Seharian berdiam diri di kamar membuat pemuda bersurai ash brown itu bosan, berniat mengambil makanan di dapur, meskipun sangat terlambat baginya untuk makan malam mengingat saat ini jarum jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Kaki jejangnya melangkah perlahan menyusuri anak tangga yang berada di tengah ruangan. Rumah besar itu gelap gulita, hanya mengandalkan pencahayaan dari sinar bulan malam hari yang terpantul dari air kolam yang tenang. Nampak suram dan dingin. Pemuda itu juga tak berniat untuk menyalakan lampu, membiarkan keheningan dan kegelapan menyelimuti.
Baru saja hendak kembali ke kamar setelah mengambil sepotong sandwich dan cola dingin. Pemuda itu berhenti di ruang tengah, menatap kearah sofa yang sepertinya tidak kosong.
“Ngapain lo pagi buta di rumah orang? Mau maling ya.”
Dalam cahaya temaram, sosok itu tersenyum.
“Tamu dateng bukannya ditawarin makanan malah dituduh maling, lagian nggak ada salahnya dateng ke rumah sepupu sendiri.”
Pemuda itu enggan menanggapi sosok didepannya tetapi mengingat jika seorang Samudra rela pergi ke rumahnya di jam yang tidak wajar begini. Tentu saja membuatnya harus meladeni tuan muda keluarga wijaya itu.
“To the point aja lah, kenapa lagi?”
Samudra tersenyum simpul, membenarkan letak kemejanya yang nampak kusut. Ada bekas darah di pergelangan kemeja itu. “Mau ketemu lo, lah.”
Mendudukkan diri di sofa yang berhadapan dengan sepupunya, pemuda itu membuka kaleng cola miliknya. “Enggak usah ngaco. Buruan jelasin atau gue tinggal balik ke kamar.”
“Iya iya... lo emang nggak bisa dibaikin dikit.” Samudra memajukan posisi duduknya yang semula bersandar pada sofa menjadi lebih condong. Raut wajahnya berubah serius, manik matanya menatap sepupunya itu dengan penuh arti. Samudra terdiam beberapa saat sebelum menghela nafas dan bergumam.
“Gue pengen ngobrol aja sama lo, boleh?”
Sepupunya itu hanya mengangguk sebagai jawaban.
“Lo pernah kepikiran arti hidup lo di dunia ini nggak? Selain fakta soal lo anak dari kedua orang tua lo, atau tentang lo yang ternyata sepupu gue. Maksud gue... arti dari keberadaan lo... pokoknya gitu deh, gue nggak pandai nyusun kalimat. Intinya menurut lo apa arti seorang Sabiru Langit di dunia ini?”
“Gue paham kok.” Biru meletakkan kaleng cola yang isinya tinggal separuh itu di meja. Membenarkan posisi duduknya senyaman mungkin, kemudian balik menatap Samudra yang nampak kacau. Sepupunya itu hanya mendatangi dirinya dalam keadaan paling kacau dalam hidupnya, terhitung sejak mereka masih kanak-kanak saat semuanya masih baik-baik saja.
“Bagi gue keberadaan Sabiru Langit ya sebagai Sabiru Langit. Nggak ada hal spesial yang bisa dia lakuin, bahkan hal remeh aja bisa jadi sesuatu yang besar buat dia. Selain nggak bisa apa-apa, Sabiru Langit juga cacat. Manusia rusak yang entah sampai kapan keberadaannya ini tetap dipertahankan, padahal lebih baik menjadi tiada daripada menyusahkan banyak orang.”
Samudra tertegun mendengar pernyataan Biru. Baginya, Biru adalah sepupu yang paling berharga. Meskipun ikatan darah mereka hanya sebatas sepupu jauh, tapi keberadaan Biru cukup membuat luka di hatinya membaik. “Lo nggak cacat dan jangan pernah bilang gitu lagi!!”
Biru tersenyum samar, “Lo nggak lupa kan tentang pernyataan dokter sepuluh tahun lalu? Bahkan gue masih ingat betul namanya, PCT* atau lo lebih familiar sama vampire disaes.”
Bagaimana Samudra bisa lupa bahkan saat itu dirinya lah yang ikut mendengarkan pernyataan dokter waktu itu, bukan kedua orang tua Biru, melainkan sepupu jauhnya. Samudra yang saat itu di temani Mamanya mengantarkan Biru yang terus mengerang sakit setelah seharian bermain di pantai bersamanya. Siapa sangka jika hari itu adalah hari paling kelam bagi sepupunya. Bukannya menangis, Biru justru dengan polos bertanya pada Mama nya, “aunty, if I die young, will mom and daddy cry for me? Will they look at me again, aunty? If that sick can bring back my mom and daddy again, I’m not sad anymore.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta 1.0 - Stray Kids ✔ [REVISI]
KurzgeschichtenStray kids versi lokal [AU] Katakan pada Samudra jika semua akan baik-baik saja. Rimba bilang pada Jingga untuk jangan menyerah. Bintang, katakan pada Angkasa untuk tetap bertahan sebentar lagi. Senja, jangan menyalahkan diri sendiri. Bumi, tolo...