PART 7

885 164 52
                                    

Pengumuman itu sudah berlalu satu bulan yang lalu tapi masih segar diingatanku ekspresi Bapak dan Ibu yang kalau bisa aku artikan dari tangisan mereka adalah bangga juga haru. Karena ekspresi mereka sama persis ketika aku wisuda dan dinobatkan sebagai lulusan terbaik. Ibuku tidak henti-hentinya mengucap syukur pada Allah karena salah satu do'a nya terkabul. Ibu bilang dia selalu mendo'akan agar segala cita-cita dan keinginanku bisa terwujud. Aku terharu mendengarnya.

"Alhamdulillah Ka, walaupun bukan Bapak yang menyekolahkan kaka sampai ke negeri orang tapi seenggaknya kaka bisa mewujudkan impian Kaka untuk sekolah disana. Pesan Bapak jangan disia-siakan kesempatan yang sudah Kaka dapat. Disana jangan tinggalkan kewajiban. Dan selalu prihatin ya Ka." aku tak bisa menahan laju air mata mendengar ucapan bapakku. Dukungan mereka yang membuatku semangat untuk bisa membahagiakan dan membanggakan mereka.

Lain lagi dengan kedua adikku. Semenjak aku memperlihatkan fotoku dengan pangeran Ajmar, mereka berdua seperti terobsesi pada sang Emir. Bahkan selama seminggu penuh setelah hari itu obrolan dikamar kami hanya seputaran pangeran yang begini dan begitu. Dari yang aku antusias ikut dalam pergosipan itu sampai aku melambaikan tangan ke kamera handphone saking bosannya. Benar loh aku bosan. Karena obrolan mereka muter disitu-situ saja tanpa ada berita baru. Karena setelah bertanya pada mbah google berita sang pangeran memang tidak banyak beredar. Hanya seputar kegiatan kerajaan dan kemanusiaannya saja yang paling banyak ditulis wartawan. Pun begitu pula dengan isi instagramnya yang lebih banyak diisi oleh hobi sang pangeran, yaitu fotografi dan olah raga.

"Ka Rani jadi lusa Kaka berangkatnya? Terus pulangnya kapan?" tanya si bungsu saat aku sedang melipat pakaian yang baru saja kering. Aku meliriknya sekilas. Belum juga berangkat sudah ditanya kapan pulang. Heran aku tuh!

"Kalau sudah lulus nanti pulang."

"Ya lulusnya kapan?"

"Insyaallah dua tahun kalau sesuai target."

"Lama banget." aku menoleh saat suara adikku terdengar lesu dan menghentikan aktivitasku melipat pakaian. Tanganku bergerak mengusap surai hitamnya perlahan. Mencoba membuatnya agar tidak sedih.

“Jangan sedih gitu ah cuma dua kali puasa dua kali lebaran kok Kaka ga pulang. Belum ada niatan jadi bang Toyib kok.”

“Bukannya apa-apa Kak. Kalau ga ada Ka Rani nanti siapa yang bikinin aku tugas gambar.” Balas Riana sambil memamerkan deretan giginya padaku. Asem!

Seriously Na? Jadi ini Cuma tentang tugas gambar?” aku memutar bola mata malas dan menagacak-acak rambutnya.

“Ya ga juga sih Ka. Ka Rani jangan baper gitu donk.” Kali ini Riana menabrakkan bahunya pada bahuku. Berusaha menarik perhatianku yang sudah kembali pada pakaian yang sedang kulipat.

“Kan ada Laras, suruh aja Laras yang gambar.”

“Kalau Ka Laras yang gambar bisa-bisa aku  disuruh ngulang tugasnya.” Bibir Riana merengut.

“Emang kenapa?”

“Terakhir aku minta gambarin pas Ka Rani ke Bali aku disuruh ngulang. Aku minta gambarin mobil jadinya malah bemo.”

Aku tak tahan  untuk tidak tertawa dan tidak memperdulikan wajah adik bungsuku yang sudah tertekuk menjadi enam belas bagian. Ohh obrolan tak mutu ini akan aku rindukan nanti.

**********

Akhirnya hari ini tiba, aku sedang diruang tunggu bandara bersama keluargaku juga Bella dan keluarganya. Sejak subuh tadi keluargaku sudah heboh. Ibu yang tak henti-hentinya memberikan wejangan sampai aku hampir menghapal keseluruhan isi pesannya. Tentang makan yang jangan sampai lupa, tentang jangan keluar malam apalagi kalau sendiri. Dan tentang pintar-pintar membawa diri dinegeri orang. Aku hapal semua wejangannya. Coba saja di tes kalau kalian tidak percaya!

My Story Of Middle EastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang