loggerheads • johnil

998 147 38
                                    

Senin pagi, akhir tahun.

Moon Taeil yang berbaring meringkuk di atas tempat tidur mengernyitkan kening, terusik atas silaunya matahari yang menyelinap masuk melalui celah korden. Kelopak matanya yang terasa begitu berat ia paksakan terbuka, lantas segera menyorot sisi ranjang di sampingnya.

Kosong. Dingin. Tidak ada tanda-tanda bahwa seseorang menempatinya semalam.

Dan hal itu membuat Taeil menghela napas, kembali bergelung dalam selimut tebalnya seraya meraih ponsel di samping bantal.

Tidak nampak notifikasi apapun dari suaminya. Puluhan panggilan tak terjawab yang ia layangkan semalam sama sekali tidak dibalas. Pun seluruh pesannya diabaikan tanpa dibaca.

Ponsel dilempar begitu saja ke atas ranjang, dan Taeil lantas menyurukkan wajahnya kembali pada bantal. Satu air mata bergulir turun, membiarkan fabrik lembut di bawahnya basah sementara bulir-bulir yang lain menyusul, hingga suara isakan pelan pun terdengar.

Hari ini adalah Senin, tanggal 31 Desember 2018.

Dan itu berarti, sudah terhitung dua hari sejak pertengkaran hebatnya dengan Seo Johnny terjadi, yang menyebabkan suami sahnya itu pergi meninggalkan rumah.

.

.

.

"Pulanglah, Seo Johnny."

Yang disebutkan namanya tidak mebggubris. Ia tetap bertahan di tempatnya duduk--kursi tinggi bar dengan kaki-kaki yang sudah rapuh. Kepala lelaki itu terkulai di atas meja bar dengan dua botol alkohol murahan mengelilinginya. Satu tandas, satunya lagi masih tersisa separuh.

Decakan keras terdengar, pria yang sudah bersiap pergi setelah mengenakan long padding-nya itu berucap lagi, "ayolah, John. Ini sudah pagi, aku juga ingin pulang. Kau akan kukunci di dalam bar ini kalau tidak segera bangun dalam hitungan tiga."

Masih hening yang menjadi satu-satunya respons pria itu. Seo Johnny tetap bergeming, punggungnya masih bergerak naik-turun secara halus.

"Satu."

Hitungan pertama terdengar. Kini, jemari Johnny yang terletak di atas meja mulai bergerak.

"Dua."

Kepala bermahkotakan rambut hitam legam itu terangkat sedikit. Satu erangan, kemudian kepala Johnny kembali terempas ke atas meja.

"Jangan sampai aku menyebutkan tiga, John. Bonus yang akan kaudapatkan adalah tendangan di bokong."

Perkataan itu ampuh membuat Johnny mengangkat kepala sepenuhnya, disertai obsidian yang memicing tajam. Wajah lelaki itu kuyu, tersirat lelah dan kantuk yang belum pudar.

"Persetan kau, Jackson."

Umpatan itu dibalas dengan senyum. "Selamat pagi juga, John. Sekarang, angkat bokong malasmu itu dan pergi dari sini, bosku akan mengamuk kalau tahu aku membiarkan pelanggan tidur di bar."

Johnny merenggangkan tubuh, lalu mencari-cari ponselnya yang semalam ia letakkan di atas meja bar. "Ponselku?"

Tangan Johnny yang meraba-raba meja terhenti, tepat ketika Jackson menyodorkan sebuah benda persegi panjang di depan wajahnya, menampakkan lima puluh dua panggilan tak terjawab, serta ratusan pesan yang berasal dari kontak yang sama.

Moon Taeil. Suaminya.

"Ini berdering semalaman, tapi aku tidak berani menjawabnya, John."

Johnny mengembuskan napas panjang, mengambil ponselnya dari tangan Jackson. Setelahnya, ia mendengus. "Terima kasih, bung."

draft; nctTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang