Note 3 : The Forgotten Misaki

347 59 8
                                    

Kutelan saliva untuk kesekian kalinya. Terasa benar bahwa hari ini tidak berbaik hati padaku. Pertemuanku dengan badut mengerikan ini membuat hari semakin kacau. Misaki menghilang, aku berhadapan dengan orang yang mengerikan, dan aku harus segera lari darinya.

Sayangnya tubuhku membeku, aku tidak bisa bergerak sedikit pun.

"Tenang saja, aku tidak akan melakukan apapun padamu." Badut itu melempar sepatu Misaki ke arahku dan tanganku bergerak begitu saja menangkapnya. "Setidaknya, tidak sekarang."

Bulir keringat dingin mulai membasahiku semenjak bertatapan dengan badut itu sekarang terasa mengalir begitu saja. Orang ini monster atau apa? Hantu atau apa? Kenapa Misaki bisa hilang begitu saja? Dan kenapa bisa sepatu Misaki ada padanya?

Kenapa ... kenapa ini terjadi?

"A-apa yang akan kau perbuat pada adikku? Tolong jangan sakiti dia! Aku akan melakukan apapun asalkan dia kembali!"

Badut itu tertawa lagi dengan lengkingannya yang menyakiti telingaku hingga aku harus menutup telinga dengan tangan. Gigi runcingnya kembali ditunjukan dengan sebuah senyuman. "Apapun? Kalau begitu kau setuju untuk bermain denganku hehehehe!"

Apapun untuk Misaki, apapun asalkan dia bisa kembali itu sudah cukup!

"Kali ini, aku yang akan sembunyi dan kau harus mencariku sampai ketemu. Kau akan menang jika kau menemukanku." Badut itu mulai menggerakkan kakinya menuju diriku yang terpaku tak jauh darinya. Apa yang harus kulakukan? Aku tidak bisa lari dari sini!

Aku menutup mataku dan berdoa di dalam hati, aku meneriakkan kata-kata doa di dalam hati agar dia menjauhiku. Aku tidak mau mati! Tuhan tolong lindungi aku!

"Tapi ... biarkan aku yang menghitung mundur, Sakuma."

Suara badut itu tiba-tiba terdengar sangat keras di telingaku, dan ketika aku membuka mataku, wajahnya tepat di depan mataku. Wajah yang mengerikan, seakan dia akan menerkamku detik ini juga.

"Waktumu sampai bulan ini berakhir, hitungan mundurku ada di telapak tanganmu," bisiknya pelan, namun membuat jantungku berdetak cepat bukan main semakin ketakutan. Badut itu mundur dengan tawa yang menggema, kata terakhir yang ia ucapkan membuat diriku menyesali diri karena mendengarnya.

"Tapi jika dalam sebulan kau gagal, semua hal yang menjadi milikmu akan musnah, begitu juga nyawamu."

"He he he he he he he he ... te mu kan a ku, Sa ku ma."

Badut itu menghilang begitu saja, sama seperti Misaki.

Misaki ... diculik oleh siluman mengerikan. Jika aku tidak bisa menemukannya, semua orang akan mati , begitupula denganku.

"..."

Brukk!!

Kekuatanku menghilang, aku jatuh terduduk di jalanan taman bermain meratapi nasibku. Tubuhku masih gemetar hebat dan menggigil akibat keringat dingin yang membasahiku selama detik-detik menegangkan tadi.

Suasana menjadi semakin gelap, dan rintik air mata angkasa jatuh ke tubuhku. Dingin menusuk sampai ketulangan, tiada ampun tanpa mengasihi diriku yang kehilangan Misaki. Kutatap kedua telapak tanganku yang mulai memucat dan mengerut, terukir dua digit angka semerah darah di sana.

30.

Tiga puluh hari sebelum permainan ini usai, tiga puluh hari ini pula aku akan berusaha mencari di mana badut itu berada. Aku akan membawa Misaki pulang, bagaimanapun caranya.

Tubuhku telah basah kuyup, jadi aku berbalik kembali ke rumah dengan lemah. Kusembunyikan tanda di telapak tanganku di saku celana dan menunduk merasakan air hujan yang membasahiku sembari memikirkan Misaki.

Kemana badut itu membawa Misaki? Apa yang akan terjadi pada Misaki? Kenapa dia membawa Misaki? Lalu ... lalu ... lalu apa yang harus kukatakan pada Nenek soal Misaki?

Langkahku berhenti ketika rumah besar Nenek ada di hadapanku. Membayangkan bahwa Nenek akan memarahiku habis-habisan karena kehilangan Misaki adalah ekspektasi pahit yang harus kuterima kedepannya. Aku juga tidak akan dipercaya kalau menceritakan siluman badut menculik Misaki, aku benar-benar merasa kalah dari Si Badut itu.

"Aku ... pulang ...."

Kugeser pintu utama dan masuk ke rumah, namun aku memilih untuk berdiam diri di genkan. Aku masih pening memikirkan penjelasan apa yang harus kuberikan pada Nenek, namun isi otakku benar-benar kusut dan aku tidak bisa berpikir jernih.

"Selamat datang-Sakuma-chan!? Kau basah kuyup!"

"...."

Aku tidak tahu harus apa ....

"Ayo cepat masuk Sakuma! Nanti kau bisa kena flu!"

Aku mengusap wajahku pasrah, dan menatap Nenekku sedih. Aku mencoba untuk tegar, setidaknya aku tidak memperburuk keadaanku sekarang. Tubuhku sudah kehabisan tenaga, aku hanya bisa mengatakan satu kalimat terakhirku pada Nenek

"Maafkan aku ... aku ... kehilangan Misaki ...."

Aku menutup mataku kemudian, dan pandanganku menggelap seiring aku mencapai titik nol dari emosiku.

*****

"Waktumu sampai bulan ini berakhir."

"Tapi jika dalam sebulan kau gagal, semua hal yang menjadi miliku akan musnah, begitu juga nyawamu."

"Sakuma-niisan! Sakuma-niisan!"

"MISAKI!"

Aku meneriakkan nama itu dan cahaya realita langsung membutakan mataku dalam sekejap. Sentakan itu membuatku pening seketika, aku mencengkram kepalaku menetralisir rasa sakit itu.

Rasa empuk tempat tidur, hangatnya kuning lampu, dan kesunyian ruangan ini membuatku sadar jika aku sudah di kamar. Yang aku ingat terakhir adalah aku masih basah kuyup kehujanan sehabis pulang dari taman bermain, kemudian segalanya menjadi hitam. Melihat pakaianku telah berganti namun keringat masih membasahiku membuatku tercenung.

Aku merepotkan Nenek lagi.

"Sakuma-chan?"

Pintu geser kamarku terbuka, manikku menangkap Nenek masuk dengan membawa baki dengan banyak barang di atasnya. Beliau tersenyum padaku dan meletakan baki di meja. Tangannya yang sudah keriput menyentuh dahiku, lalu mengangguk-angguk tanpa kumengerti maksudnya.

"Panasmu sudah turun, tapi kau masih harus banyak istirahat Sakuma-chan. Nenek sudah membawakan makanan dan obat untukmu, cepat sembuh ya."

Melihat wajah beliau membuatku menunduk sedih. Aku masih belum menjelaskan soal menghilangnya Misaki padanya, memikirkan itu hanya membuat hatiku pedih.

"Maafkan aku Baa-san," sesalku hendak mengawali pengakuanku, tapi Nenek malah menyela dengan hal yang sama.

"Nenek juga minta maaf, Nenek lupa memberimu payung. Hujan datang begitu saja dan kau pulang basah kuyup."

Aku menggeleng cepat. "Bukan, aku minta maaf ... maafkan aku ...." Nadaku bergetar takut Nenek kecewa atas berita ini. "Aku ... kehilangan Misaki di taman bermain ...."

"...."

"Ngomong-ngomong ... siapa itu Misaki? Kau mengigau menyebut namanya terus seharian, Sakuma-chan."

Respon dari Nenek membuatku membeku, shock mendengarnya. Nenek memberikan pandangan tabu, seakan tidak memiliki memori apapun atas cucunya sendiri.

"Misaki Baa-san, cucu Baa-san," ulangku menekankannya agar Nenek mengingatnya, namun nihil. Nenek malah menatapku kebingungan.

"Misaki, yang tadi bersamaku ke taman bermain!"

Nenek tetap menggeleng. "Nenek tidak punya cucu bernama Misaki, Sakuma-chan. Kau pergi keluar seorang diri senja ini."

Yang benar saja ... Nenek ... melupakan Misaki?

Hide and SeekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang