1

1.8K 101 20
                                    

DALAM diri manusia pasti terselip sejuta berkas rahasia dalam dirinya, apapun itu. Pengalaman memalukan, kegagalan dalam cinta, patah hati, bahkan sampai kebiasaan-kebiasaan buruk. Semua itu disimpan rapat-rapat, apik ... sehingga orang lain tidak dapat mengetahuinya.

Tampak Mico duduk termenung, menatap kosong ke satu-satunya bunga matahari di taman itu---duduk di salah satu bangku taman Greetel Senior High School---sekolahnya. Berjuta-juta pertanyaan leluasa masuk dalam pikirannya, meratapi nasibnya---karena "berkas" rahasia-nya telah "dicuri" dari dirinya. Rahasia yang benar-benar telah ia simpan itu, tetap masih bisa "kebobolan" oleh orang lain. Lebih parahnya lagi, "pencuri" itu ialah orang yang sangat ia cintai. Tragis, kan? Mau tahu apa yang lebih memiris hati? "Berkas" itu disebar merata ke setiap orang se-penjuru dunia. Oke, ini berlebihan. Tapi sekarang, "berkas" itu bukan lagi rahasia, melainkan sudah menjadi "makalah" yang di-"fotocopy" dan disebar ke seluruh kelompok. Benar-benar tragis, kan? Parah!

Borgol-borgol kekecewaan terpasang dengan kuat di diri Mico, sampai ia sulit bernapas dibuatnya. Sesak di dadanya tetap "berirama" dengan ritme yang tak beraturan, terus memburunya, lalu menombaknya tepat di inti jantung. Sakit sesakit-sakitnya! Kejam menombaknya tanpa sebuah ampun. Sampai-sampai mati dengan darah yang mengalir deras. Berlebihan? Tapi, kenyataan terkadang memang berlebih menyakitkan.

Air itu sudah terkondensasi sempurna, tinggal tunggu jatuh saja dari pelupuk mata indah itu. Benar saja, di detik ketiga, bulir itu menetes membasahi pipi mulus Mico. Batapa menyakitkannya jika orang yang kita cintai dengan sengaja memberi tahu yang dia sendiri tak tahu betapa menyakitkannya menjaga "itu" dengan aman.

"Aaaaarrrggghhh!!!" Mico berteriak pada langit yang tepat berada di atasnya. Ciptaan Tuhan yang tidak salah apa-apa itu, menjadi objek pelampiasan Mico ... hanya ingin mengeluarkan semuanya---jika tidak, ia akan "meledak"---lebih baik diluapkan.

"Hei!" Seseorang menegur Mico, tepat di bawah pohon rindang taman itu. Suara bariton laki-laki.

Dengan cepat, Mico menyeka air matanya. Lalu dengan cepat, menoleh ke arah suara itu. Rupanya, laki-laki itu menghampirinya. Jarak pohon dan bangku taman itu tidak terlalu jauh, hanya terpaut beberapa meter saja.

"Kak Rama?" gumam Mico.

"Lo pikir, cuma lo doang yang di sini?" sorat mata yang tajam, hampir membuat Mico menelan salivanya sendiri.

"Ma... maaf, Kak," Mico meminta maaf. "Aku pikir, tadi... enggak ada orang."

"Kenapa?" Rama mengernyitkan dahinya, bertanya kepada Mico. "Lo nangis?" siapapun tahu jika Mico sehabis menangis, matanya merah dan sedikit sembab. Lagi, sisa-sisa air matanya masih membekas.

Mico langsung cepat-cepat menyeka air matanya, "Ah, enggak kok."
       Bodohnya ... makin kelihatan kalo kamu habis nangis, Mico.

"Kalo enggak nangis, kenapa ngelap-ngelap air mata?" Rama tersenyum geli, menggeleng kepalanya. Sementara Mico, dia hanya malu menyadari kebodohannya. "Rokok?" tawar Rama sambil menyodorkan sebungkus rokok ke arah Mico, masih berdiri di samping Mico.

Lama ... Mico menatap rokok yang Rama tawarkan. "Aku enggak merokok, Kak," tolak Mico sopan seraya tersenyum, juga sopan.

"Oke." Rama menarik uluran tangannya. Mengambil satu batang, mengapit ujung rokok itu dengan kedua mulutnya, mengambil pelatik miliknya dari jaket jins yang ia pakai. Kemudian, menyalakannya, lalu menyalakan rokoknya. Beberapa detik kemudian, asap rokok mengepul di udara dari mulut Rama.

Mico hanya memperhatikan Kakak kelasnya itu. Sejauh yang ia tahu, seberapa besar lucky factor yang Rama miliki sampai bisa merokok di area taman sekolah. Karena, siapapun yang ditemukan merokok---termasuk guru---di area sekolah, akan dikeluarkan. Tapi, Rama? Dia selamat-selamat saja. Tapi... entah baru kali ini atau sudah lama.

ALMICOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang