Chapter 18

1.1K 131 3
                                    

Woozi mendengus setelah berhasil mengusir Yoon Jeonghan pergi. Hyung-nya itu baru mau keluar setelah puas menjahili dirinya dan juga Moonji. Ia menutup pintu dengan kesal membuat Moonji berjingkat kaget saking kerasnya bantingan pintu.

Perempuan yang masih duduk manis di sofa itu lantas menatap wajah dingin milik Woozi. Meskipun dengan ketakutan yang meliputi pikirannya, Moonji tetap ingin melihat bola mata kecil dari indra penglihatan milik Woozi. "Jihoon ..."

Memanggil nama Woozi adalah satu-satunya cara agar Moonji bisa melihat manik mata Woozi karena lelaki itu bukannya duduk kembali berhadapan dengannya di sofa melainkan menduduki kursi dan menghadap pada keyboard kesayangan lelaki itu.

Woozi memutar kursi besarnya hingga kini menghadap ke arah Moonji. Moonji pikir Woozi akan menatapnya dengan pandangan kesal karena sikap Woozi yang seketika mengabaikannya. Namun pikiran itu luruh seketika saat Woozi mengulurkan tangan padanya dengan senyum tipis yang mampu membuat jantungnya berdetak tidak karuan.

"Kemari ... aku ingin tunjukkan sesuatu padamu."

Moonji mengamati cincin di jari kelingking milik Woozi yang mana semua member Seventeen memilikinya, sebelum akhirnya meraih uluran tangan pucat milik Woozi.

Ketika Moonji mendekat, Woozi berdiri lalu menuntun Moonji untuk menggantikan dirinya duduk di kursi menghadap pada keyboard dan layar komputer dengan gambar abstrak. Moonji tidak paham. Gambar yang biasa dirinya lihat adalah rancangan baju yang tentu tidak serumit ini.

"Ini apa?" Moonji mendongak— menatap wajah Woozi yang sangat dekat dengan wajahnya. Lelaki itu merangkul sandaran kursi yang didudukinya dengan mata yang fokus pada layar komputer. Sedikit membungkuk agar sejajar dengan layar.

"Untukmu," jawab Woozi lalu ikut menggeser netra ke arah bola mata milik Moonji.

Seketika Lee Moonji menahan napas karena jarak di antara mereka yang dirasa terlalu dekat, belum lagi senyuman Woozi yang entah kenapa suka sekali mempermainkan detak jantungnya. "Apa?" tanya Moonji kebingungan.

Namun sebelum Moonji mendapat jawaban dari Woozi, indra pendengarannya bisa merasakan suara indah yang muncul dari bibir lelaki di dekatnya dan nada yang muncul dari speaker yang entah di mana letaknya. Moonji hanya memerhatikan betapa tampan Lee Woozi ketika bernyanyi dengan suara rendah, mirip seperti sebuah bisikan dan ... sebuah kesedihan.

"Don't let go of me~"

———

Seungkwan mengusap puncak kepala Jinni dengan gemas. "Mau kemana, hm?" katanya sambil merapikan poni milik Jinni yang sedikit berantakan karena ulahnya.

Kalau biasanya istrinya akan marah jika ia menghancurkan tatanan rambutnya tetapi tidak untuk saat ini. Jinni benar-benar berubah sejak sebulan lalu— menjadi lebih pendiam dari biasanya. Perempuan itu tidak lagi mengikuti les melukis dan tidak pernah mau untuk di ajak keluar rumah— kecuali untuk hal penting.

Bahkan selama dua minggu Seungkwan melakukan tour world di benua Amerika, Jinni tidak ikut pergi bersamanya. Maka dengan berat hati ia meninggalkan sang istri di apartemen bersama ibunya sampai ia pulang ke Seoul empat hari lalu. Dan kembali berangkat ke Daegu untuk Fansign pertama Seventeen di Korea setelah comeback. Hingga hari ini akhirnya Seungkwan bisa pulang menemani Jinni.

Seungkwan selalu khawatir ketika Jinni tidak menghubunginya. Ia hanya rindu ocehan dari perempuan itu.

Namun untuk pertama kalinya setelah berdiam diri di apartemen, hari ini Jinni ingin pergi keluar rumah dan pergi berdua bersamanya.

"Aku ingin makan sushi." Jawab Jinni sambil memasang mantel tebal pada tubuhnya. "Kata Ibu ada restoran Jepang yang enak di bawah."

Seungkwan duduk di atas kasur sambil memasang kaus kaki. Omong-omong udara malam ini lebih dingin dari biasanya. Embun yang menempel pada tanaman di atas balkon sampai terlihat dari dalam kamar. "Bukannya kau tidak suka makanan mentah?"

"Hanya saja aku tiba-tiba ingin makan itu."

"Sungguh?"

Seungkwan bukannya tidak percaya, tetapi Jinni pernah muntah-muntah karena memakan sushi pemberian anak stylish nunna. Jinni tidak sanggup menolak tawaran bocah empat tahun itu meskipun harus menahan mual selama memakan daging mentah itu.

"Iyaaaa ..." jawab Jinni saking gemasnya dengan pertanyaan Seungkwan.

"Tapi nanti kau bisa muntah, sayang."

"Tidak akan."

Seungkwan menggeleng. "Kita makan yang lain saja."

"Memangnya tidak boleh ya kalau aku mengidam sushi?" Jinni menunduk menatap perutnya dengan wajah sedih. "Seungkwan kecil, ayahmu jahat. Kita pergi sendiri saja ya." Jinni mengusap perutnya yang masih rata dan mengajak bicara pada buah hatinya yang baru berusia dua minggu.

Seungkwan tertawa pelan lantas berdiri dan mendekati sang istri. "Iya, aku minta maaf." Ucapnya penuh penyesalan. "Seungkwan kecil, maaf, ayah lupa ada kau di sini." Ia menunduk dan mengusap pelan perut rata perempuan yang sedang hamil muda tersebut.

"Seungkwan kecil dan aku sedang marah, jangan bicara pada kami!"

"Kalau begitu tidak jadi makan sushi?"

"Boo ..." Jinni merengek setengah kesal.

Seungkwan mencubit pelan pipi yang sedikit berisi milik Jinni, ia gemas. Entah sejak kapan Jinni memanggilnya seperti itu. Tetapi Seungkwan merasa senang dengan panggilnya itu asalkan Jinni yang menyebutnya. "Peluk dulu kalau begitu."

Karena merasa menyesal hampir merajuk pada suaminya, maka dengan kecepatan cahaya Jinni menghambur ke pelukan hangat Seungkwan. Menciumi aroma parfum yang menyegarkan. Jinni suka dan Seungkwan lebih bahagia.

———

"Aku sudah selesai." Ucap Jinni setelah meletakkan sumpit besi di atas meja.

Seungkwan mendongak dengan mulut penuh sushi telur ikan, berharap jika ia salah dengar dengan pernyataan Jinni. Ia mengunyah dan menelan habis sushi di mulutnya dengan cepat. "Tapi kau baru makan dua potong sushi telur."

Dan masih ada sepuluh potong sushi berbagai isi milik Jinni yang belum tersentuh.

"Em ... aku kenyang, kalau terus dipaksa nanti Seungkwan kecil bisa sesak napas karena perutku penuh."

"Mana bisa begitu hm? Seungkwan kecil masih lapar kalau mamanya hanya makan dua potong sushi."

Jinni memicingkan mata sambil mengerucutkan bibir. "Sebenarnya aku tidak nafsu makan."

"Apa?!" Seungkwan hampir memekik. Kekhawatiran mulai merasukinya ketika Jinni mengatakan tidak napsu makan. Kalau benar lantas bagaimana dengan asupan nutrisi yang istri dan bayinya butuhkan? "Jinni kau harus—"

"Tidak nafsu makan ini lagi." Ucapnya sembari menunjuk sushi di atas meja dengan raut sedih, karena perempuan yang tangah hamil muda itu takut suaminya akan marah dengan sifat labilnya.

Seungkwan menghela napas, kemudian menyunggingkan seulas senyum. "Memangnya mau makan apa?" ucapnya selembut mungkin.

"Terserah."

"Kalau begitu sushi-nya dimakan."

"Aku bilang tidak mau sushi." Sungut Jinni.

"Ingin makan apa sih, sayang?"

"Terserah oppa saja ..."

———

Astaga aku ikut nangis liat My Boo di 'I Can See Your Voice' 😭 aku pengen usap air mata diaaaa ...

Apa lagi lagu 'Downpour' yang suka bikin gue mewek :((( sudahlah tamat aku ...

Eh cerita ini belum tamat lho :v

Just Become My WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang