Mentari masih muncul malu-malu dari balik rerimbunan pohon, Ratna menepati janjinya untuk datang kembali.
"Pagi-pagi sudah sampai ke mari, Keke sudah selesai urusan pindah sekolahnya?" tanya Maryati sembari menyirami tanaman dihalaman depan.
Anggrek dan mawar menempati peringkat teratas favorit Maryati, karena jenis ini yang paling banyak di temui di taman depan maupun belakang, Maryati amat telaten mengurusi berbagai macam bunga.
"Alhamdulillah sudah Bu, minggu depan baru awal masuk setelah libur panjang," jawab Ratna sambil wajahnya celingukan seperti mencari-cari sesuatu.
"Kamu cari apa? tegur Maryati saat melihat Ratna.
"Itu, Kaila mana ya Bu?"
Maryati tersenyum kemudian menjelaskan kalau Kaila tengah berbelanja ke pasar, demikian juga Huda sudah berangkat pagi-pagi sekali ada pemotretan lagi di luar Jakarta.
Keduanya memutuskan untuk duduk-duduk di gazebo.
"Kamu nginap di sini kan?"
"Iya Bu tapi ndak bisa lama karena lusa Mas Hariri sudah harus balik ke Makassar.""Oh ya suami sama anakmu mana?" tanya Maryati yang baru menyadari sedari tadi tak mendengar celotehan cucunya.
"Masih cari sarapan, sebentar lagi juga datang kok Bu." Benar saja tak lama kemudian sebuah mobil tampak memasuki halaman.
Keke turun membawa sekeresek bungkusan berisi sarapan yang ia serahkan pada Ratna.
"Kita makan di sini saja ya Bu, mumpung cuacanya lagi bersahabat udaranya juga sejuk," usul Ratna yang langsung di setujui oleh Ibu dan Hariri. Mereka melanjutkan berbincang sambil menanti Kaila.
"Ngomong-ngomong soal Kaila kesibukannya sehari-hari ngapain ya Bu?" Tanya Ratna ingin tahu.
Maryati terdiam sesaat, kemudian ia pun menceritakan panjang lebar tentang Kaila, juga soal rencana Maryati ingin membuka kembali toko kuenya dan saat ini tengah menantang Kaila untuk belajar membuat kue dalam waktu enam bulan.
Hati kecil Ratna tiba-tiba mendidih kenapa Maryati tak langsung saja menunjuk dirinya yang mengelola bisnis ini, yang notabene sudah ia kuasai.
"Awas kau Kaila, anak kemarin sore saja kok mau mentang-mentang di sini," gerutu Ratna sebal.
"Mau buat kue lagi Kai, nanti aku bantu ya?"
"Oh, ya Mbak habis sarapan aku mau langsung buat," jawab Kaila sambil memberesi sisa-sisa bungkus bubur ayam.
***
"Mau buat brownies lagi nih?"
"Ya, begitu lah Mbak biar mahir dulu baru juga tiga hari," jawab Kaila malu.Keduanya lebih banyak bekerja dalam diam, sesekali Ratna melirik ke arah Kaila diperhatikannya cara perempuan bertubuh mungil itu mengunakan mixer.
"Huh, kelihatan banget kalau dia nggak bisa buat kue, caranya memegang mixer, bahasa tubuhnya kaku banget," dengus Ratna. Ia pun menyerahkan cokelat blok yang telah selesai ia tim pada Kaila.
"Ini Kai..."
"Terima kasih Mbak," jawab Kaila seraya menerima cokelat leleh itu dan mencampurkannya ke dalam adonan.Ratna yang melihat itu rasanya gemas banget, ia ingin sekali menegur Kaila dan mengambil alih adonan, untuk segera dieksekusi menjadi sebuah brownies sedap, tapi ia tak mau terlihat frontal.
"Kai, bisa aku bantu?" Ratna pura-pura menawarkan bantuan.
"Nggak usah mbak, aku biar sekalian belajar," tolak Kaila sehalus mungkin."Kamu nyiapin buat makan siang gih, nanti aku yang urus browniesnya," ujar Ratna lagi.
Kaila akhirnya menyerah juga diserahkannya adonan yang tinggal tahap pengukusan itu ke tangan Ratna.
Ratna dengan cekatan memasukkan adonan ke dalam cetakan, tangannya terampil sekali. Kaila yang mencoba mencuri pandang sempat terbesit rasa kagum di dalam hatinya.
"Aku harus belajar lebih giat lagi, tak ada kata menyerah," batin Kaila menyemangati diri sendiri.
Setengah jam berlalu Ratna membuka tutup Klakat, hasilnya brownies mengembang dengan sempurna.
"Wah... bagi-bagi resepnya dong mbak hasilnya kok bisa Bagus seperti itu?" Tanya Kaila penasaran.
Ratna hanya tersenyum kecil, ia kemudian memberesi peralatan dan menaruhnya di tempat cuci piring, setelah itu tangannya sibuk mengeluarkan brownies dari cetakan, mengirisnya dan meletakkannya di atas piring.
Maryati muncul dari ruang dalam, tawa merekah di bibirnya demi melihat brownies cantik tersaji di depan netranya.
"Wah, kerja bagus Kai..." pekik Maryati.
Kaila hanya bisa tertunduk lesu ia tak sanggup menatap wajah Ibu mertuanya."Emm... maaf Bu itu hasil karya saya," ujar Ratna santai seolah tanpa beban.
Maryati yang mendengar itu hanya bisa menggelengkan kepala."Kenapa kau lakukan itu Ratna? biarkan Kaila berproses," ucap Maryati dengan suara sedikit keras.
"Arghh... sial!, justru anak brengsek itu dia bela," gerutu Ratna. Ia merasa ibu mertuanya itu sakit, karena mau-maunya menunggu seseorang untuk belajar terlebih dahulu, kalau memang tujuannya mau membuka usaha kembali mustinya cari orang yang ahli di bidangnya.
Ratna merasa Maryati tak ada di pihaknya, akhirnya ia memilih untuk meninggalkan dapur dengan alasan mau mencari putrinya Keke.
"Aku harus memikirkan cara supaya anak ingusan itu terdepak dari rumah, mungkin setelah itu baru Ibu tahu, mana yang seharusnya layak meneruskan usahanya," dengus Ratna kesal.
Sejak peristiwa pagi tadi Ratna memilih untuk lebih banyak diam, Kaila merasakan perubahan itu, tapi ia bisa apa kecuali ikut bisu.
Keesokan harinya Ratna dan Hariri pamit pulang.
"Aku pulang dulu ya dik Kaila, titip Ibu oiya salam buat Huda," tutur Hariri sambil menepuk-nepuk pundak Kaila.
"Hariri pamit Bu, besok mau balik ke Makassar."Ibu memeluk putra sulungnya itu sembari membelai rambut cepak Hariri dan berbisik "Hati-hati ya le, kerja yang sungguh-sungguh."
Hariri membalas pelukan sang Ibu di iringi sebuah anggukan kecil.Sebelum melangkah keluar Ibu memeluk cucunya dan berpesan untuk sering-sering main kemari.
"Siap Uti," jawabnya sambil diikuti gerakan tangan di dahi membuat sikap hormat.Sementara Ratna tetap dalam aksi diamnya, bicara seperlunya demikian juga waktu acara pamitan ia hanya menjabat tangan dan sungingan senyum sebagai pemanis.
"Waktu adalah emas, mungkin pepatah itu ada benarnya juga," gumam Ratna. Otaknya kini di penuhi dengan rencana-rencana untuk menjatuhkan Kaila.
"Dari tadi diam saja, sakit?" tanya Hariri khawatir.
"Nggak kok mas."
"Oh, aku tahu kamu sedihkan aku mau kembali bertugas besok?"
"Idih jangan geer deh mas," ucap Ratna sambil mencubit manja lengan Hariri. Keduanya tertawa bersama."Sstt... jangan ribut Keke lagi tidur tuh," ucap Ratna setengah berbisik sambil melirik sang anak yang tengah terlelap di kursi belakang.
Sebenar dalam hati Ratna sangat senang besok sang suami sudah harus kembali bertugas sebagai salah seorang abdi negara, itu berarti akan semakin memuluskan rencananya.
"Jaga kandunganmu ya, nggak usah bekerja terlalu berat juga jangan mikir macam-macam, sesuai pesan dokter terakhir kemarin, karena kandungan mu lemah," ucap Hariri sebelum masuk ke pesawat yang akan membawanya terbang ke kota yang mendapat julukan sebagai kota angin mammiri itu.
Keduanya lalu berpelukan, setelah itu Hariri mencium Keke, putri sulungnya.
"Anak Ayah jangan nakal, jaga ibu dan juga adikmu yang ada diperut, oke komandan," seru Hariri lantang.
"Siap!" Jawab Keke tak kalah kerasnya dengan suara sang Ayah. Hariri kemudian mengacak rambut putrinya seraya berbisik. "Gitu dong, anak polisi harus tegas, nggak boleh cengeng."
Hariri pun berbalik, ia berjalan menjauh diikuti ekor mata orang-orang yang amat disayanginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brownies Cinta
RomanceKetika Kaila dijodohkan ayahnya dengan Huda, seorang fotografer muda nan tampan, tanpa pikir panjang Kaila menerima. Akhirnya, pernikahan pun dilangsungkan, dan Kaila pun masuk dalam kehidupan Huda, dan ia pun tinggal bersama mertuanya yang telah be...