renjana • yudo

968 122 32
                                    

 "Jadi, deadline pengerjaan tugas akhirmu empat hari lagi. Dua bab harus direvisi total, bab empat belum tersentuh sama sekali, dan format dokumenmu belum sesuai dengan yang tertulis di buku panduan." Nakamoto Yuta kemudian menghela napas, memandang lelaki bermata bulat yang tengah mengaduk kopi di hadapannya dengan tatapan skeptis. "Dengan waktu sesempit itu, bahkan tidak terpikirkan olehku untuk menyentuh kasur seujung jari pun. Tetapi apa yang kaulakukan? Tiga malam ke belakang kau malah... Tidur hingga dua belas jam perhari?" Suara lelaki itu meninggi di akhir kalimat, sarat dengan ketidakpercayaan yang didukung dengan ekspresi wajah tidak habis pikir.

Lelaki yang dipanggil Kim Doyoung itu lantas meringis, namun tepat ketika pembelaan nyaris keluar dari mulutnya, Nakamoto Yuta melanjutkan, "kau itu sebenarnya apa, Kim Doyoung? Beruang kutub? Ah, bahkan beruang kutub saja tidak hibernasi separah itu."

Kali ini si pemuda yang menyerupai kelinci mengerutkan alis, nampak sedikit tersinggung. "Koreksi, beruang kutub dapat hibernasi hingga setengah tahun. Setidaknya, hujat aku dengan fakta yang akurat, Nakamoto menyebalkan Yuta."

Yuta merasakan urat-urat di kepalanya berkedut. Dan guna menyurutkan emosi, direnggutnya gelas berisikan ice coffee milik Doyoung yang masih terisi penuh, kemudian menenggaknya dengan brutal tanpa memedulikan sedotan yang bertengger di sana menusuk pipinya. Pun teriakan protes dari si penyandang marga Kim tidak juga ia pedulikan. "Aku menyetujui ajakanmu ke sini semata-mata untuk membantu, jadi mari kita tinggalkan topik soal hibernasi beruang kutub dan segera perlihatkan dokumenmu itu padaku, Kim sleephead Doyoung."

Gelas yang isinya sudah tandas hingga separuhnya digeser kembali mendekati sang pemilik tanpa perasaan bersalah sedikit pun. Doyoung menatap nanar gelas berkaki tinggi itu. Bagaimanapun, ice coffee yang dibelinya dibanderol harga sebesar tiga ribu won. Dan sebagai mahasiswa tingkat akhir yang sedang menghadapi krisis ekonomi di penghujung bulan, ia sama sekali tidak rela setengah dari tiga ribu won miliknya kini berakhir di tubuh Nakamoto Yuta. Hell, lelaki itu bisa saja membeli kafe yang mereka tempati saat ini lengkap beserta pegawai-pegawainya, kenapa juga ia masih tega merampas milik pemuda malang sepertinya?

Maka, sambil berdecak, ia menarik gelas miliknya sedikit gusar hingga tercipta suara es yang saling bergemelutuk memebentur dinding gelas, melindungi minuman itu dari tangan Yuta yang sewaktu-waktu mungkin akan mengutilnya lagi. Pandangan sengit ia lempar pada pemuda yang balas menatapnya galak itu, sebelum membuka laptop berlogokan apel tergigit di hadapannya, seketika menampilkan soft copy dokumen bermuatan seratus lebih halaman yang masih aktif.

"Ini," Doyoung berujar sedikit ketus, menghadapkan layar pada yang lebih tua. "Baca saja dari awal, katakan padaku kalau ada bagian yang kurang pas."

Yuta mengumpat di bawah napasnya. Di sini, ia seharusnya memiliki posisi layaknya seorang editor—galak dan berkuasa, mengkritisi karya dari seorang Kim Doyoung dan dibumbui oleh kata-kata pedas. Membayangkan hal itu terjadi sudah memberi kepuasan tersendiri baginya.

Tapi kenapa ... sekarang ia malah terlihat seperti joki skripsi murahan di sini?!

Yuta mengatur napas, berusaha agar emosi tidak kembali menguasai pikirannya. Ia memfokuskan penuh tatapannya pada layar laptop, memindai tugas akhir milik sang sahabat sambil sesekali menggeser dua jemari di atas touchpad untuk menggulung layar. Hingga mencapai bab dua, tidak ada deret tulisan yang mengusik Yuta, semuanya tersusun dengan apik dan detil, mencerminkan performa Doyoung pada bidang jurnal serta literasi yang sudah digelutinya sejak awal masuk kuliah.

Namun, tepat ketika bagian akhir bab tiga tersuguh di hadapannya, alis Yuta mengerut. Ada kalimat yang dirasanya mengganjal dan ambigu, maka ia pun menggeser kepalanya sedikit menjauhi layar, hendak menyampaikan kritisinya pada Doyoung.

draft; nctTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang