05 - Polaritas

2K 176 40
                                    

5 - Polaritas

Selepas kepergian Qia, Rajendra kembali melanjutkan rapat. Tapi sebelumnya, dia haturkan pula permohonan maaf atas kegilaan cewek sinting yang beberapa saat lalu mendeklarasikan diri sebagai Ibu Ketos. Dan personel OSIS pun memaklumi. Orang gila mah bebas, begitulah kata Jazzi, bendahara OSIS yang irit omong tapi sekalinya ngucap langsung nancap. Well, kata Romeo, sih, Jazzi itu salah satu admin Lambe Turah yang lagi nyamar jadi pelajar. Biar dikata anak sekolahan.

Seperti biasa, tanpa prolog yang menye-menye, dia buka jalannya konferensi, lalu disusul planning untuk Agenda Dies Natalis. Diana mulai mempresentasikan idenya dan disambut oleh anggukkan setuju dari teman-teman, sementara Jazzi yang memiliki ide lain, turut menyumbang. Dan sama halnya dengan pendapat Diana, persepsi yang diajukan oleh Jazzi juga diasese teman-teman.

"Deal, ya?" netra hitam cowok itu berkeliling. "Kegiatan untuk menyemarakkan acara Dies Natalis nanti akan ada bakti sosial, lomba cerdas cermat, lomba fotografi, lomba nyanyi, lomba nulis puisi---"

"Je," Diana menyelak. Membuat sang ketua praktis menoleh dengan tatapan ada apa. "Apa nggak sebaiknya lomba nulis puisinya diganti sama lomba lain?" usulnya, ragu. "Bukan apa-apa, nih. Gue nggak yakin aja, gitu. Soalnya you know lah, dunia sastra itu seakan hal asing bagi kaum milenial. Coba lo bandingin sama negara lain, minat baca di negara kita ini sangat buruk. Karena, yahh... mungkin membaca adalah hal yang membosankan atau dalil lain yang mendasari, karena media sosial jauh lebih menyenangkan. Maybe, sih. Dan logisnya, bukankah membaca itu jendela ilmu? Dari membaca, kita bisa menemukan banyak hal sekaligus pemahaman. Karena tiap kebisaan selalu diawali dengan pengetahuan."

Lagi, semuanya mengangguk, sepemikiran dengan Diana.

Sebelum Jazzi menampik dengan rekognisinya. "Tapi kita nggak bisa mengklaim ihwal dari satu aspek. Karena terkadang apa yang kita lihat atau kita pikirkan, belum tentu sejalan dengan kenyataan. Oke, nggak masalah kalau lo nebak-nebak. Tapi balik lagi ke realitas. Kadang visualisasi suka menipu."

"Nah!" Shanum bersuara, "Intinya, kita nggak akan tau, ada atau enggaknya kaum milenial yang masih mengenal dunia sastra, kalau kita sendiri udah memvonis enggak sebelum mencoba."

"Kasarannya, kita ingin memajukan aliterasi yang nyaris raib, sementara pola pikir kita belum berkembang. I mean, kita ingin mengajak, tapi kita sangsi sama kemampuan mereka. Dan kalau lo lupa, gue bakal ingetin kata-kata lo tadi." Jazzi menajamkan penglihatannya tepat di manik mata Diana. Dia tatap cewek itu dengan sorot sengit, sebelum dia kembalikan kalimatnya. "Bukankah tiap kebisaan diawali dengan pengetahuan? Logisnya, gimana kita bisa tau, kalau sedari awal kita udah memvonis nggak bisa?"

Diana tersinggung. Tampak dari kilau sinis yang berkobar hebat di balik matanya. "Gue nggak memvonis," sanggahnya. "Gue ngomong berdasarkan fakta!"

Jazzi paham. Diana selalu berpikir realistis dan mengasumsikan segala perkara berdasarkan alibi-alibi yang logis. Tapi ada kalanya dia berpikir dangkal dan membuat orang-orang di sekitarnya sebal. Seperti sekarang. Namun kendati demikian, Jazzi tetap berusaha menjadi air untuk memadamkan hawa panas yang menyebar. "Oke, gue ngerti maksud lo. Tapi nggak ada salahnya kalau kita coba dulu."

"Masih pada mau ribut atau gue yang cabut?" Rajendra menginterupsi dengan nada segarang ekspresinya. Well, sudah bukan hal baru lagi bila melihat Diana dan Jazzi yang acapkali berpolemik.

Rajendra [Rewrite]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang