Note 8 : About Him

237 43 0
                                    

“Jadi kalian bertemu dengan Akazukin-kun?” tanya Amuro pada keesokan hari setelah aku menjelaskan secara singkat kejadian malam.

“Iya, dia ada di sekolah itu.”

“Lalu bagaimana keadaannya? Apa dia seperti yurei atau oni?”

Aku meneguk teh yang yang dia suguhkan, sejenak melirik Hinako yang masih tertidur. Kami tidur larut dan mengalami banyak kejadian mengerikan, apalagi untuk anak sekecil dia. Hinako benar-benar anak yang tangguh dalam situasi ini.

“Aku sulit menjelaskannya padamu, Amuro-san,” ujarku lirih. “Aku hanya bisa memberikan kesan bahwa dia adalah arwah yang menyedihkan.”

Amuro memberikanku beberapa lembar kertas yang berisi banyak kata. “Selama kalian pergi, aku berusaha mencari tahu seluk beluk Akazukin-kun. Aku mencari sebanyak yang aku bisa, tapi itulah hasil terbaiknya.”

Aku membaca cepat dokumen-dokumen itu setelah mendengarkan ucapannya. Banyak berita dan gossip baik soal sekolah lama, Guru Olahraga, maupun dari Akazukin-kun. Semua berita itu dimulai sejak empat tahun yang lalu.

Terbantu artikel yang telah aku baca sebelumnya, berita tentang hubungan Akazukin-kun dengan ayahnya jadi lebih jelas setelah aku membaca dokumen Amuro. Akazukin-kun menjadi anak angkat Guru Olahraga setelah diserahkan oleh ayahnya yang meninggal karena sakit. Ayah Akazukin-kun dan Guru Olahraga itu adalah teman dekat, itulah alasan kenapa Akazukin-kun diserahkan padanya.

Berita lainnya adalah alasan kenapa sekolah itu ditutup. Narasumber yang tertera adalah salah satu guru di sekolah lama. Setelah Guru Olahraga menghilang, guru itu menceritakan apa yang dia lihat ketika Guru Olahraga masih mengajar.

Berkaitan ‘pelajaran khusus’ yang diberikannya pada Akazukin-kun, apa yang dilakukan Guru Olahraga adalah melatihnya basket dengan keras. Akazukin-kun dan ayahnya menepi di gymnasium setelah senja. Latihan basket itu bukanlah latihan basket biasa, melainkan latihan mengerikan yang tidak akan diketahui orang lain. Akazukin-kun dihukum jika tidak menurut sampai ayah angkatnya puas.

Hukuman yang diterima menurut narasumber yang tertera adalah … Akazukin-kun dilempari bola basket untuk melampiaskan kemarahannya. Itu sebuah kekerasan, sayangnya Sang Narasumber sendiri tidak berani melaporkan hal itu selama Guru Olahraga mengawasinya. Semua orang segan pada pria itu karena dia keras hati dan senang main tangan. Akhirnya setelah berita itu merebak, sekolah pun ditutup, yang akhirnya membuat narasumber ini berani buka mulut.

“Ini mengerikan,” gumamku miris.

Latar belakang keluarga Akazukin-kun menjadi hal yang kubaca di akhir dokumen. Anak itu dulu berasal dari keluarga atlet basket di Jepang, tapi dia hidup hanya dengan ayahnya karena ibunya sudah meninggal. Begitu Akazukin-kun tumbuh, ayahnya yang seorang atlet basket menyusul ibunya karena sakit. Dengan takdir yang demikian, Guru Olahraga akhirnya menerima Akazukin-kun menjadi anak angkatnya.

Awalnya dia anak yang baik, tapi dia jatuh ke kegelapan karena berada di tangan yang salah. Akazukin-kun yang malang.

“Kau sudah selesai membacanya, jadi aku akan membahas sesuatu denganmu Natsume-san.”

Amuro memangku kepalanya di atas meja, memandangku lurus. “Apa kau sudah pergi ke gymnasium?”

“Belum, kami terhenti setengah jalan,” kataku seraya menggeleng dan mengetuk-ngetuk meja. “Lebih tepatnya, Akazukin-kun menghentikan kami.”

“Kalian diserang?”

Aku juga kembali menggeleng menjawab pertanyaan itu. “Saat kami menyelidiki koridor, seorang penjaga melacak kami. Aku dan Hinako berusaha bersembunyi darinya karena kami tidak ingin membuat masalah, tapi tiba-tiba saja penjaga itu diserang oleh Akazukin-kun dengan brutal.”

Ekspresi Amuro menjadi terlihat menyakitkan seakan-akan dialah yang melihat betapa malangnya penjaga itu dihantam Akazukin-kun. “Astaga, itu buruk. Dia mati?”

“Entahlah, dia lari begitu saja sambil berteriak kesakitan.”

“Lalu bagaimana dengan kalian?”

Mengembalikan memori masa lalu, aku menghela napas. “Terima kasih atas strategi rambutmu, kami selamat. Akazukin-kun mengira diriku perempuan, dan dia tidak menyerang perempuan dan anak-anak. Aku serasa diberinya kesempatan kedua untuk hidup, hah ….”

Amuro yang di depanku mengelus dagu, sepertinya dia sedang berpikir. Aku kembali menghela dan menghampiri Hinako yang masih terlelap tak jauh dari kami.

Sebenarnya aku tidak mau membangunkannya, tapi ini sudah siang dan kupikir tidak baik terlalu banyak beristirahat. Walaupun fakta bahwa anak kecil seperti dia pasti memiliki waktu berat menghadapi hal ini, akupun juga melakukan ini untuk Hinako.

“Hinako-san, bangunlah.”

Hinako bergerak pelan, matanya mengerjap tidak senang. Dia bangun dengan wajah sulit. Aku jadi menyesal sudah membangunkannya.

“Uhhh … selamat pagi … Natsume-niisan,” sapanya perlahan.

“Apa kau merasa baikan?”

Hinako tercenung dan menunduk. Rambut panjangnya yang berantakan berjatuhan sedikit demi sedikit. “Entahlah, aku tidak tenang karena bermimpi soal Akazukin-kun.”

Kutelengkan kepalaku dan mengamatinya seraya bertanya, “Apa yang kau impikan?”

Hinako mengatupkan kedua tangannya dan meletakkannya di dadanya, berbisik dengan nada sedih. “Dia menangis dan berteriak di suatu tempat yang luas, meminta tolong sambil menyebut ‘ruby’ berkali-kali. Itu sangat membuatku sedih ….”

Hal itu lagi? Apa kaitannya ruby itu dengan Akazukin-kun?

“Baiklah, tenangkan dirimu. Kau bisa bersiap, kami menunggumu di ruang tengah.”

Hinako mengangguk pelan dan dia turun beranjak dari futon-nya, menuju kamar mandi terdekat. Di pandanganku, Hinako seperti Misaki, karena itulah aku merasa sangat iba jika dia sedih.

Aku kembali ke Amuro, dan kutemukan dia mengobrak-abrik tas yang kubawa saat melakukan penyelidikan kemarin. “Apa yang kau lakukan?” tanyaku melihat tingkah anehnya.

“Mendekatlah kemari sebelum aku lupa.”

Kuhampiri Amuro dengan menaikkan alis. Dia sangat serius meneliti barang-barang yang kuambil di sekolah lama kemarin, bahkan mata sipitnya itu menajam saat fokus pada topi di meja.

“Kenapa kau mengambil benda-benda ini?”

“Itu benda yang kutemukan di kelas 1. Tidak tahu apakah itu akan berguna, tapi daripada meninggalkan barang penting lebih baik aku mengambilnya saja,” jelasku begitu singkat.

Amuro mengangkat topi merah itu. “Aku tidak tahu kenapa, tapi kau tidak mengambil barang yang salah.”

Kenapa dia tiba-tiba berkata begitu? Aku jadi heran. “Memang kenapa?”

“Maaf, aku terbawa suasana jika melihat benda berwarna merah. Habisnya selama ini aku selalu berpikir, Akazukin-kun menyukai warna merah bukan?”

Mendengar itu aku jadi tercenung. Dia benar, benda-benda yang kuambil berwarna merah, seperti kesukaan Akazukin-kun. Warna merah itu … mengingatkanku pada suatu hal.

Ruby … ruby … ruby … aku hanya ingin ruby-ku kembali ….

Apa yang sebenarnya diinginkan Akazukin-kun menyangkut warna ruby?

Penyelidikan malam ini, aku akan mencari benda berwarna merah sebanyak yang aku bisa. Akan kucoba memahaminya.

Tunggu kami, Akazukin-kun.

*****

Yurei : sebutan hantu di Jepang
Oni : Siluman besar yang sangat rakus di Jepang
Futon : kasur lipat Jepang

Hide and SeekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang