Note 13 : Never Too Late for Help

205 42 6
                                    

"Hanya kau yang makan ramen di musim semi, Natsume. "

"Seperti kau tidak berkaca saja, Amuro. "

Untuk kesekian kalinya aku menyeruput mie yang masih mengepul uapnya, menghiraukan keringatku yang mulai memupuk di dahi. Sore hari di bulan Mei, sehari setelah Hinako— seorang gadis kecil dari kelompok kami— berhasil memenangkan Petak Umpet, aku menenangkan diri di warung ramen kota kecil ini. Amuro, lelaki berkacamata yang duduk di sampingku mencercaku padahal keadaan kami tak jauh berbeda.

"Kau stress memikirkan adikmu? "

"Tidak juga, aku hanya sedikit merasa iri karena Hinako bisa menang duluan dariku. Harusnya kau juga berpikir sepertiku, Amuro. "

"Aku jauh memikirkan Michiru daripada diriku sendiri," sahutnya sambil memangku kepalanya dengan satu tangan, "waktunya lebih sedikit dari kita, tapi dia belum punya naungan kemana dia akan pergi. "

"Bagaimana denganmu? Sudah punya naungan? "

"Walau tidak yakin, aku siap untuk pergi kapanpun saatnya. "

Dia lebih memikirkan orang lain? Padahal dia bisa mati kapan saja, begitu pula denganku.

Aku terdiam memandang begitu dewasanya Amuro, kemudian kepalaku tertunduk menatap kuah ramen yang tinggal sedikit dengan pikiran penuh.

Aku hanya berpikir untuk segera menyelamatkan Misaki, jadi masalah ini berakhir tanpa adanya pengorbanan. Hinako bisa lolos dengan selamat adalah kesempatan yang mungkin tidak akan datang dua kali, jadi salahkah jika aku khawatir sekarang?

"Di antara kelompok kita, kaulah yang paling lama mencapai batas waktu. Harusnya kau agak santai, kenapa malah membuat wajah sulit begitu? "

Amuro mengatakan itu lalu memesan teh dingin, sedangkan aku masih tercengang dengan ucapan bernada datarnya.

Benar, aku tidak memikirkan hal itu. Aku lah yang paling lama mencapai batas waktu, harusnya aku bisa membantu orang lain dulu sambil memikirkan Misaki. Waktu orang lain jauh lebih pendek dan mereka bisa dalam bahaya, harusnya aku bisa tenang dan menyumbang pemikiran untuk orang lain.

Aku mengambil saputangan dan mengusap wajahku, mencoba membuat perasaanku jauh lebih baik. Kemudian aku menoleh ke Amuro, berterimakasih padanya.

"Kalian di sini rupanya. "

Mendadak suara perempuan terdengar dari belakang, namun tangan seorang lelaki lah yang terlihat lebih dahulu. Seorang lelaki ber-hoodie besar berwarna gelap, dengan wajah tak sedikit dihiasi oleh plester menutup wajahnya yang keras menatapku yang duduk untuk makan. Gakuran hitam biasa namun berkesan liar karena cara berpakaiannya yang tidak rapi memberikan kesan yankee padanya.

"Um ... selamat siang? " sapa Amuro, mendahuluiku.

Aku tidak berniat menyapanya baik-baik layaknya Amuro karena penampilannya yang seperti itu, tapi melihat gadis yang segera muncul setelahnya membuatku menaikkan alis.

"Michiru-san, kau membawa temanmu?

"Bukan teman sih, kasihan saja padanya. "

Ditimpali ejekan seperti itu, Si Lelaki hanya diam dan tidak bicara apa-apa. Kupikir dia mau membalas dengan kasar, tapi kenapa tidak ada respon?

"Waktunya tersisa 10 hari. Aku tidak minta tolong pada kalian untuk membantunya, tapi setidaknya dia ingin pacarnya ditemukan. "

Sukses benar aku ber-ooh panjang, lalu melirik lelaki itu. "Kami bisa melihatmu, jadi bicaralah. "

Aku menduga, orang yang waktunya tersisa kurang dari 15 hari akan kehilangan eksistensi mereka pada golongan umum tapi mereka masih bisa dilihat pemain lain. Itu juga berlaku pada Hinako yang bilang bahwa dia tidak diakui keberadaannya oleh teman dan gurunya saat masih menjadi pemain.

"...."

Brukkk!!!

Lelaki itu tiba-tiba ambruk begitu saja di kursi kedai ramen, membuat kami yang ada di sana tersentak. Ternyata ketika tudung kepalanya terbuka, wajahnya begitu pucat. Akhirnya aku membelikannya ramen dan minuman untuk membuatnya hidup kembali.

"Ini sih kelewatan ...," gumam Amuro sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Aku memperhatikan lelaki itu menghabiskan tiga mangkuk ramen tanpa henti, dia benar-benar seperti orang yang tidak pernah makan ramen saja. Dia juga tidak memperhatikan kami ketika sibuk dengan makanannya, sungguhan kalau dia kelaparan seperti itu?

"Ah ... maaf merepotkan ..., " gumamnya setelah selesai.  Pada akhirnya lelaki itu bicara setelah mengusap wajahnya dengan saputangan dan berkata lagi, "Aku tidak bisa bicara karena kelaparan, aku sudah tidak dianggap tidak ada jadi aku tidak bisa melakukan apapun. "

"Yang benar? Bahkan ke toko? "

"Aku takut dikira pencuri, jadi aku tidak melakukan apapun. Untung Michiru membicarakan soal permainan ini, aku jadi bisa hidup lagi. "

Ternyata wajahnya saja yang seram, sebenarnya dia orang yang normal, setidaknya itulah yang aku lihat sekarang.

"Dia sudah tidak dianggap di sekolah, di toko tidak bisa dilihat, waktunya pun juga tidak lama, malang sekali kan? " Michiru mengedikkan bahu, mengejek temannya tanpa habis.

"Ya maaf deh! Aku kan tidak tahu harus apa! "

Aku dan Amuro saling berpandangan, mencoba mencari jalan keluar dalam masalah ini. Amuro menelengkan kepala pada lelaki itu setelah sekian lama membisu, "Siapa namamu? "

"Araki, Araki Ranmaru."

"Kalau kami membantumu, menurutlah pada kami oke? Kami memang tidak bisa menjamin kau akan memenangkan permainan ini jika kau bergabung dengan kami, tapi seorang pemain barusaja lolos dan itu berkat kerjasamanya dengan Natsume," terang lelaki berkacamata itu panjang lebar seraya menunjukku dengan jempolnya.

Araki melirikku, dan aku mengangguk padanya. "Semua sudah Amuro katakan, jadi aku hanya bisa bilang untuk berjuanglah di 10 hari terakhirmu, itu saja Araki-san. "

"Baiklah ... Michiru, kau juga ikut? "

"Ugh ... kemana tujuanmu? "

Araki menunjukkan angka 10 besar berwarna merah darah di lehernya yang tertutup hoodie. "Aku mendapatkan tanda ini di taman kota, tapi selama aku berkeliling di sana aku tidak mendapati apapun yang aneh. Aku kurang jeli mungkin, makanya kalau dibantu kalian bisa saja ketahuan apa yang aneh di sana. "

Kali ini taman kota, tempat yang tidak begitu ramai di kota kecil ini.

Michiru, entah kenapa tidak menyela lagi, gantinya dia menghela napas dan menyilangkan tangannya di depan dada. "Mau bagaimana lagi? Aku juga perlu ke sana, juga bertujuan sepertimu, jadi aku ikut dengan kalian. "

Kelompok kecil investigasi kami kembali terbentuk dan kali ini anggotanya lengkap. Aku tidak luput tersenyum melihat sepertinya rencana kali ini akan berjalan lebih baik dari hari sebelumnya.

"Baiklah, mari berkumpul di taman kota malam ini. Kita akan menelusuri tempat itu secepatnya, jadi bersiaplah. "

Bersiap untuk menemukan arwah selanjutnya, bersiap untuk penelusuran selanjutnya, dan bersiap jika bertemu dengan Si Badut pula, kami harus benar-benar siap kali ini demi Araki.

*****

Gakuran : seragam sekolah umum lelaki di Jepang
Yankee : Kelompok gangster di Jepang

Hide and SeekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang