Bab 4

24 2 0
                                    

NAFEESHA

Sebenarnya emang udah gak kerasa dikit lagi mau ulangan kenaikan kelas gitu. Masih beberapa minggu lagi sih, tapi ya mungkin karena aku ngejalanin hidup SMAnya fine fine aja jadi ya nggak kerasa aja gitu udah mau kelas dua SMA hehehe.

Soal Kafeel, tidak ada kejadian yang buat kita ngobrol lagi. Cuman bertatap mata, dan mungkin itu hanya sebuah kebetulan. Aku bahkan baru tahu kalau aku dan dia sudah saling mengikuti di akun instragram, aku nggak tahu sejak kapan, tepatnya lupa.

Emang dasar pelupa sih.

Sekarang aku lagi di kantin, karena hujan juga jadinya aku nunggu di sini, sendirian, ngenes banget emang. Si Nesha harus duluan karena ada les, emang dasarnya anaknya rajin sih.

"Pulang aja ah, nerobos," ucapku pada diri sendiri. Lagipula bakso yang aku juga sudah habis tidak tersisa!

Akhirnya aku bangkit dari tempatku, aku sengaja lewat lapangan, hitung-hitung modus hahaha. Hari ini kan ada ekskul basket, iya... ada Kafeel.

Tapi aku mau lihat kakak kelasnya kok, bener deh, yang cakep cakep gitu.

"Eh."

Aku menoleh, merasa di panggil.

"Lo anak PMR?"

"Bukan."

Sepertinya dia kakak kelas. "Ah, eh gimana itu si Fee kakinya?"

Hah? Fee?

"Kalau boleh tahu, Kafeel kenapa, Kak?"

"Ada batu gitu nancep, nggak tahu lah gue serem liatnya," kata kakak perempuan itu.

"Aku... bisa ngobatinnya."

"Katanya bukan anak PMR."

"Emang bukan, tapi waktu di pramuka pernah ada yang kayak begitu."

Aku kaget, iya lah, tiba-tiba tanganku di tarik ke UKS. Di sana hanya ada beberapa orang, sisanya ada di lapangan basket.

Sepertinya kedatanganku di ketahui Kafeel, cowok itu langsung noleh ke aku.

"Tolong obatin, ya."

Aku mengangguk kaku. Aku bisa, iya, cuman... kenapa jadi grogi ya?

Dan juga, pikiranku hampir tidak fokus karena Kafeel kayaknya ngeliatin terus, serem! Tatapannya itu loh, kayak mau mutilasi orang!

Aku mengambil peralatan dan butuh waktu agak lama karena aku harus nyari dulu, iya lah, secara aku bukan anak PMR jadi kurang tau juga mereka naro obat-obatnya di mana.

Setelah sudah aku mulai jongkok, pokoknya nggak boleh ngedongak, bisa-bisa... langsung ambyar.

"Shh..."

Aku mengambil batu kecil yang tertancap di kulitnya, oke itu ngeri juga liatnya.

"Sorry... erm gue pegang kakinya, ma--mau di bersihin." Aku mulai membersihkan bekas lukanya, setelah itu aku berdiri untuk meletakkan kembali peralatannya.

Pandanganku diam-diam melihat ke arah pintu, kemana anak basket yang lain? Cuman ada empat orang doang di sini, satu perempuan dan tiga laki-laki termasuk Kafeel.

"Makasih ya eh." Aku mengangguk ketika kakak kelas yang aku nggak tahu namanya siapa.

Lebih baik pergi dari tempat ini cepat-cepaaaaat.

Eh.

Lenganku di tarik, maksudnya ujung seragam lenganku. Perlahan aku menoleh dan menemukan mata tajam itu.

"Terimakasih, Fee," kata Kafeel.

Aku...

Kaget! Tiba-tiba kepala Kafeel di pukul pakai bola basket.

"Bahaso lo anjing so baku."

Hampir saja tawaku lepas. "Iya, sama-sama."

Begitu aku membalas ucapannya mana aku tahu jika Kafeel yang tadi sempat berdebat dengan kakak kelasnya itu langsung menoleh ke arahku --lagi--

"Aduh Fee, lepasin dong, kasian cewenya mau balik ini."

Sepertinya mendengar temannya yang perempuan ngomong seperti itu, Kafeel langsung menatap lengannya lalu melepasnya perlahan.

Lucu. Dia mengusap tengkuk lehernya, malu, ya?

KAFEEL

Beberapa kali gue liat Fee, dan semoga aja emang bener kalau dia lagi liat ke gue.

Hahahahaha.

Gue jadi mikirin dia terus, ini gue lagi berusaha jujur.

Sampai gue lagi main basket juga kepikiran dia, itu gara-gara nggak sengaja pas gue nengok ke atas ada Fee di depan kelasnya lagi ngeliat ke lapangan, gue ngerasa kita tatapan. Mungkin.

Gue jadi senyum-senyum nggak jelas, mana tahu kaki gue ketancep sesuatu.

"Anj--"

"Ngapa lu?"

Gue ngeringis, gue berjalan tertatih-tatih ke UKS, di bantu kakak kelas gue pas mereka tahu kalau jempol kaki gue luka.

"Gue cari orang dulu deh, siapa tau tersempil anak PMR."

Gue cuman ngangguk dan duduk di kursi, nungguin mereka dateng. Soalnya, gue sendiri nggak tahu ngobatinnya gimana.

Tapi, pas gue lihat siapa yang dateng, gue rada bersyukur gue luka.

"Tolong obatin ya," kata Kak Citra.

Sumpah, gue nggak bisa lepas pandang dari si Fee. Kayaknya dia juga sadar gue liatin terus.

"Shh..."

"Sorry... erm gue pegang kakinya, ma--mau di bersihin."

Fee lo lucu.

Banget.

Pengen gue culik.

"Makasih ya eh," kata Kak Citra lagi. Kok cepet ya ngobatinnya?

Pas Fee mau pergi, gue langsung narik seragamnya. Udah narik, dia udah nengok, gue malah bingung mau ngapain.

Emang goblok.

"Terimakasih Fee."

Buk!

Sialan bang Reno. "Bahasa lo anjing so baku."

"Yeee monyet ganggu."

Emang nih Bang Reno nggak inget suasana, padahal tadi wajah Fee kayak kaget gitu.

"Iya, sama-sama."

Hah?

Apa?

Gue langsung nengok ke Fee, gue kagak conge kan gara-gara keseringan make earphone?

Ini dia ngomong nih?

Sama gue nih?

"Aduh Fee, lepasin dong, kasian cewenya mau balik ini."

Gue langsung liat tangan gue, bego kenapa masih gue pegang?! Gue lepasin aja Fee.

Gue ngusap tengkuk gue. Pertama kalinya gue ngerasa salah tingkah gini.

BiagioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang