Chapter 16

1K 141 1
                                    

"Aku ingin kalian berkencan." Ucap Han Sungsoo dengan raut wajah serius. CEO Pledis itu tidak main-main dengan ucapannya.

Hal itu sukses membuat sepasang manusia yang duduk di hadapannya terkejut luar biasa. Woozi sama halnya dengan Moonji yang tidak tahu-menahu perihal permintaan konyol Han Sungsoo.

"Daepyeonim ..." Woozi hampir menyanggah.

"Hanya pura-pura berkencan, bisa 'kan?" Han Sungsoo terus berusaha meyakinkan Woozi dan Moonji. Lebih tepatnya memaksa dua orang yang baru saling mengenal itu untuk menjalin sebuah hubungan.

Memang hanya pura-pura. Tapi justru hal itu yang membuat Moonji mendecih tak percaya.

Sedangkan Woozi sedang mengkhawatirkan Lee Moonji yang terlihat terkejut dan tampak tidak menyukai ide yang memang konyol ini. Woozi bukannya setuju, tetapi ia sudah biasa dengan hal ini. CEO-nya itu pasti sedang mencoba mengalihkan perhatian publik untuk menutupi kasus lain.

"Maksudnya aku harus berbohong pada semua orang?" Sahut Moonji sedikit kesal. Namun, ia mencoba menetralkan ekspresi wajahnya yang sudah memerah agar tetap bersikap sopan.

Moonji datang kemari hanya untuk mengatakan kalau dirinya dan Woozi tidak memiliki hubungan apapun. Mereka hanya dua orang yang tidak sengaja pernah bertemu.

Atau memang pertemuannya dan Woozi takdir dari Tuhan.

Tetap saja, Moonji masih belum terima kalau ia harus jadi seorang penipu. No. Mimpinya memang bisa menjadi kekasih Woozi. Tetapi bukan untuk berpura-pura hanya untuk mengikuti skenario dari pria tua seperti Han Sungsoo terhormat ini.

"Kami akan membayar untuk semua ini. Berapa pun."

Lee Moonji mendengus tawa, dia sudah menduga Han Sungsoo akan menawarkan bayaran padanya. "Maaf, tapi aku masih punya cukup banyak uang."

"Moonji-ssi ..." Woozi menahan lengan Moonji yang sudah berdiri dari duduknya. "Kita bicarakan baik-baik."

"Untuk rencana kebohongan ini? Tidak Jihoon-ssi, aku masih banyak pekerjaan yang jauh lebih penting." Ucap Moonji dengan senyum tipisnya. Perempuan itu menjauhkan lengannya dari genggaman tangan hangat milik Lee Woozi. Kalau saja tidak ada lelaki tua di ruangan ini ...

Woozi berdiri dan menegakkan tubuh sehingga Lee Moonji kembali terlihat lebih rendah darinya. Lelaki itu lalu membungkuk pada sang CEO dengan sopan. "Kami permisi."

Moonji tersentak saat tangan hangat milik lelaki berwajah pucat itu menarik pergelangan tangan miliknya– lagi. Membawa keluar Moonji dari ketegangan di dalam ruangan besar ini.

"Kau lapar?" tanya Woozi sembari berjalan melewati lorong menuju lift untuk turun dari lantai empat ini.

Moonji hanya diam. Bukannya enggan menjawab pertanyaan Woozi, tetapi perempuan itu sedang berpikir keras kenapa composer tampan ini tidak juga melepaskan genggaman tangannya di pergelangan tangan Moonji.

"Moonji-ssi?"

"Y-ya?"

"Kau mau ke restoran milik keluarga Kim Mingyu?"

Moonji mengangguk pelan, debaran jantungnya semakin cepat saja karena dengan santainya Lee Woozi benar-benar tak melepaskan tautan tangan mereka sampai di depan mobil milik lelaki bertopi hitam ini.

"Silakan masuk," Woozi membukakan pintu mobil untuk Moonji. Karena merasa terhipnotis, Moonji hanya mengangguk dan melakukan apa yang dikatakan Woozi tanpa perempuan itu sadari.

Ini tidak salah 'kan? Lee Woozi ... jantungku berdetak terlalu cepat

"Kau kedinginan? Pipimu sampai memerah."

——

Jinni takut. Bingung. Kecewa. Ia sadar bahwa siapapun tidak mampu mengulang waktu kembali. Jinni mengkhawatirkan laki-laki yang menjadi suaminya. Boo Seungkwan dalam masalah besar, dan masalah itu muncul karena dirinya.

Karena Jinni yang meminta Seungkwan malam itu keluar mobil menemaninya membeli sosis bakar di tepi jalan setelah kencan mereka. Jinni pikir, jalanan yang sepi di tengah malam tidak masalah baginya menggandeng lengan Seungkwan dengan erat. Tanpa penutup wajah yang melindungi wajah Seungkwan dari pandangan mata. Ia tidak pernah menyangka kalau paparazi begitu jeli mengamati dirinya dan Seungkwan hanya dengan penerangan di dalam tenda pedagang.

"Seungkwan di mana?" tanya ibu Jinni ketika menyadari sang menantu tidak ada di sekitar ruang tamu. Wanita itu baru saja tiba setelah mendengar kabar dari Jinni tentang masalah yang langsung membuat anak gadisnya terus menyalahkan diri.

Jinni memeluk ibunya erat, ia belum sanggup untuk mengatakan apapun selama Seungkwan terus melayang di pikirannya. Suaminya pasti sedang ditegur habis-habisan oleh sang paman.

"Dia menemui pamanmu?"

Jinni mengagguk. Air matanya mengalir deras seiring usapan lembut dari sang ibu yang menenangkan dirinya. "Ini salahku ..."

"Tidak Jinni, ini sudah menjadi takdirmu dan Seungkwan. Apa yang kau takutkan?" ucap ibu pelan.

Jinni mengusap air mata yang mengalir di wajahnya. "Penggemar ... mereka akan meninggalkan Seungkwan, Bu."

Ibunya menggeleng pelan, wanita paruh baya itu tersenyum pada putrinya. "Mereka mencintai idolanya bukan untuk memiliki dalam hidup. Mereka hanya bahagia ketika melihat suamimu, mereka terlalu suka sehingga rasa sayang itu bisa muncul. Rasa sayang seseorang pada keluarganya. Ketika keluarganya terluka mereka akan khawatir dan merasa sedih. Jika kau melihat kakak laki-lakimu menikah dengan wanita lain apa kau merasa sedih?"

Jinni mengangguk. "Aku sedih karena tidak bisa bersamanya seperti biasa."

"Itulah yang dirasakan para penggemar suamimu. Mereka mungkin akan sedih, karena Seungkwan bukan sepenuhnya bahagia karena mereka, tidak lagi sepenuhnya bisa bersama mereka. Seperti kau yang tidak bisa lagi bermain dengan Oppa mu saat dia menikah."

Jinni menangis haru. "Ibu, terima kasih."

"Semoga kau dan Seungkwan bisa bersama sampai tua dan saling melengkapi satu sama lain."

"Kenapa, dulu ibu mengizinkan dia menikahiku? Aku baru sembilan belas tahun saat itu."

Ibu Jinni tertawa keras, "saat itu, hm? Dia baru menikahimu enam bulan lalu tapi kau berkata seolah kalian sudah menikah sepuluh tahun."

Jinni tercengir malu. "Ibu ... ingin cucu laki-laki atau perempuan?"

"Ha? Cucu? Kau–"

"Tidak, masih belum. Doakan saja." Ucap Jinni sambil tersenyum, lalu memeluk erat ibu tercintanya.

———

"Jinni bangun. Jangan tidur sore nanti kepalamu sakit."

Acara tidur siangnya yang berlanjut sampai sore terganggu karena tepukan halus pada pipi Jinni. Ketika membuka mata, benar saja wajah tampan Boo Seungkwan memenuhi penglihatannya. Siapa yang tidak meleleh disunguhi wajah mulus dengan air yang menetes dari ujung rambut yang basah itu.

"Kenapa rambutmu basah? Di luar hujan?" Jinni terduduk di sofa panjang yang tadi ia jadikan kasur untuk tidur— menatap heran pada Seungkwan.

Seungkwan tertawa pelan mendengar respon Jinni. "Iya, aku kehujanan di kamar mandi." Katanya sambil mengusap handuk kecil pada rambutnya. "Ibu nanti malam akan ke sini."

Jinni mengernyit. "Tapi tadi pagi dia sudah ke sini."

"Ibuku, sayang– ibu mertuamu."

———

Adakah yang membuka notifikasi updetan ff ini?😂

/nggak ada/

Adooohh yaudahlah bodo amat!!! Yang penting gue bisa apdet >< setelah kugalau karena mau ujian and tugas makin banyak aja :')

Ya sudah biarlah, mari kita lanjutkan ketidakjelasan perasaan Jinni buat Seungkwan dan ketidakjelasan hubungan Woozi sama mbak Moonji ...

Bye bye!

– msjungy

Just Become My WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang