Note 19 : The Breaker's Night

499 48 12
                                    

"Kenapa kita harus membobol pintu ini? Kita bukan mau mencuri 'kan? Jangan bilang kalau kalian tidak bisa meminta kunci kamar pada pemilik apartemen ini! "

Aku menenangkan Michiru sebelum suaranya lebih menggelegar dengan membekap mulutnya begitu ucapannya selesai. Kuawali dengan mendesis, peringatan pun kubisikan padanya. "Bukannya kami tidak bisa meminta, tapi pemilik apartemen tidak tahu di mana letak kunci itu. Kami juga tidak bisa menghadapi Si Nenek Tua Penjaga, jadi kita tidak punya pilihan lain selain melakukan hal ini. "

Kulepaskan bekapan itu dan Michiru memberiku tatapan tajam. "Kalian tidak becus mengurus orang tua!"

"Nyonya itu tidak begitu ramah, sedikit-sedikit mengusir, aku pribadi saja sudah pusing mendengar suaranya yang melengking itu," imbuh Amuro yang sependapat denganku.

Michiru yang hendak menyembur kata-kata pedasnya itu disela Araki yang mendesis di depan pintu. Satu tangannya menutup mulut, sedangkan tangan yang lain menggenggam obeng. "Jangan berisik, nanti kita ketahuan. "

"Kau juga sama saja Araki! Tidak bisakah kau meminta kunci pada nyonya itu baik-baik?" gerutu Michiru dengan suara yang lebih pelan tapi tidak mengubah emosi jengkelnya.

Araki mendecih, kemudian matanya kembali ke lubang pintu sembari menimpali, "kau menyuruhku meminta pada nenek itu sedangkan dia melihatku saja tidak bisa? Kalau begitu maafkan aku tidak bisa menjalankan kemauanmu. "

Kesarkasan Araki membuat Michiru terdiam dan akhirnya membuang muka, tidak bicara lagi selama beberapa saat. Aku membungkuk memperhatikan Araki yang sedang berusaha membobol pintu apartemen Daifukujo. Kulihat anak sekolah sepertinya sangat bagus dalam masalah reparasi dan mengutak-atik barang seperti sekarang, terlihat dia begitu fokus dengan pekerjaannya.

Klak!

Terdengar suara kunci terbuka, tangan Araki meraih kenop dan membuka pintu yang sedari tadi dia kerjakan. Berhasil, pintu itu sekarang terbuka sedikit berkat Araki.

"Kerja bagus. "

"Itulah gunanya aku di sini." Araki tersenyum senang seraya menggaruk-garuk tenguknya senang. "Ayo masuk. "

Ketika kami masuk ke dalam, ruangan itu begitu gelap. Aku meraba-raba dinding untuk mencari saklar lampu sambil sedikit memeriksa keadaan sekitar. Ketika tombol itu kutemukan dan kutekan, sinar lampu yang tidak begitu terang mulai memenuhi ruangan yang kami pijaki.

Apartemen itu layaknya apartemen murah pada umumnya dengan ukuran yang sedikit lebih kecil tapi tidak memiliki banyak furnitur yang menguras tempat. Bagusnya, hal itu memberikan kesan lapang pada ruangan ini. Hanya kompor, kulkas kecil, mesin cuci, televisi lama, meja kerja, dan beberapa almari serta sebuah meja tamu. Namun sesungguhnya, keanehannya tidak ada di antara apa yang telah kusebutkan tadi.

"Hei ... apartemen ini sudah ditinggalkan selama 4 tahun bukan? Kenapa ini terlalu ... bersih?"

Benar,  itulah yang tidak wajar. Aku merendah dan mengusap lemari kecil di dekat rak sepatu, sama sekali tidak merasakan debu. Ini kelewat bersih, sungguhan.

Araki tiba-tiba berlari menuju ruang inti apartemen ini, setelah itu berseru, "di sini juga bersih sekali! "

Aku segera saja menyusul Araki menuju ruang inti. Sekali lagi merasakan bahwa minimnya debu yang ada mengingat apartemen ini telah ditinggalkan selama 4 tahun.

"Semuanya berpencar, pastikan tidak ada yang tinggal di sini! "

Aku memerintah mereka begitu karena bisa saja nenek itu memberikan kunci apartemen pada seseorang yang tinggal di sini. Nenek itu tidak bilang apakah apartemen ini telah digunakan atau ditinggalkan, kami harus hati-hati karena itu.

Aku mengecek bagian kamar mandi, listrik dan air di sana juga masih mengalir. Bak mandi dan toilet juga bersih. Kubuka kabinet di bawa wastafel, barulah menemukan banyak debu di sana yang nyaris membuatku bersin.

Kututupi hidungku dengan tangan dan meraba-raba bagian dalamnya hingga telapak tanganku merasakan sesuatu. Tangan yang kutarik keluar membawa sebuah botol kecil, shampo untuk bayi dari dalam sana.

Ini milik anak Daifukujo?

Tanpa pikir panjang aku segera memasukkan shampo itu ke dalam tas dan kembali memeriksa laci itu. Walau tanganku kembali merasakan sesuatu, apa yang ada hanyalah gulungan tisu toilet. Sepertinya memeriksa kamar mandi bagiku sudah cukup.

Aku keluar dari sana dan mereka sudah berkumpul kembali di ruang inti. Mereka masing-masing membawa sesuatu bersama mereka.

"Tidak ada siapapun di rumah ini," ujar Amuro begitu aku bergabung dengan mereka. "Aku sudah memeriksa ruang depan, apa yang kupikirkan hanyalah benda ini. "

Dia menunjukkan kertas dengan foto di tengah-tengahnya. Foto seorang wanita yang menggendong seorang bayi dengan senyum bahagia, tertulis di sana suatu kalimat singkat dengan pena bertinta biru.

Aoko, selamat atas kelahiranmu! Mulai saat ini, mari berjuang bersama-sama ya!

- Ibu

"Ini Daifukujo?"

Amuro mengangguk. "Aku ingat benar penampilannya saat dia masih hidup dulu. Itulah sosok Daifukujo dan bayinya yang telah lahir. "

"Dia perempuan yang cukup cantik, " gumam Michiru memujinya. "Sayangnya terlalu cantik untuk bunuh diri begitu saja."

"Bagaimana dengangmu? " tanyaku padanya.

"Aku memeriksa lemari pakaian dan meja kerjanya, wanita itu menyembunyikan ini di laci mejanya. " Michiru menyondorkan sebuah buku tebal bersampul coklat padaku. "Untuk seorang wanita pekerja yang sudah punya anak, aneh saja dia tetap menulis buku harian. "

"Kau membacanya? "

"Tidak. Aku tidak mau membuka privasinya di situasi seperti ini, lebih baik kita baca saja ketika kembali ke rumah. "

Dua benda dari Amuro dan Michiru telah ada di tanganku dan semua terkumpul di tas yang kubawa sedari tadi. Hanya tinggal Amuro saja yang tertunduk dengan tangan memegang beberapa lembar sticky notes.

"Apa itu? "

"...."

Ada apa dengannya?

"Araki? "

Dia menyondorkan kertas-kertas itu padaku tanpa mengatakan apapun. Aku menerima kertas itu, namun lebih fokus pada perubahan Araki. "Kau tidak apa? "

"Aku ... tidak menyangkanya. "

Itulah kalimat singkat dari Araki yang membuatku langsung curiga. Wataknya terlihat seperti Amuro, langsung merubah mood jika menyembunyikan sesuatu. "Menyangka apa?"

"Hantu itu, aku tidak menyangka wanita itu bisa menjadi hantu hamil di danau taman kota. "

"Kau mengenalnya? "

Wajah pucat Araki semakin terpampang jelas di hadapan kami semua, dia mengarahkan pandangannya ke arah lain, mengucap lagi dengan suara pelan, "dikata kenal tidak ... tapi ...."

Michiru mendecih setelah itu. "Katakan saja! Apa susahnya? "

"Aku tidak mengerti hal ini ...." Araki menggigit bibir. "Aku ... aku tidak menyangka, gadis baik-baik yang disukai Boss Besar-ku mati dan menjadi hantu begitu saja. "

Siapa lagi ini?

"Boss Besar? Tunggu! " Tiba-tiba Amuro mencengkram bahu Araki. "Kau tidak bilang kalau Boss Besar-mu itu adalah Ketua Yankee kota ini 'kan?! Jadi kau sebenarnya tahu hal ini!? "

Araki menggigit bibirnya, dan jawaban dari pertanyaan itu muncul dengan sendirinya.

"Maafkan aku. "

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 27, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hide and SeekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang