelas dari kelasnya.
Pagi itu, Raina kebetulan memasuki pagar sekolah berbarengan dengan datangnya Edfa, sehingga ia merasa lega bahwa ia tidak akan menghadapi Aldo sendiri.
Kelas mereka berada di lantai 2 gedung utara. Mereka mulai menaiki tangga, dan dari situ sudah terdengar suara ocehan dan kekehan para kaum adam yang Raina yakin, itu dari para siswa cowok yang hobi nongkrong depan kelas.
Ketika sudah mencapai lantai 2, alangkah terkejutnya Raina, ternyata para cowok yang berada di depan kelas jumlahnya di luar ekspektasinya, dan Aldo berada di antara mereka.
Lo berani Raina, lo pasti berani.
Raina pun mulai maju dengan langkah mantap. Yang dia tuju hanya Aldo. Ya, hanya Aldo.
"Hai, Do."
Tidak ada jawaban dari Aldo. Dia hanya menatap Raina sekilas lalu membuang muka.
Hal itu membuat Raina malu dan mati kutu. Dia berpikir keras apa salahnya, apa Aldo ada masalah dengannya, atau apa dia tak tahu.
Raina meneruskan langkahnya menuju kelasnya dengan tatapan bingung sekaligus perasaan sedih dan malu. Di depan teman-teman Aldo, apa yang dia lakukan tadi seperti orang bodoh.
Selama pelajaran berlangsung dia benar-benar tidak konsen. Yang dia pikirkan masih hal yang sama. Aldo.
Ketika pulang sekolah, Raina melakukan ritual bersama teman-temannya, yaitu nongkrong di kantin sampai bosan. Tapi rasanya baru saja duduk, Raina sudah sangat tak bersemangat.
"Lo kenapa sih, Na ?" Pertanyaan Bella hanya Raina balas dengan gelengan tegas.
"Dia tuh tadi pagi nyapa si Aldo. Tapi si Aldo diem aja, nggak bales." Raina langsung memukul lengan Edfa yang sudah berbicara sangat keras tanpa memikirkan di mana mereka sekarang.
"Apaan sih, Na. Sakit tau."
"Mangkannya volume suara lo kecilin napa. Kita di kantin tau." Edfa mengelus-elus lengannya yang kesakitan.
"Sabar ya, Na. Lo mau move on lagi atau tetap bertahan sama Aldo ?" Bella mengelus-elus punggung Raina untuk menyabarkan Raina.
"Gue baru aja move on, masak harus move on lagi ? Tau ah ! Nanti aja dipikirin lagi. Gue lagi males sama Aldo."
Kalimat Raina membuat kedua sahabatnya paham bahwa gadis itu sedang tak baik suasana hatinya. Mereka tak lagi membahas soal Aldo sepanjang siang itu.Dan malam harinya, adalah waktu Raina berseluncur di dunia maya, terutama facebook. Jari-jarinya mengetikkan kalimat-kalimat kekesalan yang berujung menjadi status di facebooknya
Mana lo yang biasanya ?
Kita yang selalu curhat satu sama lain, kita yang selalu bertegur sapa tiap ketemu. Sekarang kenapa lo kayak gini ?
Gue ngerasa bener-bener flat !***
Bersambung...
Hai guys, bikin cerita baru Haha.
Gimana menurut kalian sama prolog nya ?Comment ya, penting, buat masukan cerita ke depannya kayak gimana.
Thanks yang udah mau baca 🙏Jangan lupa juga follow akun aku :
Ig : @siarefi_33
Twitter : @siarefi_33
Fb : Sia RefiArigatoo 🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
PSIKOPAT CINTA (OnGoing)
Teen FictionCinta memang selalu indah di awal, selalu indah ketika diperjuangkan, selalu indah ketika berjuang bersama untuk saling bertahan dan tidak saling pergi. Namun lambat laun, cinta berubah menjadi liar dan kehilangan makna. Cinta bukan sebuah alasan se...