Damirn duduk di samping Yehana yang sedang tertidur. Pria itu tengah memperhatikan wajah kecil Yehana, obat tidur yang di berikannya bekerja dengan baik, sudah hampir empat jam Yehana tertidur.
Damirn terus menatap wajah Yehana tanpa ekspresi, perlahan ia menyentuh pipi kanan Yehana dengan sangat pelan. Namun hanya sekejap, Damirn segera menarik lengannya kembali saat mendengar ponsel Berlin yang ia taruh di atas laci berdering, sebuah panggilan masuk. Tertera sebuah nama yang begitu familiar bagi Damirn.
Damitri Folx, nama itu begitu membekas di diri Damirn. Damirn menjawab panggilan masuk tersebut.
"Berlin! Kemana saja kau?!"
Darah Damirn berdesir ketika mendengar suara serak dari ujung sambungan telfon tersebut. Ia bungkam, tak membalas bicara sedikitpun.
"Berlin ....?"
"Kau di sana?"
"Ya, aku disini. Ayah ...." jawab Damirn pelan.
Hening. Tak ada jawaban lagi dari ujung sambungan telfon.
"Damirn... kaukah ini?"
"Ya, ini aku."
Keadaan kembali senyap, Damitri menjeda ucapannya. "Kenapa? Kenapa kau kabur dari ayah?"
"Di sana tidak ada kau. Makanya aku pergi." Ucap Damirn dingin, matanya menatap kosong layar ponsel Berlin.
"Kau harusnya bersabar sedikit lagi, Damirn. Aku pa---"
"Bersabar? Aku sudah bersabar selama sebelas tahun. Lalu, aku juga sudah bersabar selama tujuh tahun di Alcatraz. Kau mau aku bersabar sampai aku mati?!"
Damitri menghela nafas, "Damirn... jalanmu salah. Seharusnya kau tetap tinggal di Oakla---"
"DIAAAAM!!!" nafas Damirn memburu, matanya memerah. Ia merasa begitu sakit hati pada Damitri, orang yang begitu ia sayangi. Keadaan menjadi senyap, Damitri tak bicara sepatah katapun.
"Sampai sekarang, aku masih mengingat janjimu yang katanya hanya pergi sebentar. Tapi nyatanya, kau pergi selama belasan tahun, dan meninggalkanku bersama orang gila psikopat itu!!!" Urat-urat leher Damirn keluar, nafasnya terus memburu bahkan matanya sampai berkaca.
"...Kembalilah ke Alcatraz, aku akan menemuimu."
Damirn bangkit dari duduknya, ia menggenggam kuat ponsel Berlin. "Tutup mulut tua mu itu. Aku tak akan kembali, tak akan sampai selamanya! Dan ingat ini, kalau aku menemukan keberadaamu. Maka kau akan mati saat itu juga, Keparat!!!"
Damirn membanting ponsel Berlin begitu saja, hingga semuanya hambur berantakan. Teriakan Damirn yang begitu bernadakan emosi membuat Yehana terbangun, namun gadis itu tak berani membuka mata. Ia memilih pura-pura tidur.
Damirn mendekati Yehana kembali, laki-laki itu menjangkau lengan Yehana, menggenggamnya dengan agak kuat, yang membuat dahi Yehana berkernyit.
"Yehana... apa kau takut padaku?" ucap Damirn yang terdengar begitu pilu, setiap kata yang ia utarakan menyimpan nada kelam. Yehana bungkam, ia sama sekali tak membuka matanya.
"Aku tahu kau sudah terbangun... apa kau tidak berniat untuk membuka matamu?"
Yehana merasa tertangkap basah. Mau tak mau ia membuka mata, begitu mata gadis itu terbuka. Wajah Damirn dengan matanya yang merah langsung menyambut Yehana.
"Kenapa? kau takut padaku?"
Yehana menggeleng ragu, jujur ia merasa takut. Pandangan Damirn tampak penuh kebencian. Dan, Yehana tak suka melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DAMIRN ✔ (END)
Mystery / ThrillerKarya pertama dan tidak akan di revisi. "Aku bukan Psikopat Yehana!" Damirn Folx