Bab 22

12 3 0
                                    

NAFEESHA

Ugh, oke aku nggak tahu harus gimana lagi harus ngapain kalau udah di deket Kafeel. Maksudku, pernyataannya yang --terlalu-- mendadak itu bikin aku hilang fokus.

Bahkan sekarang tiap menatap Kafeel pun rasanya nggak sanggup. Dari dulu sih, tapi... ini semakin nggak sanggup!

Aku nggak tahu apa yang aneh, aku atau dia, semuanya mungkin aneh. Aku bahkan belum cerita ke Nesha, aku terlalu sibuk memikirkannya seorang diri.

Ah, semenjak kejadian itu juga aku tidak banyak bicara dengan Kafeel. Mungkin... mungkin aku yang menghindarnya, dan Kafeel terlihat tidak ingin mendesakku, dia seakan membiarkanku menjauhinya.

Eh, enggak, aku tidak menjauhinya, hanya... semua masih terlalu dadakan.

Duh, apaan sih.

"Dengerin apaan, sih? Gue panggil nggak di saut."

Aku berhenti. Jantungku astaga. Kafeel, aku tahu persis orang yang mengambil salah satu earphoneku dengan sembarangan itu Kafeel yang melakukannya.

"Cause here beside you there’s a man you better know, know, know, who you can confide in."

Kenapa? Kenapa harus di bagian lirik yang itu?

"Fee."

Aku menoleh, ini pertama kalinya semenjak kejadian --pernyataan mendadak-- itu aku tak pernah mau lagi menolehnya, takut jantungku semakin tidak terkendali lagi, karena... semakin di pikirkan aku semakin pusing.

"I’m so sorry I can’t stop myself from staring at you," katanya ada jeda sebentar. Aku diam, Kafeel tak lama berbicara. "I wanna shout about it."

Kafeel... dia tersenyum menunjukkan lesung pipinya. Di rasanya, aku rindu dengan lesung pipinya itu.

Lagu di playlist handphoneku terganti dengan sendirinya. Astaga, kenapa jadi lagu Hivi yang Siapkah Kau Tuk Jatuh Cinta Lagi ---oke. Mungkin Kafeel bakalan menganggap aku alay.

"Eh, so--sorry lagunya--

Kafeel justru tertawa "Nggak pa-pa. Pas."

Kami mulai jalan lagi setelah lama diam. Sesekali aku bersenandung karena hafal liriknya juga, dan... aku sesekali juga dengar Kafeel ikut bernyanyi, apa aku salah dengar, ya?

"Fee."

"Ya?"

"Maaf kalau perkataan gue waktu di aula bikin lo nggak nyaman."

Kenapa aku jadi gugup --lagi-- sih?! Santai dong, Fee, haduuuh.

Kafeel tiba-tiba berdiri di depanku, earphonenya dia cabut seenaknya saja. Aku melongo, kaget dan... ya gugup.

"Gue nggak suka lo ngejauh, gue nggak suka suasananya jadi canggung." Kafeel menghela nafas lalu kembali berbicara. "Kalau tau begini... mending gue nggak usah ngaku, ya?"

Jangan tertawa renyah Kafeel, biasanya dia tidak pernah menunduk, dia selalu berani menatapku. Tapi, kali ini Kafeel menundukkan kepalanya. Aku... aku nggak mau Kafeel yang seperti ini.

Apa sebaiknya aku ngaku aja? Maksudku, mungkin... mungkin aku harus ngeluarin unek-unekku? Tapi... TAPI MALU.

Tapi ngeliat Kafeel begini...

Ah, shit.

"Gue cuman--" Ucapanku terputus begitu saja saja Kafeel tiba-tiba menatapku kembali. "Cuman kaget dan... dan malu."

"Kenapa?"

"Apa?"

"Yang buat lo malu."

Masa iya aku harus bilang ke orangnya?

BiagioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang