Note 9 : New Player

226 42 1
                                    

Malam yang semakin gelap karena cuaca berawan sejak pagi. Aku kembali menghadapi realita di mana aku berdiri di depan gedung sekolah lama yang suram. Juga bersama Hinako di sampingku, hal ini seakan membawaku kembali ke hari yang kemarin.

“Hinako-san, apa kau yakin akan kembali menyelidiki hal ini bersamaku?” tanyaku mulai merasa bahwa dia agak memaksakan diri. “Kita masih punya Amuro-san, jadi jika kau tidak mau pergi kau bisa tetap di rumah.”

Hinako, gadis kecil itu dengan tegas menggeleng dan mengungkapkan, “Untuk Shiba-chan dan Akazuki-kun, aku tidak boleh menyerah!”

Seorang anak yang pemberani, tapi entah sisi lain diriku mengatakan bahwa dia terlalu naif. Anak sekecil dia belum kuat menghadapi hal yang lebih buruk dari kemarin, itu juga alasan mengapa aku ingin dia tetap di rumah. Lebih baik membawa Amuro yang mempunyai kemampuan lebih tinggi daripada mengorbankan Hinako.

Namun faktanya Amuro menjadi titik kelemahan kami untuk melawan Akazukin-kun membuatku pening. Jika aku membawa Amuro untuk investigasi, itu sama saja menggali kuburan sendiri. Kami kembali memasuki  gedung sekolah lama, namun begitu berada di pintu utama aku menghentikan langkahku.

“Ada apa, Nii-san?”

Mataku menyipit melihat apa yang ada di lantai. Sebuah objek hitam tertempel di sana. Ketika kusinari benda itu dengan senter, yang terlihat adalah bekas sepatu.

“Sepertinya ada yang kemari, lagi,” desisku kesal. Setelah penjaga kemarin, masihkah polisi mengirim orang-orangnya untuk masuk ke tempat ini? Kalau itu benar mereka terlalu nekad.

“Si-siapa kira-kira?” tanya Hinako juga ikut memperhatikan jejak berlumpur itu.

Tetap saja, kami berdua tidak tahu itu siapa karena jejak itu berupa lumpur. Kami harus waspada di awal investigasi begini, karena sudah kelihatan sepertinya kami punya tamu tidak diundang.

Baru beberapa langkah meninggalkan jejak berlumpur itu, sinar senterku menangkap sesuatu yang bersinar di bawah uwabaki. Aku memberikan senterku pada Hinako sementara tanganku menggapai benda itu.

Apa yang kurasakan dari benda itu adalah dingin, licin, dan panjang nan berbentuk silinder. Kutarik tanganku dan melihat sebuah bandul kunci dengan beberapa kunci di dalamnya ada di genggamanku.

“Oh kunci itu … sepertinya milik penjaga yang kemarin,” gumam Hinako pelan sambil menunjuk lantai tempat kami. “Beliau bertemu Akazukin-kun di sini bukan? Sepertinya benda itu terjatuh ketika penjaga itu bertemu dengannya.”

Sepertinya begitu, lebih baik aku menjaga benda berguna ini, bisa saja kunci ini akan membuka ruangan yang kami perlukan.

Kami melanjutkan investigasi koridor yang kemarin belum terselesaikan. Sementara ini keadaan di koridor yang kami pijaki belum berubah, dan sekarang aku telah berhadapan dengan pintu ruangan kelas 2.

Tiba-tiba Hinako memelukku dengan erat, jadi aku langsung meningkatkan kewaspadaan. Kuurungkan niatku memutar kenop pintu di depanku, mengalihkan perhatian ke Hinako.

“Ada apa?”

“Ada … yang menuju kemari ….”

Sekali lagi kami terperangkap dalam situasi yang sama dengan yang kemari, aku mendesis kesal mengetahui hal itu. “Kau mendengarnya dari mana?”

“Dari koridor seberang … tempat kita berdua berada saat Akazukin-kun menemukan kita.”

Sial, dia sudah dekat kalau begitu.

Telapak tanganku kembali merasakan nyeri yang hebat, Hinako juga meringis mencengkram lengannya. Tapi tidakada waktu untuk memikirkan rasa sakit ini, kami harus sembunyi dari Akazukin-kun dulu!

Aku sepintas memikirkan bahwa ruang kelas 1 dan kelas 2 ini bisa jadi tempat persembunyian kami, tapi sayangnya kelas ini tidak bisa dikunci karena lubang kuncinya telah rusak. Kalau kami sembunyi di sini tanpa mengunci pintunya, Akazukin-kun bisa masuk dan menyerang kami!

Satu-satunya ruangan yang tersisa adalah ruangan di pojok sana, sehingga aku segera menarik tangan Hinako dan membawanya ke depan kelas 3. Kucoba memutar kenop pintu dan pintu tidak bisa terbuka. Bagus, masalahnya sekarang adalah kunci mana yang bisa membuka kelas ini?

Dug … dug … dug ….

Sialan, suara pantulan bola itu semakin dekat. Walau tanganku gemetaran dan aku tengah berusaha mengontrol panik, jariku menemukan sebuah kunci dengan label 3-1. Ini yang kami butuhkan!

Aku memasukkan kunci itu dan segera membuka pintu di hadapan, secepatnya masuk ke kelas 3 dan kembali mengunci pintu agar Akazukin-kun tidak bisa membukanya. Dengan ini setidaknya kami bisa memperlambatnya.

Dug! Dug! Dug!

Suara pantulan bola itu sudah dekat … kami harus segera sembunyi!

Di kelas ini hanya ada beberapa perabotan, hanya beberapa meja, sebuah almari, dan meja besar  tertutup milik guru. Pilihan terdekat adalah meja guru, kami tidak bisa memilih yang lain!

Hinako tidak berkata apapun jadi kami segera menunduk dan masuk ke sela kosong meja guru. Ruang kosong itu cukup untuk menyembunyikan kami, tapi tidak tahu apakah ini akan bertahan untuk waktu yang lama.

DUG! DUG! DUG!

Mengintip dari lubang, sebuah bola basket memantul berkali-kali menghantam pintu kelas ini. Rasa nyeri di telapak tanganku masih sangat menyakitkan, aku berjuang menahan rasa sakit itu dengan seluruh kemampuan yang kupunya.

Aku mohon Akazuki-kun, pergilah dari sini!

Pantulan itu bertahan selama beberapa saat, namun akhirnya tidak ada bola yang menghantam pintu lagi. Suara itu semakin lama semakin meredup, hingga tidak lagi terdengar di telingaku.

Dia sudah pergi.

Aku keluar dari persembunyian, sementara Hinako masih meringkuk dan menutup telinganya. Aku menghela napas dan melihat keadaan sekitarku, tapi—

“Ah.”

Dari dalam lemari, keluarlah seorang gadis berambut bob dengan seragam sailor berwarna hitam. Dia menatapku terkejut, begitu pula denganku.

“….”

Kenapa … dia ada di sini?

“Jadi … yang mengunci pintu itu kau?”

Satu pertanyaan yang keluar untuk menghancurkan kecanggungan kami. Gadis itu masih menjaga jarak denganku, terbukti dia tidak bergerak sedikit saja dari tempatnya.

Masih setengah percaya, aku mengangguk begitu saja padanya. Mata gadis itu mengarah ke pintu sebentar, lalu dia menghela napas. “Baguslah, untung kau menguncinya.”

Nii-san? S-siapa itu?”

Suara cicit Hinako menyentuh telingaku, kemudian gadis itu keluar dari persembunyiannya. Hinako yang melihat keberadaan gadis itu pun terkejut, tapi reaksi gadis itu malah menggeram.

“Kenapa anak kecil ada di sini?” geramnya.

Aku mencoba memperbaiki suasana, menjadi penengah di antara mereka. “Kami sedang melakukan penyelidikan. Kau?”

Mata Si Gadis menyipit, dia menunjukku dengan tegas. “Bukan masalah kalian! Ini tempat yang berbahaya, jadi pergilah dari sini!”

Kalau dia juga bersembunyi dari Akazukin-kun, berarti dia tidak bisa menutupinya lagi dariku.

“Kau juga seorang pemain?”

Pertanyaan yang pernah Amuro berikan padaku kulontarkan padanya. Seketika gadis itu mengubah ekspresinya. “Bagaimana—”

Aku menenangkan Hinako dan dengan tegas berkata padanya, “Itu karena kami sama denganmu.”

Hide and SeekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang