Berada dalam fase pernikahan tentunya merupakan suatu hal yang sangat di idam-idamkan oleh setiap orang tak terkecuali Kaila, akan tetapi tinggal bersama dengan Ibu mertua tentulah bukan hal yang menarik, bahkan bisa jadi 'momok' menakutkan bagi sebagian orang.
"Jaga dirimu, jangan lupa jaga kesehatan dan layani suami mu dengan baik," pesan Prapto pada putrinya, ketika dua sejoli itu pamit hendak pulang ke rumah Maryati, Ibu Huda.
Rumah berasitektur Jawa kuno menyambut Kaila, pekarangan luas di tumbuhi rerumputan hijau membuat siapa saja betah berlama-lama di sana apalagi ada sebuah gazebo di sisi kiri rumah, berdiam di dalamnya tentunya mengasyikkan.
Kaila mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru rumah sembari menenteng koper berisi pakaian miliknya. Dia sudah pernah kesini sebelumnya namun tetap saja kali ini menawarkan sensasi yang berbeda, dengan status barunya sebagai 'Nyonya Huda'
"Assalamualaikum..." salam Huda. Tampak sosok Ibu Maryati berjalan tergopoh menyambut kedatangan anak dan menantunya.
"Ealah... ayo masuk nduk," sapa Maryati ramah pada Kaila. Kaila tersenyum kemudian mencium punggung tangan ibu mertuanya, ya dalam hati sejujurnya Kaila bersyukur karena kini ia memiliki seorang 'Ibu', setelah sekian lama hanya tinggal berdua bersama Ayah.
Setelah berbincang sesaat Kaila pun mohon diri untuk menaruh barang-barang bawaannya ke dalam kamar. Huda mengikuti Kaila dari belakang direngkuhnya tubuh sang istri, dipeluknya erat seakan tak ingin dilepasnya.
"Ih... apaan sih Mas, malu kalau sampai dilihat Ibu," ujar Kaila lirih.
"Ah... ngapain malu nggak mungkin ada yang lihat, tuh pintunya juga sudah aku tutup," jawab Huda sambil mencubit mesra pipi Kaila, keduanya tertawa bersama.
"Drrtt..." suara ponsel Huda berdering nyaring, dengan malas Huda melirik layar canggih miliknya di situ tertera nama Pak Arman atasannya di kantor.
Huda : Siap pak, jadi tidak bisa diwakilkan?
Arman : Iya harus kamu yang berangkat, karena kamu termasuk yang senior dan bapak percaya sama kamu.Huda menarik nafas panjang dipandanginya Kaila seolah mencari sebuah jawab dari mata bening kekasih hatinya itu.
"Dik, waktu cuti aku sebenarnya masih tersisa tiga hari lagi, tapi mendadak dapat tugas kantor untuk sesi pemotretan ke Pantai Carita, kamu nggak apa-apa kan aku tinggal?" tanya Huda khawatir.
"Ya nggak apa-apa lah mas, namanya juga demi kerjaan," ujar Kaila seraya memamerkan senyum manisnya.
"Euum... emang kamu nggak takut gitu?" Huda bertanya sambil mengoda Kaila.
"Ya enggaklah, nih ya Mas dengar selama aku mengingat Allah dan yang pasti satu lagi, i'll remember you aku bakalan kuat, percaya deh," jawab Kaila lugas seraya mengacungkan jari kelingkingnya dan tentu saja hal itu di sambut oleh Huda kini jari keduanya saling bertaut.
***
Keesokan harinya pagi-pagi sekali Huda bertolak menuju tempat pemotretan kepergiannya di lepas oleh Kaila dan Maryati di beranda rumah."Hati-hati di jalan, jangan lupa oleh-olehnya ya," teriak Kaila saat mobil yang membawa Huda mulai berjalan, dan Ibu mertuanya telah berlalu masuk ke dalam rumah.
Masih pukul tujuh pagi Kaila memberesi meja makan bekas sarapan pagi Huda. Setangkup roti bakar dan secangkir teh hangat telah habis tak bersisa.
"Ibu mau sarapan?" tanya Kaila saat Maryati berjalan melewati dirinya.
"Iya nanti saja, Ibu masih belum lapar," jawab Maryati lantas berlalu menuju taman belakang memberesi bunga-bunga miliknya.
Kaila kikuk, ia bingung mau berbuat apa dan bagaimana, di saat seperti ini ia jadi teringat rumah dan Ayah.
"Duh, Gusti beri hamba mu ini petunjuk lagian aku juga sudah berjanji pada Mas Huda," gumam Kaila mencari kekuatan melalui suara hatinya sendiri.
Kaila dengan hati-hati menyusul Ibu mertuanya.
"Ada yang bisa Kaila bantu Bu?" tanya Kaila memecah kebisuan.
"Ini Ibu sudah mau selesai kok oiya kamu bisa masak?" Maryati bertanya pada Kaila.
Sontak Kaila terkejut karena tak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu.
"Bisa Bu," jawab Kaila lirih ia takut salah ucap.
Maryati tampak manggut-manggut dan sejurus kemudian meminta Kaila untuk berbelanja sayur di warung depan rumah. Kaila tak bisa berkutik selain menyanggupi permintaan sang mertua.
Kaila cukup lama terpaku di hadapan berbagai macam sayur, kepalanya pening memikirkan kira-kira apa yang akan dimasaknya nanti karena Ayahnya tak pernah memaksanya untuk bisa memasak, selama ini ia lebih sering beli sayur yang sudah matang berikut lauk-pauknya.
"Hmm... pernah cuma beberapa kali masak sop sama tumis kangkung, ahaa... apa masak tumis aja ya cepat praktis bumbu cuma di iris-iris," batin Kaila senang. Ia pun segera mengambil beberapa ikat kangkung, telur, dan bumbu-bumbu.
Perlengkapan perang disiapkan tak lupa sebelum memulai, berulang kali mulut Kaila komat-kamit membaca doa, ia benar-benar khawatir akan hasil masakannya.
Iris-iris semua dan masuk di dalam wajan, tak beberapa lama kemudian bau harum mulai menguar, Kaila harap-harap cemas.
"Sepertinya sudah mau matang, baunya enak, jangan lupa kalau sudah bawa ke meja makan ibu mau mencicipi," kata Maryati yang tiba-tiba muncul dibelakang Kaila. Tak pelak jantung Kaila semakin berpacu bersamaan dengan keringat dingin yang mengucur.
Beberapa kali Kaila menarik nafas, mencoba untuk tenang dan tidak panik ia menyajikan tumis kangkung dengan telur dadar buatannya ke hadapan Ibu mertua.
Senyum mengembang di bibir Maryati tak sabar ia ingin menguji masakan menantunya itu.
Diambilnya sesendok nasi dan sayur bersama telur dan...
"KAILA... masakan apa ini? rasanya hambar, nggak enak, terus ini masak sayur nggak ada kuahnya kalau nanti Huda makan terus tersedak gimana?""Deg..." hancur hati Kaila mendengar omelan Ibu mertuanya, buliran bening yang ingin merangsak keluar berusaha ia tahan, ia tak mau terlihat lemah di depan Ibu suaminya itu.
Setelah minum seteguk air putih Maryati meninggalkan meja makan. Selang beberapa menit kemudian setelah di rasa aman Kaila menyendokan sedikit tumis kangkung hasil racikan tangannya kedalam mulut, perlu jeda sesaat untuk Kaila mengambil kesimpulan bahwa masakannya baik-baik saja untuk rasa juga lumayan.
"Ahhh... entahlah soal rasa mungkin perlu sedikit perbaikan, lha tapi ini masak tumis kan kuahnya memang asat tinggal sedikit gitu, kalau banyak ya jadi bobor atau bening kangkung dong?" geram Kaila dengan sikap Ibu mertuanya.
Dua Hari kepergian Huda cukup membuat Kaila stres, ternyata Ibu mertuanya benar-benar hendak mengujinya, karena sehari sebelum kepulangan Huda, Maryati meminta Kaila membuat kolak kacang hijau dan lagi-lagi apa yang di masak oleh Kaila tidak pernah benar di mata beliau.
"Apa kucabut saja janjiku pada Mas Huda, karena kenyataannya aku hampir runtuh dengan serbuan 'Ibu' yang bertubi-tubi?"
Kaila terdiam, di saat hening itu wajah Huda dan sang Ayah berlintasan di kepalanya.
"Ah... Tidak aku harus tegar demi mereka orang-orang yang kusayangi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Brownies Cinta
RomanceKetika Kaila dijodohkan ayahnya dengan Huda, seorang fotografer muda nan tampan, tanpa pikir panjang Kaila menerima. Akhirnya, pernikahan pun dilangsungkan, dan Kaila pun masuk dalam kehidupan Huda, dan ia pun tinggal bersama mertuanya yang telah be...