3 - Umpan
Sesuai janjinya, tepat pukul lima sore, setelah puas menghabiskan waktu bersama Sadewa di Kafetaria, Rajendra bergegas menuju ke kediaman Neneknya. Dia lajukan motor besarnya dengan kecepatan di atas rata-rata, dia salip para pengendara yang geladirnya mirip kura-kura; lambat, dan beberapa gedung pencakar langit serta pepohonan yang tumbuh di pinggir jalan, seolah sedang mengejarnya. Hari ini adalah hari yang paling dia tunggu-tunggu. Hari yang dia nantikan belasan tahun, yang akhirnya menemukan jawab, meski masih samar.
Rajendra.
Sekilas nama yang berarti Raja yang kuat. Selaras dengan figurnya. Tidak hanya tampan dan menyenangkan, Rajendra juga memiliki jiwa kepemimpinan. Mungkin, orang akan memandangnya sebelah mata bila melihat bagaimana tengilnya dia ketika berada di lingkungan sekolah. Apalagi kalau dia sudah menjaili teman sekelasnya yang bernama Samantha atau yang lebih sering dia sapa Mamen. Siapa pun akan merasa kesal dan ingin menampolnya sampai mampus! Tapi semua akan berubah, saat kita sudah menemui Rajendra sebagai ketua OSIS. Segala kekonyolan yang kerap dia tunjukkan bakal hilang bagai segumpal uap. Tidak ada Rajendra tengil dan usil. Yang ada justru Bapak Rajendra yang galak dan dingin!
Entahlah.
Terlepas dari karakternya yang sukar ditebak, Rajendra adalah luka yang belum menemukan obatnya. Dia tertawa, semata-mata untuk menutupi rasa sakit dan kecewa. Bukan soal keluarganya yang tidak utuh, karena berlalunya Papa bukan karena beliau terpikat dengan wanita lain, lantas meninggalkan Mama. Bukan. Perpecahan ini digariskan oleh takdir. Sesuatu yang kadang tidak bisa diterima oleh hati maupun nalar. Yang hadirnya secara tiba-tiba dan harus diterima dengan lapang dada. Sebab menghindar pun percuma.
Tahu-tahu, dia sudah berada di teras depan rumah Neneknya. Lalu dia ketuk pintunya, tiga kali, terdengar derit dan pintu terdorong dari dalam. Hingga benar-benar terbuka, menampilkan sesosok wanita senja yang sebagian rambutnya sudah memutih.
"Raja?" sambutnya, diikuti senyum serta binar mata bahagia.
Rajendra menanggapinya dengan senyum. Tipis sekali. Sudah lama dia melupakan sanak-saudaranya lantaran murka mengetahui satu fakta, bahwa Ayahnya pergi bukan untuk mengais rezeki, melainkan menghadap sang khalik. Realita yang seakan membungkamnya pada asa. Di mana keinginan untuk bisa memeluk Ayahnya, mengajaknya berbagi tentang suka dan duka, juga memuliakan beliau, harus terkikis oleh fakta yang mustahil untuk dia tampik.
"Raja, apa kabar?" tanya Eyang. Dia ulas senyum sehangat baskara, selagi tangannya terulur---mengusap bahu sang cucu. "Udah lama nggak ke sini. Eyang kangen," katanya.
Rajendra melepas tangan Eyang yang menyentuh pundaknya, lantas dia ganti dengan pelukan sayangnya. "Sama, Eyang. Raja juga. Maafin Raja, ya? Soalnya sekarang Raja jadi ketua OSIS. Dan waktu Raja lebih banyak di sekolah."
Meski tak terlihat, senyum di wajah Eyang mengembang. Disusul sekilas anggukan. "Iya, nggak apa-apa." Wanita itu mengurai pelukannya. "Yang penting Raja nggak lupa sama Eyang."
"Nggak mungkin, Eyang..." Rajendra turut mengembangkan senyum. "Raja 'kan sayang sama Eyang ketimbang sama mantan."
Tawa Eyang berderai pelan. Lalu diurainya pelukan, Eyang tatap cucu yang amat sangat beliau rindukan itu dalam-dalam. "Raja udah makan?"
"Udah, Eyang. Tadi makan bareng pacar," jawabya, jujur tapi setengah jengkel.
Mendengar kata pacar, Eyang langsung mengerling jail. "Ooh, cucu Eyang udah punya pacar?"
"Ck, iyalah, Eyang. Masa, cowok seganteng Raja masih jomblo? Malu-maluin SMA Gita Bahari aja," cengir Rajendra. Lalu atensinya dilempar sosok Fajar yang tiba-tiba muncul dan berdiri di belakang Nenek. "Wedehh... Pucuk dicinta, Abang Grab pun nyampe Jakarta."
![](https://img.wattpad.com/cover/175153472-288-k585485.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rajendra [Rewrite]
Teen FictionKita adalah dendam yang seharusnya diselesaikan. Tapi takdir terlalu pandai dengan mengelabuhi kita lewat hal-hal mengesankan. Hingga pada waktunya fakta berkata, namun kita tidak bisa menerima realita. Aku, kamu, terjatuh ke dasar renjana yang tak...