“Jadi?”“Jadi apa?” tanyaku pura-pura bodoh dan mengaduk isi tas mencari earphone. Aku tau Bella akan menanyakan apa yang terjadi antara aku dan Pak Angga tadi.
Bella mendengus tak suka dengan aksi pura-pura bodohku dan sekarang dia mulai memasang aksi ngambeknya saat kami sudah duduk dengan nyaman dikelas ekonomi maskapai milik Timur Tengah. Dua orang pramugari tampak lalu lalang memeriksa keamanan dan kenyamanan penumpang sebelum pesawat take off. Kembali aku melirik Bella yang kali ini mengeluarkan novel favoritnya yang entah sudah keberapa kali dia baca. Aku tau ini salah satu caranya untuk menghindariku.
“Oke-oke.” Akhirnya aku menyerah dan menceritakan semua kejadian dan kata-kata Pak Angga yang masih ku ingat pada Bella. Aku tidak mau kami hanya diam-diaman dalam perjalanan yang akan ditempuh selama sembilan jam dua puluh menit. Bayangkan selama sembilan jam kami akan menjadi orang asing dengan tidak saling bicara. Tidak terimakasih! Aku tidak mau mengalami itu.
“Terus lo jawab apa waktu doi bilang mau nunggu?” Bella bertanya dengan antusias dan mode ngambek yang tadi dia pasang sudah hilang begitu saja saat aku mulai bercerita di kalimat pertama.
“Ga jawab apa-apa. Soalnya lo keburu manggil gue. Tapi thanks ya kalau lo ga manggil, gue ga tau mau jawab apa.”
“Aduh Khanzaaaaaaa.” Bella menepuk dahinya dan terlihat gemas mendengar jawabanku. Memang salahku dimana? Aku bicara jujur kok. Kalau dia tidak memanggilku aku akan mati gaya di depan dosen ganteng itu.
“Apa sihh Bell? Kalau lo jadi gue emang lo mau bilang apa sama doi?”
“Ya bilanggggggggg….ngggggg…mhhhhh.” aku terkikik melihat Bella yang juga tak menemukan kata-katanya.
“Nah kan!! Lo aja bingung apalagi gue pas didepan orangnya. Udahlah jantung gue rasanya mau meledak, telapak tangan gue keringetan, jari gue gemeteran, kaki gue rasanya ga kuat buat berdiri, lemah, letih, lesu, lunglai. Pokoknya kalau gue berdiri di depan Pak Angga lima menit lebih lama mungkin gue udah pingsan.”
“Ga usah lebay, Za!”
“Bener kok!! Lo ga ngerasain aja waktu matanya natap mata lo udah kayak karyawan yang lagi minta aprove lembur ke bossnya. Tajam! Setajam silet!” aku mengikuti jargon acara gosip pada akhir kalimatku.
“Menurut lo Za, Pak Angga beneran mau nunggu lo pulang gitu? Terus nanti lo mau kawin sama doi setelah kita pulang?” kata kawin yang keluar dari bibir Bella kenapa terasa horor ditelingaku ya? Aku bahkan sampai merinding.
“Allahu Akbar! Lo kenapa jadi mikir kawin Bel. Serem ah obrolan lo! Gue mau tidur aja!”
Aku mengeluarkan penutup mata yang disediakan maskapai dan benar-benar bersiap untuk tidur. Aku tak peduli jika Bella masih penasaran dengan jawabanku. Memikirkan menikah dengan dosen yang sama sekali tidak pernah terlintas dibenakku membuatku migrain seketika.
Sebelum aku memasang penutup mata, ku lihat Bella pun melakukan hal yang sama. Sepertinya kali ini kita sependapat untuk menghabiskan waktu dengan tidur daripada membicarakan pepesan kosong.
**********
Ajmar International Airport cukup ramai pada jam lima sore waktu setempat. Aku menggeret koper dengan pelan untuk memperhatikan situasi bandara yang sangat nyaman dan indah di kala senja seperti ini. Setelah urusan imigrasi yang sedikit memakan waktu lebih lama karena terkendala bahasa akhirnya aku dan Bella memutuskan untuk duduk sebentar di sebuah kursi panjang yang banyak disediakan disini.
“Za, laper ga sih lo?” tanya Bella sambil mencocokan jam tangannya dengan jam besar yang berada ditengah bandara. Waktu di Ajmar lebih cepat tiga jam dibandingkan Indonesia itu berarti disana sekitar jam tiga sore.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Story Of Middle East
RomanceHai perkenalkan namaku Khanza Maharani. Keluargaku memanggil dengan nama Rani tetapi teman-temanku biasa memanggil dengan nama Khanza. Terserah mereka mau memanggil dengan nama apa yang penting panggilannya enak didengar. Oh ya ini ceritaku tentang...