20

120 6 0
                                    

Mico Timothy

I own the reason why this accident happened. I own my hurt. I own my destiny; berharap Kak Albert pulih kembali atau aku tidak akan bertemu Kak Albert, untuk selamanya.

Seharusnya aku menolak ajakan Kak Albert untuk makan siang. Seharusnya kami pulang setelah makan siang, tidak melanjutkan perjalanan ke taman.

Seharusnya aku tidak berharap. Seharusnya aku tidak pergi meninggalkan Kak Albert sendirian di tengah malam yang dingin. Seharusnya aku tidak memiliki rasa ini.

Posisiku masih sama: duduk sambil memeluk Mama Kak Albert dan menangis di balik pelukan beliau. “Aku minta maaf, Tante.” Suaraku terdengar sangat parau.

“Tidak ada yang salah di sini, Mico. Ini kecelakaan. Ini bukan salah kamu,” beliau berusaha untuk menenangkanku sambil terus mengusap bagian belakang kepalaku. Namun, aku tahu beliau khawatir, melebihi rasa khawatirku.

Sam dan Levi berada di sofa sebelah kananku. Mereka hanya diam, sementara Levi masih sedikit terisak.

Kami sudah di rumah Levi, di ruang tamunya. Rumah sakit bukan tempat yang tepat untuk berdiam, tempat itu seakan menjadi momok menyakitkan di mana harapanku terlihat sangat mustahil sementara maaf sudah tidak ada artinya.

Dokter memberikan konfirmasi bahwa Kak Albert sudah ditangani dengan sangat baik secara medis. Namun, keadannya saat ini masih kritis dan terbaring koma saat ini. Oleh karena itu, Kak Albert masih belum bisa dikunjungi dalam beberapa waktu ke depan sampai dokter memberikan konfirmasi tentang kondisi Kak Albert selanjutnya.

Setelah mendapatkan konfirmasi seperti itu, kami berpindah ke rumah Levi. Namun, hal yang tidak berpindah adalah perasaanku pada Kak Albert. Aku benar-benar menyesal.

***

Semalam, sebelum semua penyesalan terjadi.

Aku mendengar semuanya dengan jelas. Pernyataan yang kembali melukai luka yang sebelumya pernah digoreskan oleh orang yang sama, Axedus Albert. Pernyataan itu seakan menikamku kembali dengan rasa sakit yang berlipat ganda.

Aku diam, seolah tidak terjadi apa-apa. Aku diam dengan rasa sakit seakan pisau menikamu tepat di jantungku dan mencabik-cabiknya.

Aku diam dengan rasa sakit, namun tetap tersenyum saat Albert menghampiriku. “Ini minum kamu. Maaf lama,” katanya sambil memberikan air mineral dalam kemasan.

Tanganku menerimanya.

“Sudah hampir jam lima sore nih, kita harus pulang.”

“Ya,” aku menjawab singkat supaya tidak terdengar suaraku yang tercekat.

Axedus Albert mendahuluiku. Aku ikut berjalan di belakangnya.

Setelah sampai di dekat mobilnya, kami langsung naik. Aku meletakkan air mineral tersebut di dasbor mobil. Tanpa basa-basi, Axedus Albert menyalakan mesin mobilnya, lalu dengan baik mengeluarkan mobilnya dari tempat parkir. Tidak sampai 3 menit, mobil Axedus Albert sudah melenggang di jalan raya.

Jalanan sangat macet. Pasalnya, kami pulang berbarengan dengan orang-orang yang juga pulang kerja. Suara klakson yang beriringan dan pengendara yang saling serobot mewarnai sore kami hari ini. Belum lagi jika sampai di lampu merah, kami harus dihadapkan dengan pedagang asongan dan atraksi badut kecil-kecilan yang diiringi musik dangdut di dekat mobil kami. Seribu atau dua ribu rupiah pasti keluar dari kantong untuk diberikan ke pada mereka sebagai nafkah mereka.

ALMICOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang