Saat ini, Mark Lee dilanda kegugupan luar biasa hingga tubuhnya seakan mati rasa. Ujung-ujung jarinya terasa membeku. Kaku, seperti aliran darahnya terhenti begitu saja. Inhalasi dan ekshalasi pun menjadi sukar untuk dilakukannya saat ini.
Bukannya hiperbola, tapi memang segugup itulah Mark Lee dalam menghadapi interview pertamanya untuk suatu pekerjaan. Pukul tiga dini hari, ketika orang-orang masih terlelap begitu pulasnya ia bahkan sudah beranjak dari kasur, segera bersiap mengenakan pakaian formal terbaiknya sementara interview saja baru dimulai pada pukul sembilan pagi.
Ketika duduk di bangku halte pun, Mark tidak bisa berhenti melakukan simulasi perkenalan. Mengumpat pelan saat merasa bahwa kalimatnya terdengar aneh, atau ia terlalu terdengar kaku dalam sapaannya.
"Saya Mark Lee, lulusan Universitas Seoul tahun 20—ah ya ampun, kenapa seperti perkenalan murid baru sih?"
Dan mungkin, karena kegugupannya terpancar begitu jelas dari gerak-gerik tubuh serta wajahnya, Mark lantas menarik perhatian seorang lelaki di sampingnya. Mengernyit heran walau dengan sudut bibir yang berkedut menahan tawa—karena ekspresi Mark lucu sekali, begitu menghibur.
"Maaf—"
"—Memiliki pengalaman berorganisasi selama tiga tahun——ya?" kalimat Mark terpotong, berganti dengan tanya yang dilayangkan pada pemuda itu. Disuarakan bersama dengan sebelah alis terangkat.
"Maaf mengganggu. Tapi ... Kelihatannya kau akan melakukan interview, apa aku benar?"
Mark, kendati sedikit terkejut karena mendadak diinterupsi oleh lelaki—manis—di sebelahnya, mengangguk seraya mengusap tengkuknya canggung. "Ah, begitulah. Ini interview pertamaku, aku ... kelihatan gugup sekali, ya?"
Adalah tawa yang merespons perkataan Mark kemudian. Laki-laki dengan mata bulat itu tersenyum, memindai penampilan Mark sebelum menggeser tubuhnya mendekat pada si pria Lee. "Iya," jawabnya. "Kelihatan sekali. Aku mengerti bagaimana rasanya, tapi rilekslah sedikit."
Mark menemukan dirinya tidak bisa berkutik; benaknya terdistraksi sejenak saat melihat pria asing itu dalam jarak dekat. Entahlah, Mark merasa ia baru pertama kali melihat wajah yang begitu ... enak dipandang. Suguhan mewah untuk netra kelamnya.
"Ini, dasimu berantakan dan simpulnya pun salah." Mark kembali pada realita saat suara itu terdengar. "Maaf, tapi boleh aku memperbaikinya? Bagaimanapun, penampilan adalah hal nomor satu untuk calon karyawan sepertimu."
Salah tingkah, Mark melirikkan mata pada ikatan dasinya—yang memang, terlihat asal dan berantakan—kemudian tertawa canggung. "Ah, benar juga. Tentu saja boleh, k-kalau tidak keberatan."
Lelaki berwajah manis itu menggeleng, senyum tipis mengembang di bibirnya. "Aku mengerti betul rasanya." Ia berbicara, meraih dasi Mark dan mengurai simpulnya dengan gerakan lihai. "Gugup, cemas, bahkan aku tidak bisa tidur di malam sebelumnya. Benar-benar pengalaman yang berharga."
Perkataan itu, Mark memang mendengarnya.
Tapi—ia justru hanya terfokus pada bagaimana panjangnya bulu mata yang memagari kelopak mata lelaki itu. Mengamati garis rahang yang elegan, dan bagaimana bibir merah mudanya mengucap kata demi kata.
Eh, apa Mark sedang berhadapan dengan malaikat berwujud manusia saat ini?
"Nah, selesai. Sudah rapi sekarang."
Terempas dari lamunannya, Mark kembali gelagapan. Mengumpat dalam hati karena ia justru terdistraksi oleh penampilan seorang lelaki yang bahkan tidak ia ketahui namanya, sementara interview yang begitu penting akan ia lakukan dalam waktu kurang dari dua jam.
"O-oh, terima kasih." Tapi Mark takjub, simpulnya memang begitu rapi jika dibandingkan dengan yang sebelumnya. Kepercayaan diri Mark meningkat karena ini, rasa gugupnya pun menjadi sedikit terkikis.
"Ah, ya ampun. Aku jadi ingat interview pertamaku setahun yang lalu. Persis sepertimu, aku gugup luar biasa, bahkan sepertinya lebih parah darimu saat ini. Aku sampai menabrak pohon karena tidak memerhatikan jalan, tapi aku malah minta maaf pada pohonnya. Konyol sekali."
Dan Mark tertawa, mendengarkan dengan atensi penuh dan mata yang memancarkan ketertarikan.
Rasa gugup dan gelisahnya ... Sudah menguap entah ke mana.
"Lalu, apa yang terjadi setelahnya? Kau diterima?"
Pria asing itu terdiam sebentar, kemudian menggeleng dengan senyum yang masih setia terpatri di bibir. "Tidak. Perusahaan itu menolakku."
Lantas, rasa pesimis kembali menghantam Mark begitu keras. Ia melongo, tubuhnya seketika membeku.
"Tapi, itu karena kesalahanku sendiri. Memperkenalkan diri dengan terbata-bata dan kepala menunduk. Kacau balau. Jelas tidak akan memberi impresi pertama yang baik."
Tanpa disadarinya, bahu Mark sedikit merileks saat melihat senyum pemuda itu. Kali ini lebih lebar dan cerah, seakan meradiasikan kehangatan. Seperti matahari dalam wujud manusia.
"Aku yakin, kau pasti bisa melakukannya jauh lebih daripada aku. Karena itu, jangan gugup! Santai saja, anggap bahwa kau adalah orang hebat, dan kau ingin agar orang lain tahu apa saja kehebatanmu. "
Perlahan, bahu Mark merileks sepenuhnya, seiring dengan senyum yang mengembang lebar tanpa mampu ia cegah. Jantungnya kini berdebar, bukan karena rasa gugup atau cemas, melainkan karena semangat dan kepercayaan diri yang membuncah di dadanya.
Sesuatu yang tidak ia sangka, akan didapatnya dari seorang lelaki asing yang ia temui di halte bis.
Maka, ia pun tidak mampu mencegah mulutnya untuk bertanya.
"Boleh aku tahu ... Namamu?"
Lelaki manis itu tersenyum. Begitu cerah dan hangat, hingga Mark berpikir bahwa penyebab sinar matahari pagi itu amat lemah, dan suhu terasa dingin luar biasa adalah karena lelaki di hadapannya meraup semuanya dengan rakus.
"Donghyuck," ucap lekaki itu tanpa melunturkan senyumnya, mengulurkan sebelah tangan. "Lee Donghyuck."
.
.
End?
KAMU SEDANG MEMBACA
draft; nct
FanfictionHanya kumpulan ficlet, prompt, atau draft yang tidak rampung dengan berbagai macam pair. silakan baca bila berkenan. edisi dibuang sayang. warn : bxb.