Note 18 : Old House

219 35 0
                                    

Mataku menyipit mendengar Araki menggumam sendirian. Tidak habis pikir, kenapa dia berkata begitu ketika kami membicarakan hal lain? Memangnya ada masalah dengan ucapanku sebelumnya?

Amuro kembali dengan pakaian yang lebih rapi dan wajahnya sudah segar. Tak lupa dia di tangannya dia menggenggam roti isi yang kemudian dilahapnya. “Maaf aku lupa Natsume, kemarin aku bergadang setelah pulang dari penyelidikan.”

“Mencari tahu soal Daifukujo juga?”

Dia mengangguk dan aku berdiri dari posisi dudukku untuk menghampirinya. Amuro mengambil beberapa kertas dari meja terdekat dan memberikannya padaku. “Riwayat hidup Daifukujo,” sahutnya cepat bahkan ketika aku baru mau menanyakannya.

“Jika kau punya riwayat hidupnya, maka aku punya berita lain untukmu.”

“Apa-apaan ini? Kenapa kalian bicara di belakangku?” Araki mengeluarkan suaranya dengan nada tidak senang, lelaki itu melipat kedua tangannya dan menatap tajam kami berdua. ”Beri tahu aku juga! Daifukujo juga masalahku, jadi harusnya kalian tidak menyembunyikannya dariku!”

Aku meliriknya dengan datar sebelum bicara. “Oh begitu? Itukah yang kau katakan setelah kemarin mengatakan jika kau tidak mau lagi berurusan dengan Daifukujo?”

“Aku berhak takut setelah dikejar hantu itu dong! Wajar saja kalau aku mengumpat begitu! ”

Walau itu benar, aku tetap ingin mengejeknya. “Kukira kau sudah pasrah dan rela menunggu hingga waktumu habis, Araki.”

Araki terdiam, ujung mulutku naik dengan penuh kepuasan. Seketika telinganya menjadi merah dan kurasakan bahwa jaketku ditariknya dengan kuat. “Apa kau bilang!?”

“Kau tidak dengar? Kupikir kau sudah pasrah,” ejekku tanpa kututupi bahwa aku senang jika dia naik pitam. “Tersisa berapa hari untukmu, Araki? Waktumu semakin dekat, tapi kau tidak bergerak untuk membuat masalahmu lebih baik. Semoga hari-hati terakhirmu menyenangkan ya.”

Mata Araki melotot dengan sempurna dan tangannya yang mengepal di udara ditujukan padaku. Aku menutup mataku dan bersiap untuk merasakan rasa sakit, tapi aku tidak merasakan apapun setelah waktu panas ini berlalu.

“Sudahlah, berhenti bertengkar.”

Amuro menghentikan kepalan tangan Araki tepat di depan wajahku. Dia menghela napas, tangan kekar Araki dibawanya ke bawah dan dilepaskan tanpa basa-basi. “Kita di sini untuk membahas Daifukujo, bukan berkelahi begini. Sulit sekali kalau menangani Daifukujo jika tidak bekerja sama, jadi kumohon jangan bertengkar.”

“Tapi dia membuatku kesal!”

“Aku tidak berniat membela Natsume, tapi apa yang dia katakan itu benar,” jawabnya lagi dengan tenang membuatku tersenyum penuh kemenangan. “Jika kau tidak berusaha, maka kau juga tidak mengubah apapun. Sisa waktumu membuat kami prihatin, kami juga tidak ingin kau mati di tangan badut itu, kau tahu. Mari hentikan semua konflik yang ada dan saling bekerja sama, oke?”

Aku tanggap tenang dengan Araki yang mengertakkan giginya, dia melepaskan jaketku dan mendecih sambil membuang muka. “Katakan rencananya.”

“Kita akan berkeliling kota untuk mencari tahu soal Daifukujo. Walau kau tidak bisa dilihat orang lain, kami tetap butuh bantuanmu.”

Aku menghela dan menggaruk tengkuk, melepas lelah setelah berkonflik tadi. “Tidak perlu berkeliling kota, kita cukup pergi ke daerah taman bermain, di sanalah rumah Daifukujo.”

Pada akhirnya, kami bertiga pergi ke daerah taman bermain itu setelah semua pembicaraan di rumah Amuro selesai. Kami perlu bertanya pada beberapa orang di sekitar sana, walau beberapa dari mereka ada yang enggan menjawab. Takut, aku melihat kerutan itu di wajah orang tua yang kami tanyai sepanjang jalan.

Rumah Daifukujo adalah kamar kecil paling pojok di sebuah apartemen sederhana di pinggir kawasan taman bermain. Apartemen itu pun nampak kusam dan gelap karena tanaman rambatnya tidak dirawat dan dipangkas. Anehnya, rumput di sana tertata rapi dan tidak ada sampah seperti yang kubayangkan, bagian bawah bersih dan enak dilihat.

“Ugh … aku baru sadar kalau di sini ada apartemen. Memangnya ada yang mau tinggal di sini?” Araki mendengkus setelah bertanya begitu.

“Tidak tahu, aku pikir apartemen tua ini sudah lama ditinggalkan.” Amuro menjawab pertanyaan Araki dengan cepat.

“Dasar tidak sopan! Masih ada yang tinggal di sini tahu!”

Aku terkejut, di belakangku berdiri seorang nenek dengan tongkat besi yang tidak begitu besar. Wajahnya dipenuhi kerutan dan mata sipitnya memancarkan ketidaksenangan karena kami ada di sini. Bagus Amuro, kau membuat masalah untuk kita.

“Mau apa kalian kemari? Kalau hanya bisa menjelek-jelekan tempat ini, pergi saja!” murkanya seraya mengangkat tongkat itu tinggi-tinggi ke arah kami.

Aku membungkuk dan mendorong kepala Amuro untuk membungkuk pula. “Maafkan teman kami, Nyonya. Mulutnya memang keterlaluan, tapi sesungguhnya kami ada keperluan di tempat ini.”

Tuk! Suara tongkat yang menghantam aspal kembali terdengar di telingaku. Aku kembali berdiri dan nenek itu mengarahkan mata coklatnya ke arahku, menyebabkan kerutan di wajahnya muncul semakin banyak. “Keperluan?”

“Kami ingin meminjam kunci kamar terpojok apartemen ini untuk suatu kepentingan.”

Nenek itu diam, sepertinya langsung tahu maksudku. Dia kembali mengangkat tongkaknya dan menunjuk  tanpa adanya suatu emosi. “Kalian bukan orang yang tergila-gila untuk mencari hantu bukan? Kalau memang benar begitu, kalian harus pergi dari sini!”

“Tidak Nyonya, kami mencari sesuatu yang pemilik apartemen itu tinggalkan.” Amuro kembali mengambil alih pembicaraan melihat orang tua itu menerima kami dengan kurang ramah. “Apa yang pemilik lama apartemen itu tinggalkan sangat penting bagi kami, jadi kami memerlukan kunci itu.”

Nenek itu kembali membisu dan kami berdua saling berpandangan. Rasanya kami tidak bisa mengandalkan nenek ini saja, kami perlu cara lain untuk bisa mencapai ke dalam apartemen Daifukujo. Aku menoleh ke Araki yang Tak Terlihat, dia sedang memperhatikan apartemen di ujung koridor, tempat seharusnya kami mengorek informasi tentang Daifukujo. Kami belum bisa bergerak karena diperlambat nenek ini, jadi mau bagaimana lagi?

“Kalau kalian butuh pun, aku lupa meletakkannya di mana.”

Lihat? Ini sia-sia. Kami sudah menunggu dan menghindari konflik, pada akhirnya juga tidak mendapatkan apa-apa. Aku menghela napas panjang, lelah berhadapan dengan nenek ini. Kami berpamitan dan meninggalkan tempat itu dengan tangan hampa.

“Sekarang apa?”

“Aku tidak tahu, padahal aset penting kita justru ada di dalam apartemen Daifukujo,” keluhku kesal, kutendang udara dengan frustasi. “Kalau kita bertanya-tanya saja, nantinya hanya informasi dan gosip saja yang akan kita temukan. Kita harus bisa masuk ke apartemen Daifukujo untuk mencari bukti.”

Araki, yang sedari tadi diam saja, tiba-tiba memberikan seberkas cahaya di situasi sulit kami.

“Kita bisa pergi ke dalam apartemen itu nanti malam, aku bisa membobol kunci pintu itu untuk kalian. Hanya saja jangan sampai nenek itu melihat kita atau kita bisa ketahuan.”

Hide and SeekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang