DARI AWAL.
Bukan aku yang memaksamu untuk tidak pergi,
Tapi kamu yang menawarkan diri untuk tetap bertahan di hati.Jadi. Apa aku punya alasan untuk menahanmu disini..??
-ANONIM-
Saat selangkah lagi aku akan meninggalkan sekolahku yang bersejarah ini, aku masih saja tertahan dan berat untuk tak menoleh lagi. Masih saja kebimbangan menggelayuti jiwaku yang tengah gundah ini.
Disaat susah payah kumpulkan keyakinanku yang tak seberapa ini, dengan mudah saja wajah dingin dan kaku itu menahanku di depan gerbang sekolah. Bagaimana tidak, setelah 2 tahun mengenalnya, aku tak pernah melihat senyum kegetiran itu di wajahnya. Dia. Si lelaki tampan namun dingin itu terlalu lihai dalam hal menyembunyikan perasaannya dalam sandiwara yang terlalu sempurnah itu. Wajahnya yang datar tak pernah sekali pun menunjukkan sebuah perasaan. Bahkan mungkin jika kemarahan terbesarnya pun tak akan mampu menghancurkan kekakuan wajahnya. Dia terlalu datar untuk kubaca.
Selangkah lagi, aku bukan lagi berstatus siswi di sekolah hebat ini. Selangkah lagi keputusanku untuk bernar-benar menjauh dan melupakannya akan terwujud sudah.
Sedikit lagi langkahku benar-benar akan beranjak jika saja seseorang tak menerjang tubuhku, merengkuhku dalam dekapan yang begitu eratnya. Aku tak tahu ia siapa, tapi aku seperti tak asing dengan wangi tubuh ini. Imajinasiku begitu liar menciptakan spekulasi-spekulasi tingkat tinggi tentang orang itu, merakit satu demi satu serpihan-serpihan wajahnya yang sempat berhamburan karena rasa kecewa.
Tapi tidak. Aku memang begitu mengharapkannya untuk melakukan hal ini. Memelukku di detik-detik terakhir keputusanku, lalu meminta maaf dan memohon agar aku tak pergi. Ya aku menunggunya, dan karena alasan itu jugalah yang mendorongku untuk membangun imajinasi liarku.
Tapi tidak untuk berharap, karena aku sudah terlalu kenyang oleh rasa kecawa dan sakit hati yang terlalu mudah menghantam hatiku yang rapuh.
Perlahan aku mengangkat pandanganku, menatap wajah yang tengah dirundung kesedihan itu. Seketika hatiku menghangat sepenuhnya.
Yah, aku memang tidak salah berimajinasi. Wajah itu, wajah yang pertama kali hadir dalam benakku. Sesorang itu memang dia, laki-laki itu. Laki-laki yang juga menjadi alasanku memutuskan pergi dari sekolah. Memutuskan pergi dari kehidupannya yang terlalu sulit untuk kumenyelam didalamnya. Ia terlalu rumit untuk hatiku yang sederhana ini.
"Aku tidak pernah terlalu berharap, untuk kamu memahami duniaku yang mungkin rumit ini. Tapi aku juga tidak pernah menyangka kamu akan menyerah secepat ini"
Lirih, terlalu lirih hingga mampu membuatku serba salah. Aku ingin pergi, tapi juga tak terima dikatai terlalu cepat menyerah ini. Aku terenyuh oleh perasaan yang aku tahu asalnya ini.
Lihat. Jujur saja, aku tahu benar maksud dari ucapannya itu. Ucapan yang terdengar penuh kekecewaan itu nyatanya hanya sebuah ungkapan penyesalan yang terlalu abu-abu.
Aku tahu arti dari kalimat itu bukan karena aku sudah berhasil memahami kekakuannya, tapi karena itu bukan hal wajar bagi seorang yang kaku sepertinya. Ia tak pernah tahu cara mengungkapkan sebuah perasaan, dan ini adalah pertama kalinya.
Aku tersedu, jelas saja. Aku memang kecewa padanya, tapi juga terlalu sayang untuk melepasnya. Walau terasa dingin jika berada disisinya tapi juga sekaligus menghadirkan kehangatan yang tiada tandingannya. Ini rumit tapi nyata. Nyata tapi rumit.
Disaat aku terlalu lelah untuk bertahan, tapi juga terlalu berat untuk melangkah. Ia terlalu berharga untuk kulepas, tapi juga terlalu menyakitkan untuk tetap bertahan.
Aku sedikit melerai rengkuhannya, sedikit dorongan untuk menjauh. Aku tahu dia sedikit kecewa karena ini, akupun sama. Seperti ada kekosongan yang kubiarkan menganga karena uraian pelukan ini. Tapi aku sadar bahaya, berbahaya bagi keputusan dan tekatku yang terlalu rapuh ini.
Aku harus bertahan pada keputusanku, walau pada kenyataannya harus kutanggung luka itu. Aku tahu dia terluka, sama halnya dengan lukaku. Tapi ini seimbang bukan. aku terluka selama ini, harusnya dia juga. Tapi aku tidak pernah mengetahui luka itu ternyata menghantuinya juga, jika tak kuambil keputusan besar ini. Kita sepadan sekarang, skor seimbang untuk kedua belah pihak yang saling melukai.
Kutemukan kembali ketenanganku yang hampir tercerai-berai ini. Kekalutan tak lagi kubiarkan menguasaiku setelah ini.
"Kita memang sama-sama terluka, tapi siapa yang tahu kalau mencintai mu ternyata sesakit ini"Aku menunduk, mencoba menguatkan hatiku.
"Semula kufikir akulah wanita tangguh yang kelak akan merebut hatimu dan meluluhkan kebekuanmu. Tapi ternyata, aku tak berbeda jauh dari wanita kebanyakan. Terlalu mudah terluka lalu menyerah"
Aku menatap matanya, menyelami hingga kedasar kesadarannya. Aku melihat sekelebat luka disana, tengah menganga karena ulahku. Oh atau mungkin ini karena ulahnya sendiri. Yang pasti aku juga memiliki luka yang sama, atau mungkin lukaku luka yang lebih dalam lagi.
"Terlepas dari semua rasa hangat yang kamu selipkan diantara sikap-sikap dinginmu, aku menyadari sebuah kekalahan telak, jauh sebelum berjuang"
Aku menunduk tenang, meredam gemuruh yang hampir saja meloloskan cairan bening disudut mataku.
"Aku kalah oleh kebekuan. Kebekuan yang kufikir bisa kulelehkan hanya dengan nyala api lilin. Meski kecil, tapi ia bertahan lama. Tapi tidak. Ternyata aku salah prediksi sejak awal melangkah. Dan akhirnya aku juga yang terluka"
Wajahnya tenang, sama sekali tampak tak terusik. Tapi aku tahu apa yang tengah ia fikirkan, ia memang perasa hanya saja terlalu bodoh dalam mengungkapkan. Dan itulah bongkahan besar yang harus kuhancurkan sekarang. Bukan dengan cara ketulusan cinta dan kasih sayang yang berkepanjangan. Tapi sebuah hantaman keras, yang dentuman kerasnya mampu menggoyahkan bongkahan kekakuan itu.
Dan inilah caraku, aku tahu bahwa rasa sayang itu telah tumbuh dengan subur disudut hatinya. Hanya saja, aku belum berani menyimpulkan jika rasa sayang itu telah bermekaran berupa cinta.
"Aku memutuskan pergi, bukan karena aku menyerah atas cintaku. Karena sekeras apapun usahaku kemarin, perjuanganku yang terakhir inilah usaha paling kerasku dalam mencinta"
Sepersekian detik, aku menangkap perubahan itu. Perubahan paling siknifikan yang pernah ada dalam daftar ekspresi wajahnya. Ia sedikit terkesiap.
"Hanya ini usaha terakhirku, untuk mendapatkan cinta itu. Maka, ayo kita berjuang sama-sama. Jika aku berjuang untuk mendapatkan cintamu, maka harusnya kamu berjuang untuk memastikan perasaanmu itu"
Mengerjap sekali meski dalam tatapan masih tetap sama, datar tak menunjukkan apapun.
Tanpa mengucapkan apapun lagi, kumantapkan hatiku dan melangkah dengan pasti. Aku pergi tanpa menoleh lagi.
Sampai jumpa di pertemuan dua rasa yang lebih pasti.

KAMU SEDANG MEMBACA
Selow Baper
PoezjaKetika hati berbicara. Namun tak memiliki suara maka tanganlah yang menjadi penyuaranya lewat setiap detakan suara keyboar.