10 - Bekas Noda

1.6K 132 29
                                    

10 - Bekas Noda

"Hi, Qi! Long time no see."

Qia terpana, begitu matanya disapa oleh sesosok pemuda berperawakan jangkung. Pelan, iris cokelat cewek itu mengamati penampilan figur di depannya. Tipe laki-kaki brengsek.

"Apa kabar?" tanya si pemuda.

Mata Qia berhenti tepat di manik mata laki-laki itu. Sorot kelam yang berusaha disamarkan lewat senyum penuh persahabatan, membuatnya kontan tertegun sejenak. Rasa senang menjamah sanubarinya. Suara khas lelaki berambut gondrong tersebut, seakan mengingatkannya pada seseorang.

Tapi, siapa?

"Qia, masuk!" suara dingin Handoko terdengar menginterupsi. Perhatian Qia teralih pada pria paruh baya yang baru saja muncul dengan sebelah tangan yang dimasukkan ke saku celana. "Udara malam nggak bagus buat kesehatan kamu."

Alih-alih terenyuh, Qia justru mendecih. Sambil melenggang masuk, cewek yang kerap menyembunyikan matanya di balik kacamata stylish andalannya itu mengangkat kedua tangannya ke udara dan berseru dramatis. "Ya Allah, di jaman yang katanya makin maju, kok, malah makin banyak orang-orang munafik, sih? Harusnya tuh orang-orang hebat yang bisa nyiptain teknologi canggih, perlu banget bikin alat pendeteksi kemunafikan. Biar orang-orang munafik yang bertebaran pada sadar. Syukur-syukur balik ke jalan yang benar. Timbang balik jalan ama mantan, yang ada jadi baper. Hiyaaa..." Lalu tawanya berderai.

Handoko dan Keano yang menyaksikan, cuma bisa tersenyum miris.

Seandainya Keano tidak terbuai oleh kesenangan, mungkin, orangtua angkatnya masih bersama. Ibunya masih ada. Dan adik angkatnya tidak merasa kesepian-juga kehilangan.

"Maafin Keano, Dad."

"Daddy nggak pernah marah sama Abang. Tapi tolong, buktikan sama keluarga besar kita, kalau Abang benar-benar ingin berubah." Handoko mendekat. Lantas dia ulurkan tangan, dia sentuh pundak anak angkatnya itu dan dia tepuk sebanyak tiga kali-sebagai bentuk dukungan. "Ingat! Yang dipegang dari sebuah janji adalah bukti. Apalagi Abang laki-laki."

"Iya, Dad. Keano paham," si sulung mengangguk mengerti.

Handoko tersenyum penuh arti.

Keano meraih tangan Ayahnya, lalu dia cium punggung tangan pria itu dengan sopan. "Assalamu'alaikum, Dad. Keano pamit."

Dengan mata berkaca-kaca, Handoko mengiringi kepergian si sulung lewat pandangan. Bayi merah yang 30 tahun silam dia temukan di dekat masjid, kini tumbuh menjadi lelaki dewasa. Tak seorang pun menyangka, bahwa tangan yang barusan menjabat tangannya dengan sopan, pernah menghilangkan nyawa seseorang. Insan berkarakter santun yang dijumpainya beberapa menit lalu, adalah remaja yang sempat terperangkap gelap.

Tapi, Allah bersamanya. Menuntun Keano menuju jalan yang benar. Melalui hukum alam, logikanya tertampar. Dirinya terkapar. Mimpinya buyar. Masa depannya samar.

Bukan penyesalan yang membuatnya ingin berubah, akan tetapi kesadaran. Karena sedalam apa pun dia menyesali kesalahan, tidak mungkin merubah keadaan. Tidak mungkin mengembalikan nyawa seseorang di masa lalu. Tidak mungkin menghidupkan Ibunya yang turut berlalu.

Menyesal hanya akan membuat seseorang depresi. Sebab yang dikenang hanya kesalahan, bukan cara memperbaiki kesalahan itu sendiri.

"Daddy percaya, anak-anak Daddy adalah anak-anak yang kuat dan hebat. Untuk sekarang, maaf, Daddy harus meneruskan drama, sebelum kita gapai kata bersama. Daddy sayang adek dan Abang."

***

Qianafeeza Dewi
Mameeeeen (:

Abigail Samantha

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 25, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rajendra [Rewrite]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang