29

129 6 0
                                    

Mico Timothy

Waktu tidak pernah gagal menyembuhkan luka setiap orang, tidak terkecuali aku. Entah bagaimana caranya, tapi semua seakan berlalu begitu saja. Pelan namun pasti, perlahan tapi sampai pada sebuah kesimpulan bahwa perasaanku adalah untuk Axedus Albert seorang.

Axedus Albert. Manusia yang yang membuat duniaku yang sebelumnya bagaikan kertas putih polos menjadi sangat berwarna. Dia melukiskan setiap kisah di atasnya, yang kemudian bermetaformosis menjadi banyak cerita untuk diingat; candaan, tawa, tangis, bahkan kekecewaan menjadi sebuah album di dinding memoriku untuk diingat––telah seberapa jauh aku melangkah, telah seberapa jauh perasaanku ikut bermain di sana.

Axedus Albert pernah menjadi orang yang sangat aku kagumi, hanya karena ketampanannya. Waktu itu aku sangat ingin mengenalnya, lebih dekat, aku harus mengakui bahwa aku menyukainya. Aku serius tertawa di dalam hati, bagaimana bisa seseorang jatuh cinta hanya karena ketampanan saja? Tapi mungkin itulah perasaan, bentuk dari kata hati yang sama sekali tidak bisa dibohongi.

Dia sangat ramah, sangat baik, sangat pengertian, sangat berwibawa, dan sangat-sangat yang lainnya. Tidak akan habis selembar kertas untuk mendeskripsikannya, lebih baik aku hentikan. Oh iya, sangat tampan. Hampir kelupaan, hehe... ya, aku mengenalnya dari reat-reat sekolah. Kalau saja aku tidak menahan diri, aku akan kunci pintu dan mencium dia. Tapi aku tidak punya banyak keberanian.

Aku banyak menulis tentang dirinya, banyak sekali; di buku harianku, di laptop, bahkan aku simpan di flashdisk. Sampai suatu hari aku menyadari bahwa dia bukanlah seseorang yang ada di pikiranku. Dia kejam, dia sangat-sangat tidak berperikemanusian, dan dia benar-benar homophobic. Dia membuat semuanya tampak jelas, aku seolah ditelanjangi tanpa memikirkan apa yang selanjutnya akan terjadi.

Aku membencinya saat itu, sangat-sangat membencinya. Aku sangat-sangat kecewa. Aku terus saja menangis, tapi air mata saja tidak cukup. Aku berharap tidak pernah mengenalnya, waktu itu. Namun ternyata, semua berjalan sangat berantakan, entah bagaimana bisa terjadi, tapi yang aku ingat aku hanya bisa menangis setiap malam melihatnya terbaring tidak berdaya di rumah sakit.

Semua berubah, perasaanku kembali dipermainkan. Aku membencinya, tapi hatiku seolah berkata untuk menerimanya. Aku frustrasi. Namun, diantara hati dan logika, akan selalu berkuasa hati. Aku memilih kembali membuka hati, memilih kembali mencintainya bahkan lebih dari yang aku lakukan dulu. Aku mencintai Axedus Albert.

"Menurut penelitian, menatap laptop terlalu lama akan menyebabkan mata menjadi minus."

Aku memutar bola mataku malas. Aku baru saja menulis, dia sudah menggerutu. Aku berusaha fokus untuk kembali menulis.

"Sifatnya akumulatif, kalo terus-terusan minusnya makin membesar."

Aku tidak melihatnya, tapi aku tahu pasti dia berlagak bergidik ngeri.

"Nanti pakai kacamata kalau minusnya udah parah," dia masih melanjutkan.

Aku semakin malas mendengarkan.

"Aku tahu kamu nggak mau pakai kacamata," dia mengungkapkan fakta tentang diriku. It's kinda sweet that he remembers it. "Karena kamu nggak mau pakai kacamata, makanya nggak boleh menatap laptop terus menerus dalam waktu yang lama. Itu berarti, kamu nggak boleh main laptop sekarang." Dia melihatku.

Aku menyerah. Aku melihatnya malas. "Aku barusan banget nulis, not even 30 minutes loh, dickhead," aku menjelaskan.

"Tapi aku baru ketemu kamu malam ini, Timo." Dia menatapku melas.

ALMICOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang