Note 5 : The Red Boy

299 47 8
                                    

“Pergi ke gedung sekolah lama itu? Sungguhan?”

Amuro menatapku ragu, sedangkan Hinako mendongkak menatap pria di sampingnya. “Kenapa Amuro-nii? Sekolah itu hanya sekolah tua kok.”

Aku pun tak tahu apapun soal kota ini jadi aku juga ingin tahu lebih banyak soal kota ini darinya. “Kalau kau tahu sesuatu sebaiknya kau memberitahu kami.”

Amuro berbalik dan mencari sesuatu di tumpukan koran sembari mengatakan sesuatu pada kami. “Ada rumor aneh tentang sekolah lama itu. Orang-orang menghindarinya karena suatu hal.”

“Hal apa?”

Amuro mengangkat sebuah koran dan menghantamkannya pelan di meja kami. Koran yang usang, dengan headline besar yang menjadi daya tarik utamanya.

BEBERAPA ORANG MENGHILANG SETELAH MELINTAS DI SEKOLAH LAMA KOTA—

“Maksudnya menghilang begitu saja?”

Jari Amuro menyelam ke deskripsi berita itu dan dia membacakan kelanjutannya untuk kami.

“Dikabarkan beberapa orang yang melintas di sekolah lama itu menghilang secara tiba-tiba. Saksi yang melihat mereka mengatakan bahwa mereka masuk ke gedung sekolah lama itu dan tidak kunjung kembali. Polisi telah melakukan pencarian dan penyelidikan di sana,tapi ada kejadian supranatural di sana sehingga polisi tidak bisa menyelesaikan penyelidikan sampai saat ini dan pada akhirnya sekolah itu ditutup total.”

Aku memandang Hinako yang melihat kami dengan kepolosannya. Gadis kecil seperti dia mana mengerti hal yang seperti ini ‘kan?

“Ada hantu di sana?” tanya Hinako begitu saja.

“Katakanlah begitu.”

Jarinya tangannya yang memeluk bantal dimainkan, dia menunduk dan berkata dengan pelan. “Aku tidak tahu ada hantu di sana, aku hanya berjalan-jalan bersama Shiba-chan dan bertemu dengan seorang anak sebayaku.”

Tunggu.

“Kau bertemu dengan seseorang?”

Hinako mengangguk. “Dia anak laki-laki sebayaku dengan baju berwarna merah. Dia kulihat ada di dalam gedung itu, kami saling memandang terpisah dengan jendela.”

Jika berita itu mengatakan bahwa tidak ada yang kembali setelah masuk ke sana, keberadaan anak itu tentu saja mencurigakan.

“Dia mengatakan sesuatu?” tanyaku berharap kami mendapatkan lebih banyak petunjuk.

Sayangnya Hinako menggeleng. “Dia tidak mengatakan apapun walau kami berpandangan cukup lama, di saat itulah aku tiba-tiba tersentak dan Shiba-chan sudah menghilang. Ketika aku mencari Shiba-chan di sekitar tempat itulah, aku bertemu dengan Badut Balon.”

Entah kenapa setiap namanya disebut, darahku mulai mendidih. Jengkel saja, karena orang itu hanya membuat masalah untuk kami. “Di sanalah kau mendapatkan tanda hitung mundur itu bukan?”

Anggukan Hinako semakin menjadi pilu, dia menyibak lengan hoodie panjang yang menutupi kulit putihnya, dan nampak jelas angka 15 berwarna merah darah di sana. “Dia tahu di mana Shiba-chan, tapi aku harus menemukannya dulu untuk menemukan Shiba-chan.”

Setelah itu Hinako tersentak hingga menggebrak meja dengan kekuatan kecil. “A-aku ingat dia mengatakan sesuatu padaku!”

“Dia memberimu petunjuk?” Amuro segera melontarkan apa yang kupikirkan pula.

Hinako menutup matanya, dia berusaha mengingat hal yang kami harapkan. Akhirnya apa yang diucapkan Hinako membawa kami pada suatu titik terang, namun juga membawa kesulitan yang harus kami hadapi terlebih dahulu untuk mendapatkannya.

Sebagai anak kecil, aku memberimu kemudahan. Minta tolonglah pada anak kecil di gedung sekolah untuk menemukanku. Jika dia membantumu, aku akan lebih mudah ditemukan.”

Mendengarkan hal itu membuatku mengelus dagu. Dia memang memberikan petunjuk yang memudahkan Hinako, tapi jika kami harus menghadapi kejadian supranatural itu, bukankah sama saja dengan kami menggali kuburan sendiri?

Berbeda denganku, Amuro justru kembali ke tumpukan korannya dengan tergesa-gesa, dan sekali lagi koran yang telah ditemukannya dihantamkan ke meja dan menarik perhatian kami.

*****

Ini tentang Akazukin-kun.

Tentang seorang siswa SD yang selalu memakai hoodie berwarna merah setiap ke sekolah. Nama aslinya entah mengapa terlupakan ketika waktu berjalan, dan orang-orang hanya tahu dia dipanggil Akazukin-kun karena hoodie merahnya itu.

Akazukin-kun adalah anak angkat guru olahraga di sekolah lama. Diketahui Akazuki-kun terobsesi dengan warna ‘merah darah’ seperti halnya hoodie yang dipakainya. Obsesi ini membuat banyak orang merasa bahwa Akazukin-kun gila, dan hal itu sampai ke telinga ayah angkatnya. Tentu saja hal itu buruk karena mencoreng namanya, untuk itu setiap pulang sekolah, si guru olahraga ini memberikan ‘pelajaran khusus’ untuk Akazukin-kun.

Tidak ada yang tahu pelajaran khusus seperti apa yang diberikan oleh ayahnya, namun sejak Akazukin-kun menerima pelajaran khusus itu, dia semakin tidak waras. Sampai suatu hari, Akazukin-kun menghilang ditelan bumi, bersamaan dengan ayahnya, Si Guru Olahraga.

Seiring menghilangnya Akazukin-kun, beberapa orang dewasa juga ikut menghilang dari sekolah. Kebanyakan mereka adalah guru laki-laki, hal itu membawa rumor bahwa siapa saja orang dewasa yang masuk ke gedung sekolah lama, mereka tidak akan pulang hidup-hidup.

Aku kembali membaca artikel dari website supranatural yang diberikan Amuro hingga jenuh, kemudian kujauhkan layar ponsel dari hadapanku. Sebuah gedung lama yang telah kusam dan termakan usia terpampang jelas di hadapan kami. Hinako di sampingku tidak terlihat takut, kepalanya mendongkak menyapu pemandangan sekolah lama ini. Walau hari telah malam, mau tak mau kami berdua harus menyelidiki tempat ini demi Hinako.

Begitu mengetahui bahwa sekolah lama ini terlarang untuk orang dewasa, Amuro mengambil langkah untuk tetap tinggal di rumah dan memantau kami dengan ponsel. Hinako tidak akan mungkin pergi ke tempat ini sendirian, jadi akulah yang menjaganya sekarang.

Alasan lain, Amuro menunjuk rambut lebatku yang selama ini kuikat dengan karet asal-asalan lalu membandingkannya dengan rambut pria polemnya yang tertata rapi. Amuro menggunakan strategi rambut ini untuk menghalau Akazukin-kun saat dia muncul. Dia berpikir bahwa Akazukin-kun akan mengira aku perempuan karena rambut panjangku, sehingga kesempatan diculik sebagai laki-laki akan berkurang.

“Hinako-san?”

“Aku tidak apa-apa, Sakuma-niisan.” cicitnya pelan, gadis kecil itu mengeratkan gandengannya pada tanganku. “Aku tidak akan takut selama Sakuma-niisan ada di sampingku.”

Aku menarik napas dan meyakinkannya. “Aku akan menjagamu, jadi pegang tanganku yang erat OK?”

Pukul tujuh di sekolah ini, aku dan Hinako akhirnya menjejakkan kaki kami ke tempat tergelap demi mencari Akazukin-kun dan Si Badut Balon.

Mau sembunyi di mana saja, kami akan menemukanmu, Tuan Balon.

Hide and SeekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang