Membangkang

39 2 0
                                    

"Sudahlah aku nggak mau tahu masalah Kaila, kalau memang dia mau pergi silakan saja, toh bukan aku yang usir," ucap Huda dengan mata melotot menahan emosi.

"Huda! Jaga bicaramu, kau sedang bicara di depan Ibu, yang sopan!" Bentak Hariri.

Hariri akhirnya memutuskan untuk pulang menyelesaikan masalah Huda dan menanti kelahiran sang buah hati.

"Ah, persetan! rumah ini sudah kayak neraka, lebih baik aku pergi dari sini," teriak Huda sambil melangkahkan kakinya meninggalkan rumah.

Maryati terisak sembari memanggil-manggil Huda. Sementara Hariri berusaha mengejar Huda tapi adiknya itu keburu melesat bersama Inova abu-abu kesayangannya.

Hariri terduduk lemas di kursi ruang tamu, ia bingung dengan sikap sang adik yang tiba-tiba menjadi liar dan kasar.

"Gimana Har, adikmu?" tanya Maryati yang muncul dari ruang dalam.

"Ibu yang sabar, Hariri janji akan membawa Huda kembali," jawab Hariri, menenangkan Maryati. Kedua Ibu dan anak itu lantas berpelukan menahan rasa yang tak menentu.
***
Kaila sudah berdandan mengenakan baju terbaiknya sembari memoles bedak tipis-tipis menyamarkan wajahnya yang sembap usai menangis semalam.

Seulas senyum mengembang di bibir Prapto, ia lega melihat sang putri sudah sedikit tenang.

"Yah, Kaila mau ke pasar sebentar bareng Mbak Nurul ya," pamit Kaila sembari mencium tangan sang Ayah, Prapto mengangguk kecil diikuti tatapan iba.

"Hari ini kamu mau masak apa Kai?" Tanya Nurul sambil sibuk memilih sayur terong.

"Aku mau masak oseng buncis ajalah, sama goreng udang," jawab Kaila, setelah mendapatkan semua bahan yang akan di masak, Nurul mengajak Kaila mampir ke kios buah.

"Hei... Lihat lucu banget Mbak, kayaknya bagus juga kalau jadi hiasan dinding atau dijadiin kalung," ujar Kaila sembari menatap takjub hiasan yang terbuat dari kayu ada juga yang dari plastik yang letaknya bersebelahan dengan kios buah.

Nurul mengikuti telunjuk Kaila, dipicingkannya mata sesaat kemudian ditepuknya pundak Kaila pelan seraya menarik Kaila sedikit menjauh. "Kai, mending beli yang lain aja."

"Kenapa Mbak?"
"Itu namanya dream cacher gunanya untuk menangkap mimpi."
Kaila memasang wajah heran.
"Iya kepercayaan orang Indian, Amerika jaman dulu mereka percaya kalau benda itu bisa menghindarkan dari mimpi buruk, kenapa? Karena mimpi buruk pasti akan tertangkap oleh jaring-jaring yang ada pada 'alat penangkap mimpi' itu. Bukan itu saja barang itu juga dipercaya sebagai jimat," jelas Nurul panjang lebar.

"Bukankah dalam agama kita, yang demikian itu disebut musyrik, mungkin yang dibuat saat ini tidak mempunyai kekuatan mistis akan tetapi setan mudah datang di mana saja, jadi lebih baik kita menghindari," tutup Nurul mengakhiri penjelasan.

Kaila manggut-manggut sesaat tanda mengerti, setelah itu ia mengajak Nurul untuk bergegas pulang sebelum mentari meninggi.

Saat Kaila tengah asyik memotong-motong buncis, Parto datang mendekati sang putri.

"Nduk, ayah mau bicara sebentar."
"Iya Ayah," jawab Kaila sembari meletakkan pisau untuk kemudian duduk di meja makan tempat Prapto menunggu.

"Kai, niatmu untuk bercerai apa sudah bulat? Pernikahan kalian masih berjalan tujuh bulan ibarat bayi masih usia prematur, saran Ayah selidiki dan bicaralah baik-baik bersama Huda."

"Apa lagi yang perlu di selidiki Ayah, semua sudah jelas, mana ada di tempat umum berpelukan, seakan belum puas lanjut berduaan di tempat tidur padahal diantara mereka tidak ada ikatan apapun," ucap Kaila berapi-api.

Prapto mendesah pelan. Dipandanginya wajah putri kesayangannya itu dengan mata teduh.

"Nduk, dengar Ayah taruhlah Huda memang salah tapi kepergian mu dari rumah itu tidak dibenarkan, apalagi Ibu mertuamu juga ada beliau  tinggal di sana, baiknya kamu temui suami mu, percayalah penawar orang sakit adalah obat sedangkan penawar
masalah adalah duduk, bicara dan pecahkan bersama, bisa juga dengan bantuan orang ketiga."

Kepala Kaila menunduk sambil memandang kedua ujung kakinya, ia tak berani menatap wajah sang Ayah yang terlihat letih.

"Besok berjanjilah, kamu akan kembali ke ke rumah mertuamu dan selesaikanlah apa yang sudah kamu mulai."

"Maaf Ayah, keputusan ku sudah bulat tapi aku janji akan menemui Ibu dan meminta maaf pada beliau," jawab Kaila lirih.

"Baiklah kalau memang itu sudah menjadi keputusanmu tapi ada baiknya kamu pertimbangkan lagi, sebelum menyesal," nasihat Parto mengingatkan.

Keesokan harinya Kaila mendaftarkan gugatan cerainya ke kantor pengadilan Agama dengan di dampingi oleh Nurul.

"Kai, apa kamu sudah memikirkan baik dan buruknya dan apa nggak terlalu cepat keputusan ini di ambil?" tanya Nurul hati-hati.

"Aku sudah cukup sakit Mbak jadi lebih baik begini," ujar Kaila dengan suara bergetar.

Sementara itu Huda berada di rumah Cindy, keduanya tampak bahagia.
"Jadi kapan Abang mau menikahiku,"
rajuk Cindy manja.

Huda menarik nafasnya sesaat, dipandanginya lekat sosok Cindy.
"Secepatnya sayang, sabar sebentar aku hanya perlu meyakinkan Ibu."

"Bagus Mas, dan selangkah lagi aku akan menjadi isterimu, sementara perempuan itu terdepak dari sisimu," gumam Cindy girang dalam hati.

Seorang kurir datang mengantarkan sebuah amplop cokelat berkop surat pengadilan agama.

Tangan Maryati gemetar menerima amplop itu.
"Ya Allah Gusti, apalagi ini?" Maryati menjerit sambil terisak. Bersamaan dengan itu Huda tahu-tahu muncul, ia bergegas masuk ke dalam rumah tanpa memedulikan sang Ibu.

Maryati langsung mengikuti langkah Huda dari belakang, sesampainya di depan pintu kamar Maryati menyerahkan amplop itu ke tangan Huda.

"Hmm sudahlah... Terserah perempuan itu, aku tak peduli lagi," Huda meletakkan kertas itu di atas meja begitu saja untuk kemudian asyik memasukan beberapa potong pakaiannya ke dalam tas jinjing berukuran sedang.

"Huda, mau ke mana lagi kamu? Kamu sudah benar-benar ingin berpisah dari Kaila, karena apa, karena perempuan yang telah membutakan mata mu?" tanya Maryati penuh emosi.

Alih-alih menjawab, Huda justru dengan santainya melangkahkan kakinya keluar tanpa menoleh lagi bahkan teriakan Maryati di acuhkannya.

"Ya Allah le' bener-bener keblinger kowe, setan opo sing wes nemplok nang awakmu iku," geram Maryati kecewa dengan sikap putra bungsunya itu.

Maryati terduduk dalam sedu sedan meratapi peristiwa demi peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini.

Maryati lagi-lagi menghubungi Hariri, ia bingung dan merasa hanya Hariri lah satu-satunya harapan untuk bisa menuntaskan masalah sang adik.

Keadaan yang semakin pelik membuat Hariri akhirnya berinisiatif untuk menyelidiki Huda laiknya seorang detektif.

"Karena diajak bicara juga sulit yang ada justru emosi dan tidak ada titik temu mungkin inilah jalan satu-satunya Bu." Hariri mengemukakan pendapatnya. Maryati setuju saja asalkan masalah cepat selesai.

Sebuah jaket kulit, topi pet, kacamata hitam sudah melekat sempurna di badan Hariri, saat ia keluar dari kamar.

"Mau ke mana Mas dandan begitu?" Ratna memicingkan sebelah matanya, menyaksikan semua properti yang tengah di pakai sang suami.

"Stt... Aku lagi mau coba ikut karnaval," jawab Hariri asal.

Berbagai macam dugaan  bermunculan di kepala Ratna.

Note :
Ya Allah le' bener-bener keblinger kowe, setan opo sing wes nemplok nang awakmu iku? : Ya Allah le' benar-benar keblinger kamu, setan apa yang sudah mengikutumu itu.




Brownies CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang