Saat aku masih terhanyut didalam pusara tatapan Maxim, aku merasa dapat berbicara dengan dia. Tidak menggunakan kata-kata, tapi hanya dengan kontak batin. Aku merasa semakin dekat dengan dia. Semakin dalam tatapan itu, maka semakin terhanyutlah diriku. Aku bahkan, tidak mendengar keributan lagi. Padahal didalam kelas ini rasanya sangat ribut tadi. Semuanya hanya terfokus tentang dia saja.
EKHM..
Aku yang kembali tersadar langsung memalingkan wajah untuk menyembunyikan wajah maluku. Tanpa memperdulikan dia lagi, aku langsung ngacir ketempat Qinara dan langsung duduk disebelahnya. Seakan paham dengan situasi, Qinara hanya melihatku sebentar lalu melanjutkan membaca novel yang lagi viral. Yang didalamnya berisi banyak gombalan manis. Kalau tidak salah, bahkan ada juga gombalannya yang ikutan jadi viral. Dengan cover berwarna biru muda dan ada rupa seorang anak laki-laki SMA.
"Milea, kamu cantik, tapi aku belum mencintaimu. Enggak tau kalau sore. Tunggu aja."
#Dilan 1991. Pidi Baiq.
Yap, kalimat itu seperti erat sekali hubungannya dengan novel tersebut. Pasti kalian tau, apa judul novel tersebut bukan?? Tentu saja. Bahkan novel itu sangat membludak dipasaran. Kerenn sekali!! Tapi sayang, kisah cintaku tak semanis Dilan&Milea. Aku yakin, pasti ada akhir yang manis juga dikisahku. Aku yakin akan hal tersebut.
Terkadang aku merasa miria sendiri dengan diriku. Dengan begitu sok-sokannya, aku menggurui orang tentang cinta. Aku berkata dengan begitu pongahnya, bahwa cinta juga mempunyai kebahagiaan. Tapi sayangnya bagai senjata akan tuan, ucapanku pun seperti menjadi senapan laras panjang yang siap melontarkan pelurunya dan menembak. Tepat dihatiku. Aku tertembak dan hatiku hancur.
Aku terdiam. Hanya bisa terdiam. Mengapa mencintai sesulit ini??? Aku hanya bisa mencintai, tanpa berharap si pujaan tau isi hati ini. Aku hanya terus mencintai dalam diam. Terus menunggu dan sabar akan kepekaan si pujaan. Aku kira ini hanya sesederhana itu. Menyukai, lalu menyimpannya rapat-rapat. Sederhana dan simpel bukan?? Tapi sayangnya, prakteknya tidak sesimpel itu. Aku harus menahan cembru, dikala dia sangat akrab dengan yang lain. Aku harus menahan rasa kecewa yang berlebih, dikala dia hanya menganggapku sebagai teman dekat. Dan masih banyak lagi kesusahan yang aku alami.
Aku kira, Sheira lebih beruntung dibanding diriku. Ternyata nasib kami sama-sama menyedihkan. Gebetanya dekat hanya karena taruhan, lalu setelah itu sekarang si gebetan sudah mempunyai pacar baru lagi. Yang keberapa?? Entahlah, aku tak memperdulikan hal tersebut. Tapi, Sheira juga jarang menampilkan muka sedih miliknya. Dia lebih sering menampilkan senyum konyol, layaknya orang idiot yang kelebihan micin.
Aku sangat sering mencurahkan segala keluh kesahku kepada Sheira. Dia bagaikan buku diary yang hidup. Terkadang dia juga memberikan beberapa petuah-petuah. Mungkin rasanya, jika percakapan kami hanya tentang Maxim, maka akan sangat panjang sekali. Membahas topik satu orang yang begitu saja, sudah panjang sekali.
Jika memikirkan tentang Maxim, maka tidak ada habis-habisnya. Aku akan selalu saja mekirkannya. Hal tersebut bukanlah keinginanku, tapi itu mengalir begitu saja. Jika aku sedang sedih, maka yang menjadi penyebab utama adalah Macim. Waktu bahagia pun juga begitu. Mungkin jika kalian membaca kisahku, kalian akan bosan. Karena hanya satu nama yang akan sering tersebut. Maxim Aileen Nayaka.
Nama itu akan terus terlukis dengan indahnya didalam hatiku.
TBC
Sorry for typo
Salam Hangat
Kecup Jauh
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Talk
Teen FictionYa, karena aku bukan indomie nya dia, "selera ku" . Tapi kodomonya dia, "teman baik ku".