Hallooo gengssss...gimana kabarnya? Akhirnya mamak kembali setelah dapet hidayah dibulan puasa buat nerusin Khanza. Mon maap buat reader-reader kece mamak yang nungguin cerita ini update kelamaan. Mamak ga sadar kalau terakhir apdet itu 4 bulan yang lalu..astagahhhhhhhh.
Mudah-mudahan kelen masih setia nungguin cerita ini yess. Maklum kalo penulis abal-abal macam mamak gini nunggu dapet idenya itu lama banget. Belum lagi kadang otak mampet gegara es buah sama kolak pisang.
Sooooo buat kelen yang masih mau baca cerita receh mamak ini. Jan lupa kasih mamak semangat buat nerusin ceritanya dengan ngevote n komen sebanyak-banyaknya. Kalo perlu setiap paragrap dikomen wkwkwwk.
Udah segitu aja kata-kata sambutan dari mamak yang telah bangkit dari tidur 4 bulannya. Semoga kelen suka sama bab ini yes.
Ketjup manjah
Emak-emak berdaster 💋------------------------------------------------------------
Mimpi apa aku semalam? Bisa-bisanya aku bertemu kembali dengan sang pangeran malam ini. Penampilannya sekarang jauh berbeda dengan saat terakhir kali aku melihatnya di Bali. Tidak ada Ghutrah -kain sorban- dikepalanya, tidak ada Thawb yang seperti dia kenakan saat memberi kuliah umum. Penampilannya kali ini lebih manusiawi, maksudku dia terlihat seperti rakyat pada umumnya. Dengan jeans dan polo shirt hitam yang melekat sempurna pada tubuhnya, siapa yang akan menyangka kalau dia seorang pangeran?
“Apa kalian sudah makan malam?” tanya Latifa dengan senyum yang masih terukir dibibir merah mudanya.
“Mhhhh belum, kami sedang mencari makan disini.” Balasku gugup sambil melirik Bella yang masih berdiri kaku disampingku. Matanya tak lepas menatap sang pangeran. Aku khawatir dia tidak dapat berkedip lagi.
“Kalau begitu kebetulan sekali, bagaimana kalau kalian ikut kami makan. Kamu tidak keberatan kan Rashid?”
Kali ini ku beranikan memandang wajah sang pangeran. Aku ingin tahu reaksinya. Apakah dia masih ingat denganku? Karena sekarang jadi membuatku penasaran.
“Ya, tidak masalah.” Jawab Rashid datar dan memalingkan wajahnya untuk menghindari kontak mata kami yang terjadi sepersekian detik.
Dan dari reaksi yang dia berikan aku jamin sang pangeran tak mengenaliku. Apakah aku kecewa? Tentu saja! Tapi seorang rakyat jelata sepertiku bisa berharap apa? Berharap dia mengingatku dan memberikan tos ala sahabat lama yang baru bertemu? Mimpi!
“Kalau begitu ayo.” Suara Latifa terdengar bersemangat atau aku yang salah dengar ya?
Aku dan Bella berjalan dibelakang sang pangeran dan Latifa. Mereka terlihat sangat serasi, cocok sekali jika menjadi pasangan suami istri. Huh! Kenapa tiba-tiba moodku malah terjun bebas?
“Za, kita beneran ini makan bareng pangeran? Mimpi apa sih Za gue semalem?” bisik Bella setelah sekian lama dia hanya terdiam menatap pangeran Ajmar penuh minat. Aku bersyukur dia tidak sampai meneteskan air liur.
“Mana gue tau, lo yang tidur masa nanya gue mimpi apaan.” Aku mendengus malas.
Bella memukul bahuku dengan agak keras membuat aku menatapnya dengan mata membulat penuh.
“Sinis banget sih lo!” desis Bella tajam dan balas melotot padaku.
Konyol ini benar-benar konyol dan aneh. Tak seharusnya aku melampiaskan kekesalanku pada Bella. Tapi entah kenapa setelah kami sama-sama melotot memberikan peringatan, membuat suasana hatiku lebih lega, tidak lagi seperti terhimpit beton. Dan tiba-tiba saja aku tertawa pelan sambil membekap mulutku.
“Kesambet setan Arab lu ya, Za?” tanya Bella dengan ekpresi takut juga bingung yang membuatku makin tak bisa menghentikan tawa.
“Aku penasaran dengan tawamu, apakah ada sesuatu yang lucu?” kali ini bukan suara Bella yang masuk kedalam pendengaranku. Itu suara Latifa. Dan benar saja saat aku menoleh kedepan dia sudah berdiri didepan pintu restoran dengan senyumnya yang cantik. Aku jadi bertanya-tanya kapan dia terlihat jelek?
“Tidak ada, hanya Bella membuat lelucon.” Akhirnya aku berhasil meredakan tawaku.
“Aku harap Bella bisa menceritakan leluconnya kembali saat kita makan.” Ucap Latifa sebelum kami melangkah masuk ke dalam restoran.
Manik hitamku langsung memandangi sekeliling restoran yang cukup ramai. Hampir semua meja sudah terisi dengan orang-orang yang menikmati makanan mereka disertai suara-suara obrolan dan gelak tawa dari beberapa meja. Dan saat kami masuk beberapa orang di meja terdekat dari pintu langsung berdiri. Memandang takjub seolah tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.
Tentu saja pandangan orang-orang itu bukan untukku dan juga Bella. Sangat jelas kalau penghormatan itu ditujukan untuk laki-laki tampan yang berdiri di depanku. Pangeran Rashid membungkukkan badannya sedikit dan tersenyum untuk membalas sapaan tak terucap oleh rakyatnya.
“Sebaiknya kita langsung menuju ruang VIP yang mulia.” Ucap salah satu pengawal kerajaan yang berbisik dan memimpin jalan menuju sebuah ruangan dilantai dua.
“Jadi, apakah Bella akan menceritakan leluconnya untuk membuat kita semua tertawa?” kalimat pertama yang diucapkan Latifa membuat suasana meja makan ini sedikit mencair. Karena menurutku, Bella dan aku sangat tegang dengan jamuan makan malam tak terduga ini. Ditambah sesekali aku ketahuan mencuri pandang pada pangeran. Sangat memalukan!
“Emmmhh, aku tidak punya lelucon yang bisa diceritakan yang mulia.” Jawab Bella dengan suara yang bergetar, menandakan dia gugup.
“Sayang sekali padahal aku ingin sekali mendengarnya.” Desah Latifa kecewa. Namun ekspresi kekecewaan itu tidak bertahan lama diwajah cantiknya. “Baiklah kalau begitu. Oh ya, aku hampir lupa. Kita belum berkenalan kan? Aku Latifa.” Dia menatap Bella dengan senyum yang tak pernah hilang.
“Bella.”
“Dan kamu?” Latifa menatapku sekarang.
“Khanza.” Jawabku singkat. Dan aku tau dari sudut ekor mataku sang Emir mengangkat kepalanya dari buku menu yang sedang dia baca saat aku menyebutkan nama. Apakah ini pertanda?
Sudah sudah Za jangan berharap lagi! Ingat kamu cuma rakyat jelata.
“Khanza.” Gumam Rashid pelan.
Aku yakin seribu persen pendengaranku tidak salah, baru saja aku mendengar sang pangeran mengucap namaku dengan lirih. Membuatku tidak tahan untuk tak melirik kearahnya. Dan subhanallah. Apa baru saja Rashid menyunggingkan senyumnya meskipun terlihat samar?
Tahan Za, jangan jingkrak-jingkrak dulu. Jangan baper. Mungkin kamu salah liat atau salah tafsir.
Tanpa sadar aku menghembuskan nafas dengan kasar dan membuat perhatian sang Emir beralih padaku.
“Kamu mau pesan apa?” suara berat sang Emir memacu detak jantungku menjadi lebih cepat dari seharusnya. Dia kini menatapku tanpa mengalihkan pandangan seperti sebelumnya.
Kakiku gemetar, dengan spontan aku meremas rok Bella dari bawah meja. Membuatnya langsung menoleh dan mendelik padaku. Aku hanya membalasnya dengan ringisan.
“Khanza?” panggil sang Emir.
“Ya?” jawabku kaget dan aku yakin tampangku pasti seperti orang bodoh sekarang. Sungguh aku kaget mendengar namaku diucapkan oleh suara beratnya. Kenapa namaku jadi terdengar lebih merdu dan indah ya?
“Pesananmu?”
“Emmmhhh aku..ak..aku..terserah saja. Aku penyuka segala jenis makanan.” Apa jawabanku terdengar seperti orang rakus? Atau seperti orang tidak tau malu? Ah sudahlah, sudah terucap aku tak bisa menarik kata-kata itu kembali. Beruntung sang Emir hanya mengangguk dan tidak bertanya lagi setelah itu.
Kali ini aku dan Bella dengan khusuk makan makanan yang entah apa namanya dengan diam dan khidmat. Tak ada yang berbicara dimeja kami. Dan aku tidak heran. Sekelas pangeran pasti mempunyai manners yang bagus di meja makan. Tidak seperti aku dan Bella kalau lagi makan. Heboh dengan cerita dan denting-denting sendok yang beradu dengan piring.
Lima menit dalam keheningan tiba-tiba saja ujung sepatuku ditendang oleh Bella, membuatku menoleh padanya. Kami saling menatap dan aku lihat matanya tertuju pada menu ayam panggang yang berada didepan piringku. Manik matanya bolak-balik melirik aku dan ayam panggang. Ck!! Aku tau di ingin aku mengambilkan ayam itu untuknya. Tapi aku canggung karena letak piring berisi ayam itu lebih dekat dengan sang Emir yang duduk diseberangku.
Aku menggeleng samar memberikan jawaban pada Bella kalau aku tak mau membantunya. Biar saja dia ambil sendiri. Aku tak mau mengambil resiko akan menyenggol gelas disamping piringku karena terlalu gugup. Tapi bukan Bella namanya kalau dia tidak gigih menggangguku sampai keiinginannya tercapai. Gadis berkerudung cokelat itu terus menerus menendang ujung sepatuku. Dan aku yakin dia tidak akan berhenti sampai satu potong ayam panggang itu berada diatas piringnya. Asem memang ini anak!
Aku mendelik padanya dan hanya dibalas dengan cengiran khas Bella. Akhirnya aku mengalah untuk mengambilkan sepotong ayam untuknya. Hampir berhasil dan tanpa terjadi sesuatu yang membuatku terlihat bodoh kalau saja tanganku yang tiba-tiba gemetaran tidak menyenggol gelas minuman milik pangeran Rashid. Dan tanpa bisa kucegah, seolah terjadi dengan cepat. Seluruh isi gelas kristal itu tumpah diatas meja lalu mengalir mengenai baju sang Emir. Membuat Latifa dan Bella terkesiap, sedangkan pangeran Rashid tampak tenang.
Reflek aku bangkit menghampiri pangeran Rashid yang duduk di seberangku sebelum para pengawalnya mendekat. Aku meraih kain yang dibentuk bunga didekat piring buah. Dengan terburu-buru bercampur panik aku mengelap bagian baju Rashid yang basah. Sayangnya karena baju sang Emir berwarna hitam jadi tidak begitu jelas dimana letak bagian yang basah. Jadi aku mengelap semua permukaan bajunya dengan gerakan panik.
“Maaf Emir, maafkan aku..ak..aku tidak sengaja.” Ucapku terbata masih dengan tangan yang menggosok-gosokan kain kepermukaan bajunya.
Aku tidak memperhatikan sekelilingku, pikiranku hanya terfokus pada baju Rashid yang basah dan mengutuki tingkah bodohku. Bahkan aku tidak menyadari tubuh sang Emir yang berubah kaku, kalau saja tangannya tidak menggenggam pergelangan tanganku dan menghentikan kegiatanku untuk membersihkan bajunya. Aku menoleh menatap wajahnya, dan terkesiap menyadari jarak kami begitu dekat. Bahkan lebih dekat dibanding saat aku memberikan souvenir padanya.
Apakah aku sudah bilang kalau mata Rashid sangat indah? Bahkan membuat aku merasa iri sekarang. Lama kami saling menatap sampai suara Latifa mengembalikan kesadaranku.
“Rashid, apa kau baik-baik saja?” suara Latifa terdengar khawatir.
Aku melirik sekilas pada gelas minuman yang tumpah oleh kecerobohanku dan meringis seketika. Itu seperti kopi yang tadi dipesan Rashid. Otakku yang tadi membeku seolah mencair dan baru menyadari bahwa kopi itu pasti panas. Aku tidak akan dipenjara karena menyiram pangeran dengan kopi panas kan? Mendadak aku jadi ketakutan!
“Saya tidak apa-apa.” Jawab Rashid menoleh pada Latifa dengan suara tenangnya.
Lalu mata cokelat keemasan sang Emir beralih pada manik hitamku.
“Lain kali hati-hati.” Ucapnya datar dan melepaskan genggaman tangannya pada pergelangan tanganku.-----------------------------------
Mamak kasih bonus penampakan babang Rashid buat kelen yang udah setia nungguin. 😍
Btw met puasa ya gengssss😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
My Story Of Middle East
RomanceHai perkenalkan namaku Khanza Maharani. Keluargaku memanggil dengan nama Rani tetapi teman-temanku biasa memanggil dengan nama Khanza. Terserah mereka mau memanggil dengan nama apa yang penting panggilannya enak didengar. Oh ya ini ceritaku tentang...