0.2 Rimba

5.3K 670 31
                                    

Burung-burung walet nampak berjajar rapi di kabel-kabel listrik pinggir jalan. Bertengger dengan tenang, beberapa diantaranya nampak seperti bercakap-cakap dengan teman lama. Satu persatu datang dan bertengger manis, hingga membuat gerombolan. Awan mendung dengan langit sewarna jingga menjadi latar pertemuan singkat sekawanan burung walet itu.

Rimba yang berjalan dibawahnya kemudian tersenyum kecil, mengamati dalam diam. Seolah sedang mencoba memahami apa yang sedang mereka bicarakan, tentu saja dirinya tak dapat berkomunikasi dengan makhluk berbeda jenis. Berbicara dengan manusia saja terkadang masih menimbulkan kesalahpahaman karena berbeda penyampaian. Lalu bagaimana berbicara dengan burung. Mungkin dia akan dikatai sebagai orang tak waras.

Pemikiran usil muncul dibenaknya. Membungkuk guna mengambil kerikil kecil dan melemparkannya keatas. Tak sampai mengenai burung-burung itu hanya saja membuat mereka terkejut dan berakhir berterbangan ke segala arah. Sebelum beberapa saat kemudian kembali bertengger di kabel-kabel listrik seolah tak terjadi apapun.

Saat dirinya akan kembali meneruskan langkah, ada sesuatu yang mengenai bahunya. Membuatnya mengaduh dan meringis kecil karena terkejut, reflek menoleh kebelakang guna mencari siapa yang berani melemparnya. Manik coklatnya bertemu pandang dengan sepasang manik coklat muda. Rimba tertegun sebentar. Mengamati bocah lelaki yang sedang memberenggut dan menatapnya dengan pandangan tak suka. Dileher nya terkalung kamera DSLR.

“Gara-gara lo! Gua jadi nggak bisa dapet gambar burung waletnya. Mereka keburu terbang gitu aja, padahal tadi gue nungguin mereka biar ngumpul banyak.”

Rimba kembali terkejut saat bocah bersurai abu-abu itu berbicara, suaranya tak sebanding dengan wajah kekanakan itu. Rimba tersenyum geli.

“Yakin? Udah coba liat hasil foto lo belum, kali aja hasilnya beda sama apa yang lo tuduhkan barusan.”

Anak lelaki itu tampak berpikir sebentar, kemudian mengecek hasil jepretannya tadi. Satu senyum kecil terbit diwajahnya. “Lumayan sih” gumamnya sembari terus menggulir foto.

“Makanya lain kali tuh periksa dulu, baru ngomel. Mana sakit lagi dilempar kerikil.” Rimba mengomel kemudian.

Membuat bocah laki-laki itu kembali mendongak, “Iya deh maaf. Omong-omong nama gue Ari, Matahari.”

“Panggil aja Rimba dan sampai ketemu,” Rimba kembali berjalan menjauh. Mengingat jika malam nanti ada tugas yang harus di inputnya. Rimba tersenyum samar, “lagi”. Sebelum benar-benar menghilang.

Siapa sangka pertemuan antara dirinya dan bocah laki-laki bernama Matahari tadi justru membawanya pada pertemanan selayaknya saudara. Jika dirinya bertemu dengan Ari dengan tidak sengaja, maka pertemuannya dengan enam orang lainnya sungguh mengejutkan.

Ini, Rimba Adiyana, aslinya tsundere pake banget. Galak kalau ada yang gangguin padahal dia sendiri usil banget. Tipe yang nggak bisa mengungkapkan kasih sayang secara langsung padahal hatinya selembut kapas. Enggak deh, dia juga tegaan sama orang. Si peramal yang cinta mati sama ketiga anaknya (re; kucing).

Tinggal di rumah kos yang isinya manusia yang hampir satu spesies, aneh. Maksudnya dalam konteks baik ya, bukan yang enggak-enggak kok. Nanti kalau ada waktu bakalan Rimba kenalin penghuni kos tujuh.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Semesta 1.0 - Stray Kids ✔ [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang