Note 1 : A Balloon for You, Little Boy

761 78 22
                                    

Warna abu-abu masih mendominasi pengliatanku semenjak aku masuk ke gerbong kereta api cepat menuju kota kecil di depan mata. Dentuman lagu dari MP3 player memekakkan telinga adalah usaha untuk membuatku tetap bertahan di situasi membosankan ini. Apa yang bisa kulihat hanyalah terowongan, lampu dan realita yang membosankan, semua serba abu-abu.

Aku tidak mengatakan aku benci kota yang lebih sepi, tapi aku juga tidak bilang jika aku menyukainya. Jika melihat responku seperti itu, akan muncul pertanyaan : kenapa kau pergi ke kota sepi itu?

Aku akan memenjelaskannya sependek mungkin, itu karena aku sudah tenggelam dalam kebosanan tingkat dewa yang memenuhi seluruh gerbong kereta api yang kutunggangi.

Ini berawal ketika aku masih tinggal di kota besar. Aku ingat hari itu adalah dua minggu setelah kelulusanku di Universitas Tokyo, dan aku sudah bekerja pada perusahaan online lewat internet. Di hari itu pula, sepucuk surat menitahkanku untuk pergi ke suatu kota kecil di Tokyo, menuju rumah nenekku yang sudah lama tak kukunjungi.

Terakhir kali aku bertemu dengannya ketika aku liburan musim dingin beberapa tahun yang lalu, saat itu aku masih kelas 3 SMP. Nenek adalah seorang wanita tua yang masih bersemangat hidup di ladang. Mikka, rumah kuno Jepang kepunyaan nenek adalah satu hal yang anehnya selalu kurindukan ketika aku masih kecil. Aku sekarang berpikir ulang mengenai hal itu, sepertinya aku rindu rumah itu karena tempatnya sangat luas, tidak seperti apartemen 9x4 yang nyaris pernah kutempati ketika aku masih SMA.

Kota kecil tempat nenekku berada jarang muncul di TV, jadi kota itu benar-benar kota yang tenang. Di bagian tertinggi kota itu banyak perkebunan yang tersebar di setiap titik. Pekerjaan mereka mayoritas adalah petani dan pekerja ladang, sama seperti nenekku.

Baiklah, itu terlalu panjang. Singkatnya aku tidak ambil pusing dan menyetujui kepindahan itu, lantaran orang baru sebelah apartemenku sangat berisik sampai setiap malam aku sulit tidur karenanya. Rumah nenek yang luas, ditambah tempat yang tenang, asalkan ada internet dan aku bisa bekerja itu sudah lebih dari cukup.

Terima kasih telah menikmati fasilitas yang kami berikan. Tujuan selanjutnya—”

Aku cepat-cepat melangkahkan kaki keluar dari kereta itu dan merenggangkan ototku yang sudah kaku karena terlalu lama duduk. Menggantikan warna abu-abu perjalanan yang membosankan yang masih hinggap di otakku, pemandangan di depan mata adalah stasiun yang sepi dan tenang. Ini benar-benar berbeda dengan kota yang kutinggali sebelumnya, tempat ini membuatku bisa menghirup udara dengan leluasa.

Kulangkahkan kakiku cepat berharap aku segera keluar dari stasiun ini dan bisa menemukan taksi. Walau seharian aku hanya bisa duduk, itu adalah hal yang melelahkan tahu.

“Oh hei ….”

Sejenak suara lirih dapat tertangkap oleh telinga yang membuatku merinding seketika. Aku berhenti melangkah dan memastikan keadaan di sekelilingku. Tidak ada satu orang pun yang ada di dekatku, kecuali seseorang yang memakai setelan stripes hitam putih dan membawa banyak balon. Pikiran pertama yang ada di otakku adalah orang itu hanyalah seorang badut, namun melihat model rambut yang dipakainya tidak lucu sama sekali dan make up yang terlalu sederhana membuatku bingung sejenak.

”Ada apa?” tanyaku begitu saja pada orang asing itu.

“Kau orang baru di sini?”

Badut yang aneh, cara bicaranya memberikan logat yang ganjil. Rasa enggan perlahan merasukiku, karena badut ini hanya memakai bedak putih hingga wajahnya seputih kertas manila dan tidak memakai benda apapun lagi. Matanya yang beriris maroon gelap ditutupi lentik bulu matanya yang hitam legam sejenak membuatku menarik kesimpulan : badut rumah hantu?

“Begitulah.” jawabku pendek, berharap agar bisa segera meninggalkan badut ini. “Aku harus pergi.”

“Oh tunggu! Ini ada hadiah kecil untukmu!” Dia memberikan pose menahanku dan tangannya yang lain mengambil satu balon berwarna merah. “Silakan, nikmati harimu.”

Dia punya model yang terkesan creepy, tapi dia cukup ramah. Kupikir ini tidak apa, lagipula aku bukan anak kecil yang bisa diculik hanya karena diberi balon oleh badut asing.

“Tidak perlu, terima kasih. Aku tidak akan bermain dengan balon itu.”

“Kumohon terima saja ya. Aku memang sudah terbiasa memberikan balon untuk orang baru, biasanya mereka juga hanya menerimanya kemudian menerbangkannya begitu saja.”

Lalu gunanya kau memberi mereka balon itu apa?

Walau aku berkonflik batin di dalam hati, melongolah yang kutunjukkan padanya.

“Sebentar lagi aku akan berhenti menjadi badut. Aku memberimu ini karena aku sedang ingin menghabiskan stok balon yang tersisa. Jika kuberikan balon-balon ini pada orang lain, kupikir aku bisa menghibur sedikit kalian yang menikmati perjalanan kereta yang membosankan.”

Oh … kau benar. Yah, tidak ada salahnya mengambilnya. Lagipula seperti yang dia katakan, aku boleh langsung melepaskannya jika aku mau kan?

“Terima kasih.” Tanganku menggapai tali balon itu dari tangan badut di depanku. “Setidaknya aku menerima ini sebagai hiburan.”

Badut itu tersentak sedikit lalu menoleh ke jalan keluar stasiun, dia kemudian menelengkan kepalanya seakaan berpikir. “Aku mendengar ada suara di luar sana, kupikir mereka memanggilmu? Kau agaknya perlu segera pergi menghampiri mereka.”

Sungguhan? Aku menajamkan pendengaranku dan mencoba mendengarkan lebih baik. Ketenangan ini memudahkanku untuk mendengar suara apapun, bahkan yang asalnya jauh sekalipun.

Sakuma-chan!”

Sakuma-niisan!”

Wow, itu benar. Suara parau nenek dan suara seorang gadis kecil. Biar kuingat … apakah dia keponakanku, Misaki? Dialah anak kecil keluarga besar kami yang paling sering mengunjungi nenek, jadi kupikir itu dia.

“Kau benar, aku harus segera pergi.” balasku.

“Oh, jika kau tidak suka balon, kau berikan saja balon itu pada seseorang.”

Lalu bagaimana denganmu sendiri, Sobat? Kau punya banyak balon di depanku. Aku memandangnya datar, bersiap melontarkan itu kalau tidak keduluan olehnya.

“Hehe, aku juga harus segera pergi, jadi semoga harimu menyenangkan.” Dia tersenyum lebar, menunjukkan gigi putihnya yang tertata rapi. Kemudian ia pergi ke sudut tergelap gedung inti stasiun.

Aku hanya berharap balon itu cepat habis, kemudian aku melangkahkan kakiku menuju lubang cahaya, jalan keluar stasiun bawah tanah ini.

“Ohoho, selamat datang Sakuma-chan!”

“Sakuma-niisan benar-benar datang, Baa-chan!”

Ketika di depanku terlihat seorang wanita tua dan seorang gadis kecil yang kupikirkan ketika di dalam, aku terdiam sejenak dan menatap kembali bagian dalam stasiun kereta yang gelap gulita.

“Terima kasih.”

Ya, terima kasih pada badut itu, setidaknya aku senang.

“Ada apa Sakuma-chan?”

“Tidak apa Baa-san, ayo kita pergi.”

Walau penampilanmu menakutkan, kau orang yang baik, Tuan Badut.

Hide and SeekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang