Sadar

36 1 0
                                    

Hariri mengusap wajahnya berulang kali, pikirannya kusut terbayang pertemuan singkatnya dengan Ratna. Ia pun mengarahkan kendaraannya tak tentu arah hingga, akhirnya memutuskan untuk menepi sesaat dipinggiran lapangan terbang yang kebetulan ia lewati, dan saat itu bertepatan pula dengan mendaratnya sebuah pesawat yang tampak dari kejauhan.

"Apa baiknya aku pergi saja, aku lelah dengan semua yang datang bertubi-tubi, tapi... aku bukan seorang pengecut," gumam Hariri menguatkan hati. Ia memacu kembali kendaraannya, hari ini ada janji untuk bertemu dengan salah seorang sahabatnya.

"Wah, sudah lama juga kita tak bersua," ujar Danu sambil menepuk-nepuk punggung Hariri. Kedua sahabat itupun lantas tertawa bersama.

Hariri pun menceritakan keadaan Huda dan pengaruh pelet serta kematian Cindy, Danu manggut-manggut sesaat.

"Hmm... kalau begitu pastinya akan lebih mudah, kamu shalat hajat dua rakaat setelah itu bacakan surat Al an-am: 103 sebanyak 333x kemudian tiupkan ke segelas air dan minumkan pada adikmu, atau mau gampang lagi ajaklah ia ke laut, air laut bisa meluruhkan sisa-sisa pelet yang masih tertinggal," terang Danu meyakinkan Hariri.

Seusai menyesap secangkir kopi dan sepotong pisang goreng yang telah dihidangkan oleh Eni istri Danu Hariri pun mohon diri dan berjanji kapan-kapan akan bertandang kembali.

Siangnya seusai melaksanakan shalat Dzuhur berjamaah, Hariri  mengajukan idenya untuk pergi liburan bersama ibu juga.

"Boleh Mas, aku lama juga nggak berendam," jawab Huda antusias. Akhirnya berangkatlah kedua kakak beradik itu bersama sang Ibu tercinta menuju pantai Carita.

"Liburan kok jauh banget to le'?" protes Maryati pada putra sulungnya.
"Nggak apa-apa Bu, kita udah lama nggak liburan bareng," jawab Hariri seraya tersenyum ke arah sang ibu.
"Iya, nikmati aja Bu," timpal Huda yang duduk di kursi belakang sembari menikmati sebungkus keripik pisang.

Akhirnya mobil melintasi pantai Carita, deburan ombak terdengar menyapa, Hariri bergegas membawa inovanya menuju resort yang diam-diam telah ia pesan.

Malam tak terasa mulai merangkak, usai menikmati makan malam ketiga ibu dan anak itupun menghabiskan waktu dengan karaoke bersama di sebuah karaoke, yang memang khusus untuk keluarga, semua  menyanyi tersirat wajah-wajah bahagia.

"Seandainya ada Kaila, Ratna dan juga Keke cucu Ibu di sini?" gumam Maryati lirih namun cukup membuat hati Huda dan Hariri mencelos.

Pukul dua belas malam Hariri memutuskan untuk shalat hajat dan meminumkan air hasil dari pembacaan surat Al An-am nya pada Huda.

"Semoga dengan ini segala ilmu pelet yang mungkin masih tersisa benar-benar bersih," batin Hariri penuh harap.

Keesokan harinya setelah shalat Subuh Hariri membimbing sang Ibu menyusuri pantai diikuti Huda yang berjalan beriringan, menikmati panorama pagi pantai Carita.

Ketiganya duduk-duduk dipinggir pantai, tak lama kemudian seseorang datang menghampiri mereka dengan nampan berisi menu sarapan pagi.

"Nah, itu sarapannya sudah datang ayo Bu," ucap Hariri bersemangat menikmati sepiring nasi goreng ditemani teh hangat dan senyum bahagia sang Ibu juga Huda yang pada kenyataannya 'sedikit' melupakan Cindy.

"Apa benar karena Cindy telah meninggal sehingga peletnya tak lagi bekerja?" gumam Hariri yang kurang begitu paham masalah ilmu pelet.

Beberapa saat seusai menikmati sarapan Hariri mengajak sang adik untuk berenang, sudah lama juga ia dan Huda tak beradu cepat menyelam seperti kebiasaan mereka dulu saat remaja.

"Yes, aku menang," pekik Huda saat mencapai bibir pantai lebih dahulu. Setelah puas dan merasa lelah keduanya memutuskan untuk membersihkan badan dan bergabung bersama Ibu apalagi, matahari tak terasa telah meninggi.

Ikan bakar menjadi menu makan siang ketiganya, setelah itu Hariri mengajak Huda dan Maryati menghabiskan waktu yang tersisa dengan berjalan-jalan ke Masjid Raya Banten. Maryati tampak mengagumi keindahan arsitektur yang ditawarkan oleh salah satu masjid  kuno yang masih tampak terawat ini.

Usai shalat Maghrib mereka kembali ke Carita resort, lelah yang mendera akhirnya Hariri dan keluarga memutuskan untuk lebih banyak beristirahat di kamar sebelum keesokan paginya mereka bertolak kembali ke Jakarta.
***
Kaila tampak gelisah, lusa adalah waktu untuk mediasi yang diberikan oleh pihak pengadilan, tak pelak bayang-bayang Huda kembali menghiasi pelupuk matanya.

Ia yang menginginkan perceraian ini, tapi hatinya gamang karena,  perasaannya pada Huda sebenarnya masih sama, hanya karena rasa 'sakit' yang ia rasakan membuatnya mengambil keputusan ini.

Wajah Huda dan perempuan brengsek itu kini silih berganti hadir, seolah mentertawakan dirinya.
"Ya Allah, beri hamba mu ketetapan hati, jangan biarkan terombang-ambing," desisnya, bersamaan dengan sebuah ketukan di pintu.

Kaila buru-buru menghapus air matanya yang tak terasa telah membasahi kedua pipinya yang kini nampak tirus.

"Iya sebentar," Kaila membuka pintu kamarnya, tampak Nurul berdiri di ambang pintu.
"Hai Kai, hari ini kita jadikan mau buat brownies batik?" tanya Nurul dengan senyum mengembang, Kaila mengangguk cepat, ia berusaha menyembunyikan kesedihan dari sahabatnya itu.

Keduanya langsung tenggelam dalam keseruan mengaduk tepung, mengocok telur, melumerkan cokelat hingga bermain warna untuk motif batik yang cantik.

"Hari ini kita panggang lagi adonan browniesnya, aku masih penasaran nih, soalnya hasilnya kemarin masih sedikit gosong kan," ujar Kaila yang disambut tawa Nurul mengingat percobaan mereka.

Setelah menyiapkan oven Kaila mulai menyemprotkan adonan dasar membentuk motif, prosesnya lumayan karena setelah itu masih harus dimasukkan ke dalam lemari pendingin hingga mengeras kira-kira lima menit, baru tuangkan sebagian adonan dan di panggang selama dua puluh menit.

Proses selanjutnya memanggang sisa adonan yang ada dan terakhir olesi dengan selai strawberry lalu ditumpuk dengan adonan bermotif.

"Taraaa...  Brownies batik strawberry siap dinikmati," teriak Kaila senang, ia berhasil menaklukkan ketakutannya sendiri menggunakan oven. Kaila memeluk Nurul tak lupa ia mengucapkan terima kasih tak terhingga karena berkat dorongan Nurul lah brownies panggang hasil racikan tangannya bisa tersaji dihadannya kini.

"Waktunya icip-icip," ujar Kaila usai memberesi oven dan peralatan membuat kue lainnya dibantu oleh Nurul.

Prapto mengacungkan ibu jarinya setelah mencicipi seiris brownies yang disodorkan oleh sang putri.

"Siap buka gerai nih," komentar Nurul sembari tertawa senang melihat kemajuan sahabatnya sementara Kaila tersenyum penuh arti, selangkah lagi usahanya tak akan sia-sia.

Langkah selanjutnya Kaila sibuk mengupload gambar brownies buatannya itu ke media sosial selain itu ia juga mencoba pangsa pasar dengan menitipkannya pada toko-toko disekitar rumah.

"Tinggal tunggu respon dari para customer," batin Kaila bersemangat.

"Kenapa nggak coba tawarkan juga di grup WAG Keluarga, teman Sekolah dan juga teman kuliahmu," saran sang Ayah.

Kaila menepuk jidatnya karena melupakan jalan lain yang mudah untuk di coba, bergegas ia melakukan promo di grup keluarga.

"Promo : Brownies Kaila, bukan hanya rasa original tapi juga berbagai varian mulai dari brownies gulung hingga batik"

Berbagai chat dan komentar bermunculan;

"Apa bedanya dengan brownies yang sudah ada dipasaran?"

"Aku pesan 1 box ya Kai."

Kaila menarik nafas lega, ia tahu pasti ada saja yang mencibir tapi tak sedikit pula yang mendukung.

"Semoga ini bisa jadi awal yang baik," gumam Kaila mantap.












Brownies CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang